Sembilan

104 20 67
                                    

Pov.

Ciuman Jimin semakin lama semakin liar. Bibirnya berputar-putar di bibir Yeorin, memaksa Yeorin membuka mulut dan membiarkan lidahnya masuk ke mulutnya.

Pahanya dimajukan, menghimpit tubuh Yeorin. Satu tangannya yang bebas meremas payudara Yeorin. Jimin melakukannya tanpa kelembutan sedikit pun. Yang sengaja dia lakukan untuk merendahkan Yeorin.

Yeorin meronta. Tangannya yang bebas mendorong dada Jimin yang kokoh dan memukul bahunya. Dia berusaha menghindar dari ciuman Jimin, tetapi sia-sia. Teriakan Yeorin langsung dibungkam oleh bibir Jimin.

Ini bukan Jimin.

Yeorin yakin, Jimin takkan pernah menyakitinya seperti ini. Jimin bertingkah seperti orang kesetanan karena perasaan marah yang dipendam selama bertahun-tahun.

Musuh besarnya sudah mati, yang menyebabkan dia tak tahu lagi siapa yang harus diajak bertarung. Frustrasi yang menyergap perasaannya mendorong dia memuntahkan kemarahannya pada Yeorin, yang tanpa dia sadari telah diperalat untuk mewujudkan rencana Junyeol.

Memahami situasi itu, cara paling baik untuk membela dirinya adalah dengan tidak melawan Jimin sama sekali. Yeorin pasrah dalam pelukan Jimin.

Setelah beberapa saat berlalu, akal sehat Jimin kembali bekerja. Dia menyadari Yeorin tidak lagi meronta-ronta melawannya. Bibirnya dengan lembut mencium bibir Yeorin. Tangannya tidak lagi meremas-remas payudara Yeorin, melainkan mengelusnya dengan lembut, dan dia menarik tangannya dengan perasaan sesal.

Kelembutan seperti inilah yang harus dirasakan Yeorin. Kekasaran yang dia alami beberapa saat lalu bukanlah berasal dari pria yang dia kenal dan dia cintai, melainkan dari laki-laki yang hidupnya hancur berkeping-keping oleh kelicikan dan kegetiran karena ayahnya.

Kini sentuhan Jimin adalah sentuhan yang sangat dia kenal, yang mengingatkan dia akan kenangan manis di musim panas itu, sentuhan yang telah menawan hatinya.

“Jimin.”

Panggilan itu lebih mirip desah lembut, menyiratkan kerinduan dan keputusasaan.

“Apakah aku menyakitimu?”

“Tidak.”

“Aku tidak bermaksud begitu”

“Aku tahu.”

Jimin mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan tangannya, dari siku sampai ke ujung jari, ke dinding di belakang Yeorin. Dahinya disandarkan pada dinding di atas kepala Yeorin. Embusan napas Jimin menyentuh rambut Yeorin.

“Mengapa keinginanku tidur denganmu melebihi keinginanku bernapas? Mengapa aku tidak bisa melupakanmu? Setelah semua yang terjadi saat ini, mengapa aku masih saja ingin memilikimu?”

Jimin merapatkan tubuh ke tubuh Yeorin. Posisi tubuh seperti itu jelas membuat mereka bergairah, membuat jantung mereka berdebar-debar.

“Seharusnya kita bisa berbaring di ranjang dengan posisi seperti ini kan, Yeorin?”

“Ya Tuhan.” Yeorin menenggelamkan hidungnya ke leher Jimin. “Jangan bicara seperti itu, Jimin.”

“Itu yang kau bayangkan. Itu yang aku inginkankan.”

“Jangan membayangkannya.”

“Aku selalu membayangkannya.”

Tubuh mereka saling memancarkan panas. Dada Yeorin rapat menekan dada Jimin yang bidang. Perut mereka saling menggesek diiringi tarikan napas berat. Jimin memperbaiki posisi tubuhnya sehingga Yeorin bisa merasakan dorongan hasratnya yang menggebu. Penis Jimin menutup vagina Yeorin. Paha mereka saling menekan.

Sweet RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang