"Berdasarkan kick off meeting yang sudah ditandatangani oleh perusahaan Bapak dan kami selaku pemberi kerja, seharusnya tanggal Dua Belas Oktober material sudah masuk ke lokasi dan tanggal Lima Belas harus sudah ada pekerjaan yang dimulai, sehingga dua minggu sejak tanggal kontrak ditandatangani seharusnya sudah ada progress pekerjaan sebesar 15%, Pak."
Aku memulai rapat koordinasi dengan kontraktor bermasalah secara online, sejak pandemi melanda dunia, perusahaan rupanya mulai merasakan efektif dan efisiennya melakukan rapat secara online.
Sejak turunnya Surat Keputusan yang menggantikan Pak Ginan, dia lebih banyak duduk di depan komputer, merokok di luar, minum kopi di pantri atau ngobrol di ruangan sebelah. Setiap kali aku meminta dia untuk mengurusi masalah projek, dia selalu bilang, "kamu kan segala bisa." Seakan dia berulah agar dipecat, untuk mendapatkan pesangon.
Ingin sekali aku memaki ke wajahnya, padahal dia itu sudah resmi jadi staf Procurement dan aku membawahi dia sebagai atasannya. Tapi tingkahnya seperti pemilik perusahaan.
"Iya, Bu Audrey, kami langsung saja ya, Bu, supaya lebih cepat dapat solusi. Kami berharap keringanan dari perusahaan untuk memundurkan jangka waktu pelaksanaan dikarena banyak masalah teknis yang belum bisa kami atasi, misalnya para pekerja yang kami datangkan dari luar, material besi yang akhir-akhir ini naik, Bu harganya, jadi kami mencoba untuk fabrikasi di rekanan agar menekan biaya, dan juga beberapa material seperti kayu Kelas 1 yang sudah sulit kami dapatkan, kalau berkenan apakah bisa diganti? Selain itu juga ada keterlambatan material yang kami pesan. Demikian, Bu, mohon feedback-nya."
Divisi Technical Support mulai merasa kesal karena menurut mereka kontraktor ini selalu beralasan agar kami mengikuti apa maunya mereka, seharusnya kontraktor yang mengikuti aturan main pemberi kerja.
Terjadi perdebatan yang cukup membuatku lelah, lalu aku menengahi dengan sikap kerasku. Dengan rapat yang dilakukan secara daring, aku bersyukur, dengan begitu mereka tidak perlu melihat wajahku yang geram. Ada kemarahan dan kekesalan yang sulit kupahami kemunculannya.
"Pak, kami akan claim Jaminan Pelaksanaan jika Bapak mangkir terus." Terpaksa aku mengancam. "Untuk tim Technical Support, apakah kayu Kelas 1 bisa diganti dengan kelas di bawahnya atau bisa digunakan baja ringan, mungkin?" tanyaku, segera mengambil keputusan sebelum terjadi perdebatan lagi.
"Bisa, Bu Audrey." Salah satu staf TS menjawab singkat.
"Pak Ganjar, sudah dengar kan. Material kayu bisa digantikan. Perihal para pekerja dan material yang terlambat kira-kira bisa sampai kapan?"
"Estimasi sih dua minggu, Bu."
"Jika jangka waktu pelaksanaan diubah kami tetap akan ajukan denda. Untuk tim TS, saya kira kita nggak bisa memaksa pengiriman material lebih cepat karena mereka mengirimnya lewat laut, jadi saya rasa ajukan saja denda karena perubahan jangka waktu. Dan saya minta Pak Ganjar untuk revisi Bank Garansi, entah bagaimana caranya, setuju Pak?"
"Baik, Bu. Kami akan ubah jangka waktu Bank Garansinya."
Ini bukan cara kerjaku yang sebenarnya, biasanya aku akan mengulitinya satu persatu sampai kedua belah pihak mendapatkan solusi terbaik tapi hanya karena perasaanku buruk gara-gara Alia, aku seperti memaksakan solusi kepada mereka.
Padahal di sini, divisi Procurement hanya sebatas menjalankan prosedur pengadaan barang dan jasa, tidak untuk memutuskan harus bagaimana terkait masalah pekerjaan. Ini semata hanya agar cepat selesai.
"Iya, Bu Audrey, saya setuju untuk didenda saja."
Aku bernapas lega saat Pak Surya, kepada divisi TS satu pemikiran denganku. Ia tidak lagi berdebat tentang kekesalannya. Semua mendapatkan solusi dan projek yang telat pengerjaannya ini akhirnya mendapatkan kejelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]
General FictionHanya dalam waktu tiga detik saja Audrey mengklaim dirinya jatuh cinta pada Allisandra. Hal pertama yang dilakukan Audrey adalah menghindarinya sekuat tenaga. Namun semakin hari pikirannya semakin penuh dengan sosok perempuan cantik itu. Audrey tida...