Pov.
“Aku akan menyuruh anak itu berlutut di hadapanku, itu yang ingin ku lakukan,” gerutu Mina sambil menarik seprai Yeorin. “Bila ada anak muda yang perlu dihukum…”
Yeorin duduk di depan cermin, memijat-mijat kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerangnya. Tetapi usahanya tak berhasil.
Sekujur tubuhnya sakit seakan dia habis tertabrak truk. Memang demikianlah yang dirasakan Yeorin setelah bertengkar dengan Jimin.
Mina, si pengurus rumah, menumpuk seprai di lantai dan membentangkan seprai baru. Terdengar suara gemeresik ketika dia menghamparkannya di tempat tidur. Rapi seperti tentara, Mina menyelipkannya di bawah kasur.
“Apa dia tidak bilang padamu semalam, atau meninggalkan pesan, dia akan keluar rumah malam-malam seperti maling?”
“Tidak, dia… kami mengobrol sebentar. Dia naik ke kamarnya, beberapa menit kemudian aku tidur. Aku tidak tahu dia sudah pergi sampai kau membangunkan aku pagi ini.”
“Aku sudah mengajarkan tatakrama pada anak itu, begitu pun ibunya. Bayangkan, bisa-bisanya dia mengepak barang lalu pergi tanpa pamit. Naik mobil pickup‐nya ke lapangan udara, langsung terbang dengan pesawatnya. Sumpah, aku tak tahu apa masalah anak itu.”
Sekali itu Yeorin berharap Mina tidak terlalu banyak mengoceh. Satu-satunya orang yang ingin dia ajak bicara hanyalah Jimin. Luka hatinya masih belum lenyap. Tiap kali mendengar nama Jimin disebut, lukanya kembali membuka dan hatinya berdarah.
“Kurasa, dia hanya merasa terlalu lama menelantarkan bisnisnya di Seoul.”
Mina memandang sinis.
Aku tahu apa yang terjadi, begitu batin Mina kepada Yeorin. Yang dia ingin tahu, apa yang terjadi di antara mereka, yang menyebabkan Jimin mendadak meninggalkan rumah.
Berminggu-minggu mereka bersama dan saling menggoda. Pasti ada yang menyebabkan Jimin pergi terburu-buru, tentu hal yang berkaitan dengan Yeorin.
Mina membungkuk dan mengambil cucian kotor. “Aku tak tahu apa yang harus ku sampaikan pada Jihan. Pasti dia sedih sekali karena Jimin pergi tanpa pamit padanya.”
“Kau bilang dia meninggalkan surat untuk Jihan.”
“Itu tidak sama, bukan?”
Kesabaran Yeorin menyusut. Dia berjalan ke lemari, mengambil pakaian untuk mandi, dan secara halus mengisyaratkan ingin sendirian di kamar.
“Dia tidak akan terlalu sedih Jimin pergi, karena ada Dongman yang menjaganya.”
“Lalu siapa yang akan menjagamu?”
Langkah Yeorin terhenti sebelum mencapai pintu kamar mandi, dia membalikkan badan menatap Mina yang menaikkan alis, lalu melenggang keluar, merasa menang, dengan tangan penuh seprai kotor.
Yeorin mandi dan berpakaian.
Dia tidak memedulikan penampilannya.
Dia tidak akan bertemu Jimin di rumah.
Dia akan bekerja sebagaimana biasanya, ke pabrik, memeriksa kemajuan pembangunannya.
Lebih baik dia menampilkan diri sebagai penanggung jawab dan pengambil keputusan. Mungkin saja beberapa karyawan memanfaatkan ketidakhadiran Jimin sebagai kesempatan untuk bekerja malas-malasan.
Sewaktu tiba di pabrik, dia menyadari Jimin bukan hendak menurutkan kata hatinya ketika pergi ke Seoul malam itu. Kangjun sudah menunggunya di kantor.
Karyawan itu berdiri ketika Yeorin masuk; dengan langkah terseret, resah, dia berusaha menghindari pandangan Yeorin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Rain
RomanceKim Yeorin mampu bertahan menghadapi gosip. Dia mampu bertahan menghadapi kematian suaminya, Choi Junyeol, orang paling kaya di daerahnya yang Tiga Puluh tahun lebih tua darinya. Tapi dia takut takkan sanggup menghadapi Jimin, putra suaminya. Bertah...