23. Quality Over Quantity

689 82 7
                                    

Mereka duduk di lantai kamar hotel dalam temaram lampu, bersandar pada tempat tidur. Hans sudah seperti manusia vampir yang enggan terkena cahaya matahari. Alia menatapinya dengan rasa iba juga sedikit rasa bersalah. 

Alia meminta Hans untuk menghapus video Audrey. Tak seperti perkiraannya, Hans dengan mudah tanpa drama menghapus video Audrey di ponselnya. Lalu menaruhnya sembarang. Mengusap wajahnya berkali-kali. Kehadiran Alia di sampingnya memang membuatnya tenang tapi dia tahu itu hanya sementara.

"Puas?" tanya Hans ketus.

"Kamu keterlaluan."

"Aku nggak tahu lagi cara supaya kamu mau ketemu aku, Alia."

"Caramu itu berengsek, Hans!"

"Audrey sama berengseknya denganku."

"Kita semua sama berengseknya."

Hans menyandarkan kepalanya ke sandaran tempat tidur, menatap lampu, lalu memicingkan matanya kemudian memejam.

Membayangkan dirinya tanpa Alia. Melepaskannya. Membiarkan Alia hidup bersama Audrey. Namun sulit. Ada rasa lekat yang menyakitkan dalam hati Hans, dia tidak bisa memahami kenapa Alia memilih perempuan seolah Hans tidak berharga di matanya.

"Apa yang terjadi pada kita sebenarnya, Alia?"

Alia memikirkan jawabannya dengan hati-hati. Dirinya lebih beruntung karena perasaannya berubah, sehingga hampir tidak ada kesulitan berarti melupakan Hans. Bagi Hans, tentu ini sulit.

Kadang-kadang, kita perlu melalui lima tahap berduka dan prosesnya tidak selalu berurutan. Kita bisa saja langsung menerima namun seiring waktu, saat pikiran mulai reaktif, kita bisa saja menyangkal realitas. Seperti yang dialami Hans saat ini.

"Mari kita mundur sejenak ke belakang, Hans," kata Alia, "seandainya saat itu kamu nggak datang ke acara reuni kampus, kita nggak akan ketemu. Seandainya saat itu kita nggak kenalan, kita nggak akan jadi dekat dan menjalin hubungan. Seandainya aku nggak terpesona dengan caramu memperlakukanku." Alia menoleh ke samping, mencari seraut wajah kuyu milik Hans, lelaki itu balas menatapnya.

"Nggak memaksamu untuk bersamaku saat aku tahu kamu sudah menikah, kita nggak akan menjalin hubungan sampai dua tahun lebih. Seandainya Ibuku masih hidup, aku nggak putus kuliah, kamu nggak menahan ego menghubungi Jasper dan meminta pekerjaan untukku. Seandainya aku nggak bekerja di Willard Forestry, aku nggak akan bertemu dengan Audrey," Alia tersenyum sembari membayangkan wajah Audrey. "Dan seandainya aku nggak bertemu dia, mungkin aku masih bersamamu."

Hans berpikir sejenak lalu memutus pandangan mereka, menatap dinding di hadapannya dengan tatapan kosong.

"That sounds like fate," ungkap Hans, terluka.

"Itu maksudku. Bisa jadi setiap orang yang kita temui dalam hidup ada perannya masing-masing. Dan waktu yang terbatas, Hans."

"Lalu apa peranku dalam hidupmu?" tanya Hans, dengan sorot mata penasaran.

Alia melihat pendar mata Hans yang hangat, selalu begitu setiap kali dia menatapnya. Tatapan yang membuat Alia selalu luluh dalam pelukannya. Dulu. Sekarang tatapan itu tidak lebih dari sekadar ratapan memohon.

"Aku hanya tahu kamu menyelamatkan hidupku. Aku berutang budi sama kamu, selamanya."

"Hanya itu?" tanya Hans kecewa.

"Hanya itu."

"Kenapa Audrey, Alia? Kenapa perempuan?"

"Seandainya bisa aku inginnya Erland, teman kuliahmu yang kamu kenalin dulu, dia ganteng, baik, duda tanpa anak, banyak uang dan tipikal bad boys sepertimu." Alia tertawa, membayangkan dirinya adalah seorang remaja ketika memilih kriteria cowok idaman.

Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang