PART IV: EVANS

15 3 0
                                    

"7B udah bersama ground officers dan langsung menuju rumah sakit terdekat, Capt," kata Xueye kepada Evans karena pria itu memintanya menginformasikan kepada pria itu updatenya.

Dan disinilah Evans, salah satu rumah sakit swasta kelas atas di Denpasar. Apa yang terjadi kepada wanita itu kalau dipikir-pikir cukup banyak bukan kesalahannya. Hanya saja sebagai pilot penerbangan itu Evans merasa cukup bersalah kepada Carissa. Apalagi jika mengingat adiknya adalah seorang perempuan. Tentu saja pria itu tidak menginginkan seorangpun dan kejadian apapun melukai adiknya itu.

Ketika pria itu tiba di rumah sakit, Evans mengerutkan dahinya karena penumpang yang ia kenal dengan family name Widjaya itu masih terbaring di ranjang IGD. Mereka baru pertama kali bertemu namun yang jelas Evans mengenal perawakan wanita itu dari plats di pelipisnya dan pakaian yang terakhir wanita itu kenakan.

Bukannya sudah 1 jam yang lalu wanita itu dibawah ke sini?

Evans berjalan ke arah counter di mana para suster berapa. "Uhm, Suster, pasien di sebelah sana udah mendapatkan tindakan dan ruangan?" Tanya pria itu sambil menunjuk ranjang dimana Carissa berada.

"Nyonya Widjaya? Sebenarnya kami dari tadi masih menunggu walinya, Pak. Karena beberapa tindakan memerlukan persetujuan dari wali pasien sebelum kami lakukan. Pasien sejak tadi tertidur tim dari maskapai penerbang yang mengantar meninggalkan tempat ini. Katanya wali pasien tersebut sudah menuju ke sini, tapi belum sampai juga."

"..." I see, batin Evans. Benar juga, seharusnya pria itu tahu alasannya belum ada tindakan untuk Carissa. Tanpa berpikir lebih panjang, Evans memastikan Carissa akan mendapatkan pelayanan terbaik hari ini.

"Apakah Bapak walinya?"

"Ya. Betul, saya." Dengan percaya diri pria itu memperkenalkan dirinya sebagai kerabat Carissa walaupun sebenarnya pria itu bukan siapa-siapa.

"Ya, Pak?" Suster yang tadi berbicara kepadanya berusaha memastikan apa yang pria itu katakan.

"Ya, saya wali pasien. Jadi bisa ditangani sekarang?" Suster itu mengangguk, lalu memegang gagang telepon dan menghubungi dokter jaga. Sementara beberapa suster dibelakang suster yang melayaninya berbisik-bisik kecil yang masih bisa didengar oleh Evans.

"...Wow tampan sekali!..."

"...Mukanya bule banget tapi logat bahasa Indonesianya bagus ya..."

"...Pasti suaminya pasien itu, pasiennya aja cantik banget!..."

Tapi Evans tidak mempedulikan itu dan fokusnya hanya kepada suster dihadapannya saat ini.

"Baik, Pak. Dokter Beny, yang berjaga IGD hari ini, akan segera menangani pasien ya, Pak. Anda bisa menunggu di ranjang pasien, dokter akan segera di sana."

Evans mengangguk dan memang benar selang hanya beberapa menit saja seorang dokter mendekat ke arahnya. Beny tertulis pada sebuah benda kecil di saku kiri jas atas pria itu.

"Selamat siang, Pak..."

"Evans, Dokter bisa panggil saya Evans saja."

Dokter Beny mengangguk, "Baik, Pak Evans. Saya Dokter Beny dan saya akan memeriksa istri Anda sekarang ya."

Istri? Evans terkekeh yang membuat Beny mengerutkan dahi menatap pria itu. "Apakah Bapak juga sakit?" Evans menggeleng dan menahan senyum gelinya.

"No, Dokter. I'm all good."

Lalu Dokter Beny kembali fokus untuk memeriksa Carissa. Mulai dari pupil wanita itu dikarenakan dirinya tidak sadar saat ini. Dokter Beny menyadari sejak tadi Evans memperhatikan gerak-geriknya dan membuat dokter itu sedikit kikuk.

"Nyonya Widjaya hanya tertidur, Pak Evans. Tadi kami sudah sempat memeriksa istri Anda dan memberikan painkiller melalui cairan karena Nyonya Widjaya mengeluhkan sakit pada seluruh tubuhnya. Kami menduga tubuhnya sakit karena otot-ototnya tegang saat datang tadi."

Evans mendengarkan penjelasan pria itu dengan seksama dan mengangguk-angguk.

"Dari informasi Nyonya Widjaya, beliau baru saja tiba di Bali. Sepertinya beliau memiliki claustrophobia atau phobia ruang sempit atau mungkin juga perjalanan dengan pesawat yang kemungkinan besar menyebabkan tegang otot tadi. Kami perlu menanyakan lebih lanjut untuk mengkonfirmasi dugaan kami ini. Apakah Pak Evans mengetahui hal itu?"

Evans tidak bisa memberitahu Dokter Beny kalau dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang 'istri'nya itu. Pria itu pasti akan mengira ia adalah 'suami' yang buruk bagi istrinya yang sangat cantik itu.

"I know she has claustrophobia." Why do you know, Evans? 

"Tapi saya nggak tahu efeknya akan sangat mempengaruhi penerbangannya hari ini," lanjut Evans kepada Dokter Beny yang mengangguk.

"Ya, bagi sebagian orang ruang sempit mungkin hal biasa. Namun, untuk orang-orang yang memang memiliki claustrophobia, itu neraka bagi mereka ketika ke-trigger."

"Kapan dia– hmm istri saya akan bangun kalau begitu?" Evans tentu saja harus bermain dengan peran yang telah ia putuskan tadi.

Dokter Beny memeriksa catatan dosis yang diberikan oleh suster di samping. "Kurang lebih 2-3 jam lagi, Pak Evans. Untuk saat ini apakah berkenan rawat inap atau cukup dengan rawat jalan saja?"

"Rawat inap tentu saja, if it'd be better, Dokter Beny."

"Baik kalau begitu, suster Andrea akan membantu Anda untuk urusan administrasi dan segera kami akan persiapkan kamar inap untuk Nyonya Widjaya."

"Thank you, Dokter Beny." Evans berterima kasih kepada Dokter Beny, sebelum pria itu mengikut suster di bagian administrasi. "Mari ikut saya, sebelah sini Pak Evans."

Evans tidak biasanya kepo pada urusan orang lain. Terutama mengenai data pribadi. Tapi hari ini, pria itu merasa beruntung dan memuji kecepatan otaknya mengambil keputusan bertanya data diri dari seorang penumpang wanita bernama Carissa Putri Widjaya.

"Saya nggak hafal NIK istri saya, apa bisa dikosongkan dulu?" Sial, Evans tidak pandai angka selain angka-angka berkaitan dengan aviasi. Pria itu melihat jelas data Carissa tadi, hanya saja otak pintarnya tidak bisa mengingat.

"Seharusnya tidak masalah, Pak Evans. Paralel nanti kami akan lengkapi lagi ketika Nyonya Widjaya sudah siuman kalau begitu untuk kami tanyakan langsung."

Evans memberikan senyuman terbaiknya. "Yes, much appreciated. Terima kasih, Suster."

OK. Satu-satu persatu rintangan demi membuat Carissa mendapatkan perawatan terbaik sudah terlewati.

Good job, Evans.

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang