PART VI: EVANS

14 3 0
                                    


Evans baru terbangun dari tidurnya. Tumben sekali pria itu bisa tidur di tempat lain, tempat yang tidak familiar baginya.

Ia lalu meraih handphone miliknya pada nakas untuk melihat jam berapa sekarang dan malah gagal fokus ke notifikasi dibawah jam digital handphone.

99+ missed calls from Elijah William Macbain.

99+ missed calls Anna Leonny Sumampow.

Dan beberapa kontak yang mengirimkan total hampir ribuan pesan.

Kenapa dua orang ini menelponnya?

Setelah melihat jam berapa sekarang pria itu membatin. Oh shit. Dia tidur lebih dari perkiraannya. Sekarang sudah pukul 11 malam. Berarti sudah 5 jam ia tertidur di ruangan rumah sakit dengan bau yang sebenarnya pria itu sangat benci. Dan sekarang seharusnya Evans sudah mengambil Tuxedonya untuk pernikahan Anna besok.

Evans bengun dari kasurnya melirik ke arah Carissa. Wanita itu masih tidur dengan sangat pulas. Ia memutuskan untuk keluar kamar rawat itu agar bisa berbicara dengan lebih leluasa kepada Anna atau Elijah.

"Hi, Dek. Sorry-sorry, I just woke up."

Anna bertanya dengan panik karena seharusnya kakak satu-satunya itu check in di resort pernikahan mereka kemarin siang.

"Seriously, where are you right now, Kak? Lo nggak kenapa-kenapa kan? Resort info kalau lo belum check in. Is there something wrong?"

Evans meringis. Memang tidak salah Anna memilih melanjutkan profesinya sebagai dokter, ya apalagi sekarang dokter spesialis. Liat saja dari caranya bertanya. Seperti seorang dokter yang menghujam pertanyaan kepada pasien sakit yang bertahun-tahun tidak pernah check up dan baru datang ke dokter ketika sakitnya sudah tidak tertolong.

"Gue di rumah sakit lag–" Sudah pasti Evans akan dibabat habis-habisan oleh Anna jika tahu pria itu sakit dan baru memberitahunya sekarang.

"Rumah sakit? Lo sakit?" Tanya Anna lagi dengan nada super khawatir yang membuat Evans sedikit merasa bersalah.

Pria itu sangat lupa memberitahu Anna dan orang tuanya soal kondisi ini, dan sudah pasti mereka panik karena seharusnya Evans check in kemaren. "Gue kesana sekarang."

"No! Yang bener aja, An. Lo besok nikah pagi-pagi lagi. And to answer to your question, nggak, gue nggak sakit. Kenalan gue yang sakit dan karena hanya gue yang dia kenal di Indonesia, nggak enak gue tinggalin."

Barulah nada suara Anna melunak dan terdengar lega, "I see. Kenapa nggak bilang sih, bikin orang pada khawatir aja."

"Sorry, Sis. By the way, gue kayaknya nggak bisa langsung ke sana malam ini. Tapi besok pagi pasti gue tepat waktu kok."

"Tuxedo lo?" Nah ini dia yang diluar perhitungan Evans. Jika ia mencari malam ini pun, sebarapa banyak uang yang dimiliki pria itu pada bank accountnya tetap saja ia tidak bisa membeli tuxedo baru di mana pun. Sudah pasti tutup di jam segini.

"I know it's too much too ask, tapi gue bisa minta tolong di gojekin aja nggak ya ke sini?"

"Nggak perlu gojek, gue aja yang anterin. Bakal kusut banget kalo di gojekin Tuxedo lo, bro. Masa ke nikahan salah satu orang terpenting dalam hidup lo, Tuxedonya kusut," Evans tidak lagi mendengar hanya suara Anna di panggilan itu, tapi Elijah.

Dan seperti itulah Evans mengganggu persiapan kedua mempelai yang akan mengucapkan janji suci besok. Bahkan mempelai prianya yang langsung mengantarkan Tuxedo pria itu. Benar-benar.

"Wow. Lo memang adik ipar yang bisa andelin, El," kata pria itu sambil mendekati Elijah yang berjalan menuju ke arahnya.

"Lo yang benar aja bikin khawatirnya H-beberapa jam banget."

"Sorry, bro." Hanya ini yang bisa dikatakan Evans kepada Elijah.

Setelah Elijah memberikan semua barang-barang milik Evans untuk pernikahan adiknya besok dan calon kakak iparnya menerima semuanya, pria itu pamit pulang untuk istirahat. Besok juga hari besarnya.

"Thank you so much ya, El. Pastiin tidur nyenyak malam ini, though I know it's hard."

"Will do, Kakak Ipar." Elijah terkekeh. "Oh iya, ini." Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kunci mobil yang dikenali oleh Evans.

Mata Evans membesar dan menatap kagum pada Elijah. Anna memang pintar, terutama pilihannya berkaitan dengan pria. Ia bisa melihat selama ini mereka berdua, Anna dan Elijah, memang seimbang satu sama lain. Terutama ketika memilih keputusan yang krusial, bahkan di injury time keputusan mereka terbukti paling praktikal dan harus diakui sangat bijak.

"Wow, bener-bener ya kalian berdua sangat bisa diandelin," kata Evans speechless. He needs to find someone like this too. Someone who will complete him like Anna completes Elijah and the other way around.

"Mobilnya udah diparkirin Pak Fajar di basement ya. Semua udah dicek juga, all good. Besok tinggal pakai aja."

"Alright. Gue nggak tahu mau ngomong apalagi selain makasih."

Elijah menyeringai dan menggoda, "Wedding gift-nya private jet boleh tuh. Biar gue sama Anna bisa kemana-mana lebih leluasa. Sekalian sama service dan airport parking fee juga ya, Kak."

"Sialan." Lalu kedua tertawa kecil, dan Elijah berpamitan meninggalkannya. Ketika pria itu berjalan meninggal koridor rawat itu, Evans bisa mendengar para suster yang bertugas berbisik-bisik soal Elijah.

Ternyata yang paling beruntung di antara hubungan Anna dan Elijah bukan keduanya, tapi Evans. Lucky bastard.

Evans kembali memasuki kamar Carissa. Ia membuka dan menutup pintu kamar itu perlahan-lahan karena si pemilik sudah tertidur pulas. Setelah meletakkan Tuxedonya pada posisi paling aman, Evans kembali menaiki ranjang tempatnya tidur dan memutuskan untuk tidur lagi sampai terbangun jam 5 pagi.

"Dia sangat pulas," gumannya ketika melewati ranjang milik Carissa yang masih pulas, lalu memasuki toilet dan bersiap-siap.

"Selamat pagi, Pak Evans. Hari ini rapi sekali, ada acara ya, Pak?"

Ketika Evans membuka pintu, Suster Andrea sudah berada di hadapannya. Sepertinya akan mengecek cairan infus milik Carissa. Wanita itu terkejut ketika melihatnya.

"Hari ini ada pernikahan adik saya, Suster Andrea. Saya titip istri saya sebentar ya. Mungkin saya akan kembali agak malem, tolong dipastikan istri saya makan dan konsumsi obat-obatannya teratur. Jadwalnya suka kelewat karena dia sering ketiduranan."

"Bisa kan?" Pria itu berusaha mendapatkan konfirmasi dari susterr favorit Carissa di sini.

"Tentu saja, Pak Evans." Evans tersenyum setelah mendengar perkataan wanita itu.

"Terima kasih kalau begitu, Suster Andrea. Saya tinggal ya."

Suster Andrea tersenyum tersentuh dengan ketulusan pria ini. Pria yang sangat mencintai istrinya. Seandainya semua suami seperti pria dihadapannya ini. 

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang