PART II: CARISSA

25 4 0
                                    

Carissa Putri Widjaya sangat salah ketika berpikir dunia akan berpihak kepadanya. Ia tidak mengerti kenapa dirinya di usia 31 tahun secara tiba-tiba memiliki Claustrophobia.

Sudah dua tahun sejak pertama kali ia menyadari bahwa dirinya kerap kali merasakan mual berlebihan ketika berada di toilet berukuran 2x2, atau di dalam pesawat, atau bahkan di mobil ketika bukan dirinya yang mengendarai atau duduk di kursi penumpang bagian depan.

Carissa semakin yakin bahwa dunia memang tidak berpihak kepadanya atau saat ini tidak mau, ketika set obat-obatan miliknya sepertinya tertinggal di apartemennya di Taiwan. Gejolak di perutnya semakin menjadi-jadi saat turbulensi terjadi. Tentu saja itu adalah hal normal di udara saat penerbangan.

"Oh my God!" Batinnya Carissa heboh ketika pesawat bergoncang. Oke, Carissa sudah tidak tahan lagi! Ia melepaskan seatbeltnya dan berdiri. "I need to go to the toilet," guman wanita itu pada diri sendiri. Ia baru berjalan dua langkah sampai seorang pramugari menghentikannya.

"Excuse me, Ma'am, you have to sit. The seat belt sign is on and it's not safe for your to stand," kata pramugari itu.

Dengan intensitas Carissa terbang, wanita itu tahu bahwa berdiri dan berjalan di aisle harus dihindari demi keselamatannya sendiri. Tapi perutnya yang bergejolak dan keinginan muntahnya sama pentingnya dengan keselamatan Carissa saat ini.

Wanita itu menggelengkan kepalanya dan pramugari yang ia tahu namanya adalah Xueye mengernyitkan dahinya. "Ma'am, are you okay?"

No, I'm not okay. Carissa berjalan cepat menuju bilik toilet first class tanpa memperdulikan Xueye di hadapannya dan larangan wanita itu, membuka pintu toilet tergesa-gesa dan penutup bidet.

"Ma'am, are you okay?" Tanya Xueye lagi menatap tubuh Carissa bergetar disebabkan isi perutnya yang memaksa otot-otot tubuh wanita itu memuntahkan isi perutnya. Menyadari bahwa penumpangnya tidak baik-baik saja, Xueye dengan cetakan mengambil beberapa tisu kering dan basah.

"Here, Ma'am," katanya menyerahkan tisu yang dipegang kepada Carissa yang terlihat messed up terduduk di toilet dan terengah-engah. "Ma'am, you can sit here. Kita harus kembali ke seat masing-masing."

Carissa menggeleng-geleng. Sial, kepalanya sangat pusing dan pandangannya mulau kabur. Xueye melihat wanita itu sepertinya tidak sanggup lagi berdiri sendiri berinisiatif memanggil Adrian, salah satu pramuraga terdekat dari posisinya saat itu, untuk membantunya.

"Ma'am, I'm so sorry but we have to go back. Saya, dan ini Adrian, akan membantu Anda kembali. Can you stand up?" Xueye bertanya kepada Carissa sambil dirinya dan Andrian memegang kedua tangannya membantu wanita itu berdiri.

Beberapa detik setelah turbulensi yang cukup parah terjadi membuat Xueye dan Andrian terhuyung, dan Carissa yang memang sudah lemah jatuh ke belakang. Beberapa bagian tubuh wanita itu membentur wastafel dan bidet yang menimbulkan suara cukup keras.

"Aduh," Carissa meringis merasakan tidak hanya perutnya yang sakit, sekarang sepertinya seluruh tubuhnya sakit. Kepala dan lengan kanannya terutama.

"Oh my God, Ma'am!" Xueye memekik panik setelah berhasil menyadari apa yang terjadi. Carissa berada di dalam toilet dengan kondisi terduduk dan sekitar pelipis wanita itu berdarah, serta tangan kanan wanita itu membiru yang ia tahu sebelumnya tidak ada.

"Cloudy ya, dan turbulensinya, I'd say it was bad," kata Ben pertama kali ketika penerbangan mereka telah mencapai level 39,000 kaki di atas permukaan laut.

Evans mengangguk mengiyakan, "I hope the passengers are okay."

Ya, turbulensi yang terjadi pada pesawat terbang adalah hal yang biasa. Tapi di saat tidak beruntung, Turbulensi bisa terjadi cukup cepat dan parah yang mengakibatkan kondisi darurat pada pasien yang membutuh toilet.

Dan sepertinya harapan Evans tidak akan terjadi ketika Adrian, salah satu crew senior dalam penerbangan ini, menginformasikan hal penting lebih panggilan intercomm ke cockpit.

"Capt, we have an emergency situation in the first class."

"What happened?"

"Salah satu passenger terjatuh di toilet dan saat ini mengalami cedera tangan kanan serta kepalanya berdarah. Crew juga mengalami minor, Ms. Xueye dan Mr. Adrian."

"What!?" Keluar dari mulut Evans dan Ben bersamaan. Evans memegang seat belt miliknya dan melepaskan. "I have to check on them, Ben. Lo stay disini ya."

Sebelum meninggalkan cockpit Evans memastikan kondisi sudah aman dan memindahkan kendala FA-1 kepada co-pilot yang sekarang bertindak sebagai pilot.

"What happened?" Tanya Evans pada Xueye yang sedang mengompres pelipis miliknya. "Penumpang di seat 7B sepertinya punya masalah dengan perutnya, dia memaksakan diri atau terpaksa harus ke toilet saat turbulensi masih terjadi. Kami berusaha membantunya kembali ke tempat duduk, namun ketika berdiri turbulensi terakhir sudah lebih dulu terjadi."

"I see. How was your condition?" Sebagai seorang captain dalam penerbangan ini, Evans harus memastikan terlebih dahulu bahwa para crewnya baik-baik saja. "I'm okay, Capt. But the passenger, I think she needs to go to the hospital right away after we landed."

Evans mengernyitkan dahinya. Sebegitu parahkah? Bukan bermaksud untuk menganggap enteng turbulensi yang tadi memang terjadi. Tapi dalam rute Taiwan ke Bali, turbulensi yang tadi terjadi saat Airbus 330 ascending tadi adalah hal biasa. Bagi orang yang sering melewati rute ini sudah cukup hafal.

Untuk menjawab rasa penasaran pria itu, Evans berjalan menuju cabin first class pada nomor kuris yang dikatakan Xueye. Ketika sampai di sana, Evans mendapat Adrian yang sedang membantu penumpang itu mempersiapkan tempat duduknya. Pria itu hanya bersisi sekitar 4 langkah pria dewasa pada 7B dan ia dengan jelas dapat mendengar ringisan kesakitan dari penumpang itu.

"...if you need anything to make your flight enjoyable, don't hesitate to call us..."

Evans bisa mendengar perkataan Adrian kepada penumpang itu membuatnya tersenyum bangga. Rasanya baru kemarin Adrian seorang junior dan melakukan beberapa kesalahan, now look at him! Professional and passenger oriented.

Pandangan Evans pun terarah kepada penumpang yang menjadi lawan bicara pria itu. Sepertinya kondisi penumpang itu benar-benar buruk. Selain ringisan yang tadi terdengar, Evans bisa melihat bagaimana dirinya tidak bisa menjawab dan hanya memberikan anggukan kepala pelan.

"Eh, Capt." Andrian sedikit terkejut ketika berdiri dan mendapati Evans berdiri di aisle, di hadapannya. Pria itu tersenyum dan menepuk atas bahu pria itu, "Thanks, Adrian."

"Hello, Ma'am Widjaya. I'm Captain Politova, the pilot of this flight. From my deepest heart, and with the whole of the cabin crew, we would like to apologize to you for what has happened. The turbulence is sometimes unavoidable and today's turbulence was really bad. We are deeply sorry," kata Evans panjang lebar dan tidak lupa membungkuk setelah perkataannya selesai.

Ketika Evans mengangkat kepalanya tatapannya terkunci pada bola mata coklat milik penumpang itu. Sampai beberapa saat wanita itu tidak memberikan tanggapan apa-apa, jadi Evans berpikir bahwa sudah harus kembali ke kokpit sampai tangan penumpang itu memberikan isyarat kepadanya untuk mendekat.

Evans mengerti dan mendekat. "Ya, Ma'am?" 

Ia berpikir sepertinya wanita sulit berbicara dengan suara keras. Tapi apa yang pria itu dengar selanjutnya membuat keningnya berkerut lalu menarik kepalanya menjauh sehingga bisa memandangi wanita itu. Awalnya tatapan terkejut lalu berganti dengan tatapan geli dan ia menahan untuk tidak menyeringai.

"Kamu pilot amatir ya? You better fly this plane properly, asshole."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang