Tiga

88 20 5
                                    

Pov.

Brengsek!

Jimin berharap dia tidak ingat semua kenangan manis itu.

Di kamarnya, Jimin membuka kemeja, mengisi gelas dengan minuman keras dari botol yang dia curi dari lemari minuman keras ayahnya, lalu merebahkan diri di kursi malas yang selalu diletakkan di dekat jendela.

Dia meneguk wiski, tetapi karena minuman itu sudah kehilangan rasa, dia meletakkan gelas tersebut dengan jengkel. Jimin membungkuk, membuka sepatu bot, lalu melemparkannya ke permadani sehingga menimbulkan suara gedebuk perlahan.

Sambil bersandar, kepalanya di bantalan kursi yang empuk, dia biarkan pikirannya menerawang ke masa lalu, ke suatu musim panas ketika dia berusaha kabur dari pabrik wine, pengawasan ayahnya, dan panas matahari Daegok yang menyengat.

Dia pergi ke tepi sungai, tanpa pakaian selembar pun terjun ke sungai yang airnya dingin. Ketika dia naik ke darat kembali, sewaktu sedang mengeringkan tubuh dan memakai celana jins, dia melihat perempuan itu…

.
.
.

Tiga belas tahun yang lalu

Astaga!” teriak Jimin. 

Jari‐jarinya meraba hendak menutup ritsleting celana jins.

“Sudah berapa lama kau di situ?” Jimin ingin tertawa melihat reaksinya.

Kalau Jimin hanya terkejut melihatnya, gadis itu seperti lumpuh.

Jimin tidak mengira gadis itu akan menjawab, tetapi kemudian dengan tergagap dia berkata, “Aku… aku baru saja sampai di sini.”

“Hmmm, baguslah, karena aku tadi berenang telanjang bulat. Bila kau datang lebih cepat, kita berdua bisa malu.”

Senyum Jimin lebar dan penuh percaya diri, penuh keangkuhan. Meski si gadis yang memakai kaus kaki pendek dan sepatu murahan itu masih terkejut dan gemetar, dia berusaha membalas tersenyum dengan malu-malu.

“Kuharap aku tidak mengganggumu,” katanya dengan kesopanan yang, dalam situasi seperti ini, membuat Jimin geli.

“Tidak, aku sudah selesai. Udara panas sekali. Aku jadi ingin berenang.”

“Ya, udaranya memang panas. Karena itulah aku mengambil jalan pintas ini. Di sini lebih teduh ketimbang di jalan raya.”

Sejak awal Jimin sudah tertarik pada gadis itu. Bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena penampilannya yang berbeda. Roknya yang terbuat bahan katun bersih dan licin, tetapi sudah ketinggalan zaman. Blusnya juga terbuat dari bahan katun berwarna putih, menebarkan aroma sabun cuci, bukan wangi pelembut pakaian, yang sepertinya dipakai semua gadis masa itu.

Di balik blus, Jimin melihat garis-garis branya yang putih, yang pastilah sangat tidak nyaman. Gadis‐gadis umumnya memakai model yang disebut push-up bra — bra untuk menaikkan payudara, yang bertujuan, Jimin yakin, membuat teman kencan mereka tergila-gila.

Jimin mengalihkan pandangannya dari payudara gadis itu, merasa malu pada dirinya sendiri karena membuat analisis seperti yang dilakukannya terhadap gadis-gadis yang dia kenal.

Jimin menatap gadis kecil di depannya. Berapa usianya? Lima belas? Enam belas? Gadis itu tampaknya takut sekali padanya.

Tetapi ya Tuhan, gadis itu cantik sekali. Kulitnya bersih; matanya kelabu bagai kabut yang melayang rendah di rawa-rawa; tubuhnya indah, menunjukkan lekuk feminin.

Rambutnya mengilap, seperti kayu mahoni yang dipernis. Tiap kali angin meniup pepohonan di atas kepalanya, sinar matahari menerpa rambutnya seperti kilatan cahaya di rambut yang lebat itu.

Sweet RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang