Empat

100 22 88
                                    

Pov.

Hari masih pagi ketika dia terbangun. Yeorin ingin tidur lebih lama, tidak ingin bangun, tak ingin menghadapi rangkaian krisis berupa penyakit yang diderita suaminya dan bertemu Jimin yang kini kembali ke rumah.

Dia mendengar suara pintu depan di lantai bawah dibuka dan ditutup kembali dengan perlahan sekali. Disibakkannya penutup ranjangnya, lalu berjalan menyusuri lorong yang menuju teras rumah di lantai dua.

Sinar matahari belum lagi menerangi pucuk pepohonan, namun cahayanya yang berwarna jingga sudah mewarnai langit di ufuk timur. Sebuah bintang dan bulan separo tampak jelas di langit yang bersih. Kabut bergulung naik, meninggalkan permukaan rumput yang berembun. Lagi-lagi udara akan lembap hari ini.

Tepat di bawah lantai dia berdiri, Yeorin melihat Jimin memasuki serambi. Jimin tampak terpaku di anak tangga paling bawah dan melempar pandangan ke sekeliling rumah, yang Yeorin tahu pasti tempat yang sangat disayangi Jimin.

Tempat yang sangat berarti buat Jimin, sepenting tarikan napasnya. Yeorin merasa iba, membayangkan Jimin, yang memaksakan diri bertahun-tahun tinggal jauh dari rumah yang sangat dia sayangi.

Dengan langkah pelan Jimin menuju mobil yang diparkir di depan rumah. Dia mengenakan celana jins dan mantel bergaya sport, gaya berpakaian yang terlalu mewah untuk koboi pekerja, tetapi cocok buat Jimin. Celana jinsnya belel modis dan disetrika licin. Yeorin terus mengamati Jimin yang merogoh saku depan, mencari-cari kunci mobil.

Jimin membuka pintu mobil lebar-lebar. Saat itulah tanpa disengaja dia melihat Yeorin yang memandanginya dari balkon rumah di lantai dua. Jimin menopangkan tangan pada atap mobil, balas menatap Yeorin.

Yeorin tetap berdiri terpaku, tidak berbicara, tidak pula memberi salam pada Jimin, hanya matanya yang bicara. Mereka saling menatap. Saling memandang. Beberapa saat lamanya, di pagi hari yang berlangit keemasan, mereka saling menatap.

Di keremangan sinar matahari pagi sosok mereka seperti tidak nyata, di luar jangkauan waktu. Dalam keakraban yang hening itu mereka melepaskan semua pertahanan diri. Keduanya hanyut mengikuti suara hati mereka. Tak ada apa pun lagi di dunia ini yang mampu menyelamatkan keduanya.

Sampai akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Jimin memasuk mobil-nya dan melaju pergi. Dengan perasaan sedih Yeorin kembali ke kamar dan berganti pakaian.

Dia memandangi dirinya di depan cermin, bertanya-tanya, “Bagaimana bisa terjadi seperti ini?”

Satu‐satunya pria yang pernah dia cintai, atau pria yang hampir dia cintai, hanyalah Choi Jimin yang sekarang malah menjadi anak tirinya.

Sesaat mereka menikmati sesuatu yang sangat istimewa dan langka. Paling tidak, begitulah untuk Yeorin. Dia membiarkan dirinya berkhayal mendapatkan sesuatu yang kecil kemungkinannya bisa dia raih. Dia tolol sekali waktu itu, begitu memercayai cerita Jimin di musim panas itu. Padahal kata-kata Jimin tidak punya arti apa-apa. Dirinya hanyalah sekadar mainan baru untuk Jimin.

Namun nasib yang tak bisa ditebak menentukan lain — dia menikah dengan ayah Jimin. 

Ayah Jimin! Ketika Junyeol melamarnya untuk menjadi istri, lamaran itu bak jalan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Untuk mendapatkan kehormatan, dan uang. Orang‐orang yang selama ini merendahkannya, menghinanya selama hidupnya, harus menghormati dia.

Jimin sudah pergi, takkan pernah muncul kembali.

Mengapa tak pernah terlintas dalam benaknya ada kemungkinan Jimin akan kembali?

Bagaimana perasaannya bila Jimin benar-benar kembali?

Benarkah selama ini dia bersikap jujur terhadap dirinya?

Sweet RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang