Epilog

892 71 13
                                    

Bagaimana proses aku bisa jatuh cinta pada Allisandra dalam tiga detik masih menjadi misteri sampai hari ini, tetapi setidaknya aku tahu kenapa.

Boleh jadi semesta sudah membuka banyak jalan untukku sembuh dari luka masa lalu tetapi aku keras kepala dan terus mengatakan pada diri sendiri akulah korban dari ketidakadilan hidup. Seperti yang pernah kukatakan pada Pradia. Aku marah pada diri sendiri yang kuproyeksikan kepadanya.

Padahal, memang dunia tidak selalu adil dan penderitaan adalah bagian dari hidup. Aku sepakat dengan itu sekarang. Tidak melulu berpikir hidup harus bahagia.

Aku menutup mataku pada jalan yang semesta berikan sampai suatu ketika Ia menamparku dengan sangat keras, tetapi lembut pada saat bersamaan, yang terasa di awal bagai sebuah kutukan; aku mencintai seorang perempuan.

Bagai menyalakan saklar lampu di kepalaku, akhirnya aku memahami apa yang kubutuhkan, apa yang harus kulakukan dan apa yang seharusnya kupikirkan.

Aku ingin menangis dan memaki dan berterima kasih pada saat bersamaan.

Sebuah pengalaman yang membuatku sadar betapa luas spektrum perasaan manusia untuk menghadapi luka di hatinya. Yang dibutuhkan adalah keheningan untuk mendengarkan diri sendiri dan orang yang menemani.

"Alia, ini sudah jadi keputusanku dan aku sudah memikirkannya baik-baik."

Kami duduk di kedai Oelin, tatap kami bertemu dengan seribu pertanyaan pada sorot matanya.

"Tapi aku nggak paham kenapa kamu bilang kita harus berpisah? Aku dan Erland hanya berteman, seperti kamu dan Jasper. Kalau itu yang kamu khawatirkan."

"Kalau kamu benar-benar menyukainya, aku nggak keberatan."

"Audreeey, please!"

Semua terjadi begitu saja. Alur kehidupanku bersinggungan dengan jalurnya. Dia ada untuk menemaniku dalam sebuah perjalanan yang jauh, menyakitkan seolah tak berujung.

Saat langkah kami terhenti dalam persimpangan jalan, aku dan Alia harus menerima perjalanan kami bersama-sama harus berakhir.

"Aku harus bagaimana supaya kamu percaya kalau aku nggak pernah ragu untuk terus menemanimu, kalau perlu seumur hidup?"

Menyungging senyum terbaikku tidak lantas membuatnya tenang, Alia masih diselimuti rasa bingung dan terluka. 

"Aku percaya, Alia."

Perempuanku semakin cantik di usianya yang menginjak tiga puluh. Dia bergeming, melihatku dengan tatapan memohon, memelas dan bersimpuh dengan air matanya yang sudah menetes di pipi.

"Ini bukan tentang Erland. Ini tentang Allisandra versi terbaik yang bisa kamu jalani."

"Jangan muter-muter, Audi! Apa maksudmu? To the point aja!"

"Aku tahu kamu dipercaya Pak Theo untuk handle kantor perwakilan Willard Forestry dan pabriknya di Cina. Kamu tiba-tiba terpikir ingin belajar Bahasa Cina tanpa tahu kemungkinan ini, kan. Kamu bekerja dan belajar dengan sangat baik. Ini kesempatanmu."

"Oh, shit." Alia memejamkan matanya, menunduk seperti tertangkap basah melakukan kesalahan. "Aku berniat tolak tawa--"

"Jangan, ambil kesempatan itu," cegahku, sebelum ia akan menyesali pilihannya di kemudian hari. "Kamu bilang aku bikin hidupmu lebih baik, kan. Rasanya akan kontradiksi kalau aku yang jadi alasanmu bertahan di sini."

Alia menutup wajahnya dengan satu tangan. Aku tahu dia bimbang, peranku bersamanya selesai, aku tidak ingin mematahkan sayapnya untuk bisa terbang tinggi.

"Aku tahu Erland bekerja di rumah sakit di Cina." Aku tahu ini terdengar seolah aku cemburu tapi memang rasanya menyakitkan, melihat kedekatan mereka akhir-akhir ini.

Alia menggeleng cepat, menolak pemikiranku yang terbaca olehnya. "Audrey, aku..." Air matanya tidak berhenti mengalir sembari melihatku bingung. Selama hampir sebulan ini dia sering termenung seorang diri di balkon, berdiri di pinggir pembatas memikirkan entah apa.

Saat aku diberitahu bahwa kantor perwakilan Willard Forestry di Cina akan dibuka dan Alia dipromosikan untuk mengelolanya, rasanya aku ingin jingkrak-jingkrak seperti orang gila. Dia yang dapat promosi, aku yang kegirangan.

Dia berhasil! Alia-ku berhasil membuat dirinya menjadi Allisandra versi terbaiknya. Dia sudah melakukannya untukku, keluarganya, kini saatnya dia melakukannya untuk diri sendiri.

Maksudku, Theodore Willard mengakui kemampuan Alia sehingga dia dipercaya dengan tanggung jawab yang lebih besar dari jabatan CFO. Tangga yang ia pijak perlahan-lahan mulai menuju puncak.

Meskipun itu artinya dia akan pergi dari hidupku, entah untuk sementara atau selamanya. 

It doesn't matter anymore.

Seperti yang pernah kujanjikan pada diri sendiri, aku harus melepasnya saat dia memutuskan ingin melanjutkan hidupnya. Dan inilah waktunya.

Sekarang dia menangis, yang membuatku tidak kuasa ikut menangis. Tangisannya itu hanya bisa berarti satu hal, dia berpikir hal yang sama denganku. Alia-ku ingin terbang jauh melampui apa yang bisa dia lakukan dalam hidupnya.

"Aku pasti kembali ke sini, ke apartemenmu, ke hidupmu yang bosenin," katanya tertawa, "aku belum sempat baca semua buku-bukumu, kita bahkan belum realisasikan liburan ke luar negeri berdua, kita belum coba semua kedai kopi di kota ini, yang kita lakukan tiap minggu cuma duduk di kedai kecil ini, kita bahkan--"

Sengaja aku tidak membalas ucapannya. Dan memberinya tawa kecil nostalgia. Aku hanya menatapnya sayang. Menghabiskan waktu enam tahun bersamanya adalah momen hidup terbaikku. Ini bukan fase, euforia, sesaat atau antusias karena kecantikannya.

Ini perasaan cinta yang begitu besar, tumpah ruah tanpa bisa kuhentikan dan satu-satunya cara untuk mencintainya adalah dengan melepasnya. Aneh memang, tetapi ada rasa bahagia saat melepaskannya.

"Audrey, aku bilang aku pasti kembali!" serunya begitu mendesak agar aku memahami apa yang dikatakannya. Hanya seulas senyum saja yang kuberi sebagai respon. Kita berdua tahu kemungkinan kami kembali bersama adalah sesuatu yang tidak pasti.

"I'm proud of you, Sayang."

Terbanglah tinggi, Perempuanku. Kamu layak mendapatkan semua hasil membanggakan ini. Kamu layak menjalani hidup lebih baik. Kamu layak menikmati hasil yang kamu perjuangkan dengan kerja kerasmu. 

Allisandra tertunduk di atas meja, bahunya naik-turun tapi tidak terdengar isak tangisnya. Aku berpindah posisi duduk di sampingnya. Menemaninya menangis agar tidak dipandang orang-orang dengan tatapan aneh. Dan mengelus punggungnya.

"Kamu akan baik-baik aja kalau aku pergi?" tanyanya, menegakkan tubuhnya, melihat mataku dalam. 

Andai Alia tahu aku sangat mencintainya hingga membuat ruang di hatiku tidak cukup menampung semua rasa untuknya. 

"Malam nanti mungkin aku akan nangis sampai mataku bengkak, lalu izin kerja. Seharian nonton, baca buku, gym, duduk di kedai kopi langganan. Malam besoknya mungkin menangis lagi karena kangen kamu. Dan begitu terus sampai aku baik-baik aja dan jalani hidupku yang membosankan seperti biasanya."

Alia melihatku tiga detik seolah untuk selamanya, lalu memelukku erat.

My love for her was so abundant and overwhelming that I had to let her go.

"Aku sayang kamu, Audrey. Jangan lupakan aku, ya."

"Aku lebih sayang kamu, Alia. Aku nggak akan ingat perempuan manapun selain kamu."






TAMAT



Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang