Bagaimana proses aku bisa jatuh cinta dengannya adalah misteri yang sulit kupecahkan. Sehingga membuatku agak yakin aku tidak akan pernah bisa memahami itu. Membuat frustasi dan mempertanyakan semua hal tentang pengalaman hidupku yang telah kupahami lalu menjadi bias. Bagaimana bisa aku mencintai seorang perempuan sombong, angkuh dan dingin seperti dia? Maksudku, dia seorang perempuan, demi Tuhan!! Apa sih yang terjadi dengan otakku?
Tapi aku tidak mengerti bagaimana bisa perasaanku mengkhianati pikiranku sendiri? Kukira aku hanya bisa mencintai lelaki seumur hidupku. Hanya karena dia cantik keterlaluan maka itu aku jatuh cinta padanya? Itu tidak masuk akal!
"Audrey, berhenti bertanya dan mulailah menerima." Jasper mulai berbicara setelah sepuluh menit mendengar racauanku tentang Allisandra, perempuan yang tiba-tiba saja kucintai. Argh, menyebutkannya saja membuatku gerah.
"Aku nggak paham kenapa hal seperti ini bisa terjadi sama aku. Terlalu membingungkan kalau disebut kebetulan. Mikir ini jadi sakit kepala."
"Kamu akan lelah kalau mencari pemahaman terus, yang sebenarnya dibutuhkan justru penerimaan."
Dengan tatapan sebal aku melirik lelaki tampan nan rupawan di sampingku. Apapun yang keluar dari mulutnya selalu masuk akal. Jasper tipikal orang yang akan terus membalas ucapan lawan bicaranya dengan cara yang menurutnya benar. Entah karena dia sok tahu atau memang banyak tahu.
"Kamu nyebelin, Jaz!"
"Sometimes life sucks, Audi. Hidupmu cuma lagi memutar arah dengan cara yang ekstrim. Just hang on and moving forward."
"Aku pikir aku straight. Atau sebenarnya aku cuma baru tahu kalau aku nggak 100% straight."
Jasper terdiam seolah memberiku kesempatan untuk aku memahami pikiranku sendiri.
Aku berdecak frustasi. "Rasanya bikin kesal. Aku cuma ingin hidup tenang dan damai."
"Hidup tenang dan damai bukan berarti nggak ada masalah. Selama kamu hidup masalah akan terus muncul."
"Ya tapi bukan masalah seperti ini dong! Apa-apaan ini, tiba-tiba aku seperti terobsesi sama perempuan! Argh!" teriakku tidak terima tapi mau tidak mau aku harus terima, semakin aku menolak perasaan ini semakin tertekan rasanya.
"Percaya saja kalau sesuatu terjadi pasti ada alasannya."
Sahabatku itu mengangkat bahunya kasual sambil mengisap rokoknya lagi. Dia sudah cukup bicara dan membiarkanku merenungi apapun yang saat ini menjadi pikiranku.
Masalahnya, semakin aku tertekan kepalaku sakit sekali. Dan setiap kali sakit kepala seperti ada sesuatu yang ingin merangsek keluar, entah apa.
Semuanya terjadi begitu saja. Tidak ada tanda-tanda dan peringatan, apalagi firasat. Semua tampak wajar apa adanya. Pagi hari seperti biasa dan hari Senin yang normal. Allisandra, orang-orang memanggilnya Alia, hanya membuka pintu ruanganku, berjalan melewati meja kerjaku, tanpa sikap dan tindakan provokasi yang bisa membuatku jatuh cinta, hanya berjalan menghampiri ruangan Pak Ginan, atasanku di kantor.
Aku menatapnya selama tiga detik.
Sesuatu mulai terasa tidak wajar, seakan waktu berhenti berjalan dan pikiranku mulai bereaksi tidak biasa akan kehadirannya. Seolah dia telah memenuhi semua preferensiku tentang seseorang yang bisa berbagi waktu dan hidup bersamanya; yang dapat kucintai seumur hidupku.
Detik itu juga aku ingin memilikinya.
Membuatnya bahagia.
Aneh, bukan.
Setelah kehadirannya di hadapanku menghilang di balik pintu, menyisakan aura keresahan yang tidak bisa kujelaskan, yang tiba-tiba saja muncul. Keinginan kuat untuk terus melihatnya memenuhi perasaanku. Meninggalkan rasa tidak nyaman dalam benak. Mengendap permanen sampai membuatku gelisah luar biasa selama berminggu-minggu.
Jasper menawariku rokok dan aku menariknya dari dalam bungkus. Menyalakannya dan menghisap dalam-dalam sampai memenuhi paru-paruku.
"Omong-omong," Jasper mengepulkan asapnya ke udara, lalu melihatku agak serius, "dari mana kamu yakin kalau itu jatuh cinta? Apakah nggak sebaiknya kamu berpikir itu hanya fase atau perasaan sesaat, euforia atau antusiasme karena kagum, mungkin? Well, she so fucking beautiful, right." Jasper tertawa kecil.
Bahkan seorang Jasper Jullian, staf IT yang terkenal paling tidak tertarik dengan urusan duniawi, termasuk orang-orang di dalamnya saja menyadari akan kehadiran sosok Alia karena penampilannya yang serupa supermodel. Hampir semua orang mengaguminya. Aku berharap sangat kuat kalau apa yang kurasakan pada Alia hanya sebatas kekaguman, seperti halnya orang-orang. Aku khawatir kalau ini adalah perangkap semesta dan hanya aku yang terjerat dengan jebakannya.
Tapi pikiranku menyabotase harapanku.
"Aku tahu karena aku pernah jatuh cinta, Jaz. With my husband, of course. Tapi yang sekarang, perasaan ini terlalu kuat bahkan bisa bikin aku mati berdiri!"
Tangan Jasper menyentuh belakang punggungku dan mengelusnya lembut, lalu tersenyum sendu. "Kamu akan baik-baik aja, Audi."
"Entahlah," balasku tidak yakin.
"Kamu pernah melewati hal berat sebelumnya, kan. And you're survive."
"Itu karena kamu."
Jasper menggeleng, menolak ucapanku. Menatapku dengan sorot mata bersahabat.
"Kamu memilih untuk tetap hidup dari pada lompat dari atap gedung."
Pikiran seperti itulah tepatnya yang belakangan memenuhi kepalaku. Jadi, perasaan ini entah bagaimana membuatku sangat takut. Takut akan sesuatu di depan sana yang aku tidak tahu, tapi mampu membuatku gelisah gila-gilaan.
"Aku lebih memilih jatuh cinta denganmu, sumpah demi Tuhan, Jasper!"
Lelaki itu tertawa lepas sembari menginjak rokoknya dan merangkulku, mengajakku kembali ke dalam karena jam istirahat sudah hampir selesai.
"Dua orang lawan jenis nggak bisa bersahabat, kalau nggak berakhir saling mencintai, berarti bertepuk sebelah tangan. Maaf aku harus bilang, aku lebih senang kamu jatuh cinta dengan orang lain sekalipun itu adalah perempuan, karena dengan begitu kita masih bisa berteman."
"Bullshit!"
Jasper tertawa sembari mengacak rambutku.
"Entah kenapa aku kecewa, padahal kamu ganteng banget dan baik dan.. banyak duit!"
Ia tergelak dengan bebas hingga membuat orang-orang memperhatikan kami. Termasuk mereka yang naksir kepadanya. Kecuali Alia. Dia tidak pernah peduli apapun yang ada di sekeliling. Seakan ada dinding tak kasat mata yang mengelilinginya. Membuat di sekitar menjadi kedap suara. Dia duduk dengan tegap di kursi, mendengarkan musik lewat ponsel dan fokus menatap layar komputer.
Aku tidak mungkin jatuh cinta selamanya dengan perempuan itu, kan?
Hello, this is my first story. Kalau berkenan bisa kasih saran dan kritiknya hehe. Cerita ini bakalan fokus ke kondisi perasaan Audrey yang tiba² saja jatuh cinta sama Alia, yang mana Audrey kira dia straight. Dan tentu saja dengan konflik-konflik yang membantu Audrey menyadari perasaannya, apakah itu fase, sesaat atau euforia, seperti yang dibilang Jasper. Selamat membaca ya ♡•♡•♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]
General FictionHanya dalam waktu tiga detik saja Audrey mengklaim dirinya jatuh cinta pada Allisandra. Hal pertama yang dilakukan Audrey adalah menghindarinya sekuat tenaga. Namun semakin hari pikirannya semakin penuh dengan sosok perempuan cantik itu. Audrey tida...