30. Just Hang On...

603 66 4
                                    

Sambil menunggu penanganan luka Alia selesai, Jasper berdiri di tengah ruangan dengan perasaan familiar. Aroma steril dan pembersih lantai menggugah perasaannya. Merindukan dirinya yang dulu.

Tubuhnya lelah, tetapi perasaannya memaksa untuk memeluk antusiasnya. Ia berputar, memindai apapun yang terlihat oleh matanya. Meresapinya. Membangkitkan sensasi menggebu dalam ingatannya. Menekuni permasalahan kondisi mental pasien dan tekad kuat mencari solusi bagi mereka.

Rasa lelah fisik bertemu pasien masih lebih baik ketimbang kelelahan mental, pikirnya.

Jasper berjalan menuju kursi tunggu. Duduk di sana dengan membungkukkan badannya lalu menenggelamkan wajah pada telapak tangan. Suasana begitu hening, sampai suara jarum jam terdengar samar-samar.

"Keluarga pasien atas nama Allisandra Fariza?" tanya seseorang, Jasper refleks berdiri. Perawat menginformasikan bahwa Alia sudah selesai ditangani dan segera dipindahkan ke ruang perawatan.

Tak lama berselang, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan menghampiri Jasper. Rambutnya panjang hitam semburat ungu muda. Tatapan mereka bertemu seraya melempar senyum nostalgia.

"Wedna?" sapa Jasper, senyumnya terlampau lebar untuk sekadar menyapa.

"Hei, Jasper! Kamu," mata Wedna berpendar terang, lalu redup saat memperhatikan Jasper dari atas hingga bawah dan menaikan alisnya, "masih berantakan seperti dulu." Lanjutnya, tidak tahu harus merespon bagaimana atas kondisi Jasper.

Lelaki berkacamata itu tergelak seraya menyembunyikan rasa malu dengan menundukkan wajahnya, melihat penampilannya sendiri.

"Gimana kondisi temanku, Chuang?" tanya Jasper, sorot matanya berubah cemas. Tanpa sengaja ia memanggil Wedna dengan panggilan akrab semasa sekolah.

"Lukanya cukup dalam dan sedikit melukai pembuluh darah kecil di sekitar pusar, tapi nggak parah. Kami akan evaluasi dan pantau keadaannya, semoga nggak ada efek serius."

"Syukurlah," suara Jasper terdengar lega.

Jasper menyisir rambutnya dengan kedua tangan dan terduduk lemas. Apa yang terjadi pada malam ini membuatnya kewalahan.

"Ini kebetulan yang menyenangkan ketemu kamu di sini, Jaz." Wedna mengambil tempat duduk di sisi Jasper, malam ini rumah sakit tidak begitu sibuk, Wedna bisa sejenak mengambil jeda untuk istirahat.

"Nggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini," balas Jasper, menoleh ke samping, memerhatikan sahabat lamanya dengan perasaan masa remaja yang bertalu-talu ringan.

Seperti menemukan mata air di tengah dahaganya; memuaskan, menyegarkan dengan rasa gembira tak terkira.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Wedna, mengalihkan pandangannya pada sepatu kets, salah tingkah dengan cara Jasper melihatnya.

"Buruk." Suaranya rendah dan berat.

Wedna tertegun lalu mengernyitkan keningnya, "melihat kondisimu, jangan bilang kamu masih main gangster-gangsteran sama Hans?"

Tawa lepas dan renyah itu lolos dari mulut Jasper. Kepalanya menggeleng, tapi tawanya berhenti perlahan, matanya sayu menerawang ke beberapa jam yang lalu.

"Hidupku..." Jasper tidak sanggup menceritakan kondisinya di sela-sela perasaan tertekan yang tiba-tiba muncul. Ia tidak tahu harus berkata apa, tidak ada kata yang bisa menggambarkannya dengan tepat.

Wedna memiringkan tubuhnya menghadap Jasper, menatapnya penuh perhatian. "Apa yang terjadi?"

Jasper tidak langsung menjawab, hanya melihatnya lekat. "Ceritanya panjang," Jasper berhenti sejenak ketika pintu ruangan UGD terbuka, Alia dibawa untuk dipindahkan ke ruang perawatan. Jasper ikut berdiri, berniat mengikutinya. "Maaf Wedna, aku harus temani temanku."

Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang