20. Itu Bukan Marah, Hanya Sedih

619 77 0
                                    

Esty sedang mendengarkan lagu di dalam mobilnya ketika David dari kejauhan berjalan gontai menuju mobilnya sambil memeluk jaketnya. Perempuan berambut pendek sebahu itu tersenyum melihat pacarnya yang serupa aktor Korea dengan pandangan kagum.

Namun ada yang aneh, David membuka pintu dan duduk dengan wajah murung. Lebih diam dari pada biasanya. Hanya lagu K dari Cigarettes After Sex yang mengalun lembut, menambah beban berat pada perasaannya.

"Kita tunggu Alia sebentar lagi ya, dia bilang mau ambil tas. Mobilmu kapan selesai dari bengkel?" Esty berkata tanpa mencurigai apapun. David hanya menjawab 'lusa'.

Mereka berdua menikmati lagunya dengan syahdu. Setiap melodi dari lagu itu menambahkan kesan bersalah pada David, entah kenapa, kadang musik bisa mempengaruhi perasaan dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

David semakin tertunduk dan lagu itu membuatnya serbasalah. Dia mencabut kabel dari ponsel Esty dan suasana mendadak hening. Saat itulah, tangan David yang terulur, bernoda merah di lengan kemejanya terlihat oleh Esty.

"Kamu kenapa?" tanya Esty nyaris histeris. David antara cemas dengan kepanikan pacarnya dan murung memikirkan Audrey dan perang batin di benaknya.

Esty menarik jaket yang dipeluk David, lengan kemeja dan jaketnya banyak sekali noda darah. Tidak ada keterkejutan di mata Esty, sebaliknya kekosongan yang menakutkan, seolah-olah jiwa Esty menyusut.

"Babe, ini bukan darahku, ini darah Mba Audrey, aku bantuin dia tadi..." David tidak ingin pacarnya berpikir macam-macam. Sorot mata itu kembali menghangat, lega.

"Dia kenapa?"

"Aku harusnya nggak boleh bilang. Janji kamu nggak akan bilang ini sama Alia?"

"Dia kenapa?"

"Janji dulu sama aku, babe?"

"David, please, dia kenapa?"

Ada yang lain dari cara Esty berbicara pada David, ada urgensi yang tidak bisa diabaikan agar David segera bicara yang sebenarnya. David mengalah. Mengatakan apa yang ia lihat di ruangan Audrey sampai ia membantunya merawat lukanya di toliet.

Audrey memaksa untuk di bawa ke toilet pria, karena toilet perempuan tidak pernah sepi. Itu riskan namun tidak ada jalan lain pikir Audrey, dia hanya tidak ingin terlalu mencolok, dia ingin melakukannya dengan senyap.

Mereka bersembunyi di salah satu bilik toilet. Menekan lukanya sampai lima belas menit dan berhasil menghentikan darahnya dengan menghabiskan dua gulung perban dan satu kantong kapas kecil di salah satu kotak P3K yang ada di seluruh ruangan setiap divisi.

"Pesan Mba Audrey, Alia nggak boleh tahu."

Esty bergeming. Memegang kemudinya dengan kuat. Menundukkan kepalanya dan mengingat ucapan Alia kemarin malam tentang Audrey yang melukai dirinya sendiri.

"Aku kenal tiga orang temanku yang hidupnya kukira baik-baik aja." Esty menoleh ke samping, bersitatap dengan David. "Tiba-tiba mereka bunuh diri. Tanda-tandanya pernah kulihat tapi aku terlalu abai. Aku berjanji pada diri sendiri, seandainya aku berada di posisi itu lagi, aku nggak akan lagi mengabaikan tanda sekecil apapun. Sudah cukup tiga orang yang kukenal memutuskan mati--"

"Thanks guys, udah nunggu." Alia masuk ke dalam mobil saat David dan Esty masih bicara.

"Nah, menurutmu David, aku harus tepati janji yang mana? Janjiku atau janjimu sama Audrey?"

David menghela napas pelan. Dia sepertinya harus ingkar janji pada Audrey. Lalu dia mengangguk sekali dan melihat Esty, tersenyum, sebagai tanda dia mendapat persetujuannya. David merasa bangga menjadi pacarnya Esty.

Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang