Di perjalanan Alia lebih banyak diam dan bertanya seperlunya. Dia juga tidak banyak bicara setibanya kami di apartemenku. Aku duduk di sofa ruang tengah dan mengikuti gerak tubuh Alia kesana-kemari. Membawakanku air mineral, untuk minum obat dan mengecek suhu tubuhku. Melihat tanganku dengan cemas.
"Tidurlah. Kamu butuh istirahat." Alia bersiap untuk pergi tapi aku menahannya, refleks dengan tanganku yang terluka. Aku meringis ngilu menahan sakit. Alia melepaskan tanganku dan melihatku marah.
"Kamu ini..." dia mendesis keras sembari menyisir rambut panjangnya ke belakang lalu berkacak pinggang, menatapku dari atas. Membuatku seperti anak kucing ketakutan.
"Istirahat!" perintahnya lagi. Entah kenapa rasanya ada amarah yang begitu besar menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Kalau aku istirahat, masalah kita nggak akan selesai."
"Karena memang nggak ada masalah, kamu yang minta aku jauhin kamu, Audrey Millana!"
Aku berdiri dan menarik kemejanya, memintanya untuk tidak pergi. Alia menatapku sengit, tidak suka dengan apa yang kulakukan.
Lalu berdengus keras, menghindari tatapanku yang memohon. "Lepas," pintanya.
"Aku minta maaf," tertunduk dalam seraya perlahan melepas tanganku.
"Lalu kenapa saat itu kamu bilang jijik sama aku?" Suaranya mengintimidasiku.
Aku mendekatinya sampai jarak kami hanya beberapa senti menter saja. "A-aku nggak tahu, Allisandra."
Kupejamkan mata dan berharap Alia memahami kesulitanku dalam menjelaskan. Bahwa, aku merasakan kemarahan Pradia saat tahu aku menyukai Alia, akan tetapi aku juga paham Pradia mustahil tahu apa yang kurasakan. Aku kesulitan memisahkan pikiranku dan apa yang mungkin Pradia pikirkan tentangku, seolah aku membagi dua pikiranku. Dan menjalaninya secara terpisah.
Terkadang aku menjadi bingung dengan bagaimana aku berpikir. Seperti saat aku berpikir kalau aku memang tidak seharusnya mencintai Alia, perasaan ini tidak wajar dan tebersit rasa malu, jijik, dan aneh tetapi perasaanku selalu membuktikan sebaliknya.
Karena perasaan tidak pernah bohong. Maka, aku berpegang pada apa yang kurasakan. Aku sangat menyukai Alia melebihi rasa sukaku pada diri sendiri.
Karena besarnya perasaanku padanya, aku mulai meragukan pikiranku sendiri. Aku tidak tahu lagi seperti apa suara asli pikiranku. Kepalaku terasa penuh oleh monolog yang menyaru dialog antara aku dan Pradia.
Ada suara percakapan di dalam kepalaku. Bagaimana aku menjelaskan ini pada Alia tanpa terlihat mengada-ada?
"Lihat aku," dia mendekatkan wajahnya pada wajahku, "kenapa saat itu kamu bilang untuk menyingkirkanku kamu lukai tanganmu sendiri, Audrey?"
Aku bergeming, mulutku terkatup rapat.
"JAWAB AKU!"
Kemarahan Alia meledak seolah amarah yang ada pada dirinya sudah tidak bisa ditahan lagi. Sorot matanya melemah dan gurat penyesalan terukir jelas di wajahnya. Dia menjauh dariku dan duduk menenggelamkan mukanya di balik telapak tangannya.
"Maaf, aku nggak bermaksud bentak kamu."
Aku duduk di samping Alia dan menghela napas, takut dan gugup menguasai pikiranku saat ini. Aku meraih tangannya dan mata kami saling bertemu. Mengunci. Betapa aku ingin mengutarakannya saat ini kalau aku mencintainya, tapi pikiranku mencegahnya. Seakan ada sesuatu yang belum aku selesaikan dan tidak berhak mengatakannya.
Sebagai gantinya, aku mencium Alia agar dia tahu aku tidak bersungguh-sungguh mengatakan hal yang menyakiti perasaannya.
Perasaanku kini melepaskan dahaga akan sentuhan bibirnya yang lembut dan tipis. Aku memeluk tubuhnya dengan erat yang membuat Alia seolah kehilangan kendali dan mendorongku terlentang di sofa. Paha kanannya menekan area sensitifku. Membuat Alia semakin agresif dan menciumku dalam tempo yang cepat dan rakus. Sejurus kemudian, matanya terpejam dan gerakannya perlahan berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]
General FictionHanya dalam waktu tiga detik saja Audrey mengklaim dirinya jatuh cinta pada Allisandra. Hal pertama yang dilakukan Audrey adalah menghindarinya sekuat tenaga. Namun semakin hari pikirannya semakin penuh dengan sosok perempuan cantik itu. Audrey tida...