15. A Riddle Of Grief

754 92 3
                                    

Alia menepati janjinya kali ini, dia duduk di salah satu meja di dekat jendela perpustakaan. Ruangannya cukup luas ada sepuluh rak berbaris berisi sebagian besar buku-buku koleksi pemilik Willard Group, Benjamin Willard yang juga kakek Jasper. Sisanya adalah buku-buku sumbangan dari para karyawan yang sudah mengundurkan diri yang sifatnya sukarela.

Suara derit kursi yang kutarik mengalihkan perhatiannya padaku. Seketika senyumnya merekah. Semua obrolan yang ingin aku ungkapkan lenyap, mulutku kelu untuk sekadar bilang ''hai". Bibirku terkatup rapat dan perasaanku menguar bagai terlepas dari cangkangnya.

Aku lebih banyak bicara di dalam hati dan menjelaskan pada diri sendiri bahwa aku semakin menyukai Alia tanpa kusadari.

"Jadi, buku mana yang bakal kamu rekomendisiin?" Alia melihatku, entah karena aku menyukainya dan merasa ia melihatku dengan cara berbeda atau memang begitulah cara dia melihat lawan bicaranya. Binar matanya seolah bereaksi melihatku.

Aku berdiri untuk segera menghindari pesonanya dan berjalan menuju rak buku bagian novel, dia berjalan di sisiku. Alia jarang sekali baca buku karena menurutnya--dengan penjelasan hiperbolanya--kadang-kadang huruf-huruf seperti berlarian di depan matanya, bikin pusing dan jadi malas membaca.

"Satu-satunya buku yang kubaca dalam empat tahun terakhir cuma bukumu yang kupinjam dulu, itu pun butuh lama untuk selesai dan dua kali baca untuk paham isinya," balas Alia sembari tertawa.

"Kalau begitu mulai saja dari novel," kataku berdiri di depan ratusan novel-novel lokal dan terjemahan.

"Kenapa?" tanyanya.

"Buku fiksi punya alur cerita yang mungkin bisa bikin kamu tertarik untuk kamu ikuti sampai selesai. Dan ketika kamu tutup buku itu lalu ada perasaan haus," aku memberi tanda kutip imajiner dengan dua jariku, "akan bacaan, selamat kamu bakal senang baca nantinya."

Alia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, "jadi buku apa yang akan bikin aku tertarik sampai akhir?"

"Ada satu buku," kami berbelok ke rak sebelahnya, aku mengingat-ingat buku yang sudah lama tidak aku baca, "judulnya The Secret Of The Immortal Nicholas Flamel," aku menemukan buku itu di ujung rak, seolah tidak tersentuh oleh siapa pun, "ini buku panjang pertama yang aku baca. Ini genrenya fantasi. Saat selesai baca buku ini seolah kamu masuk ke dimensi lain, kamu berkenalan dengan tokoh-tokoh terkenal, sampai kamu lupa waktu."

"Cover-nya menarik," responnya. Aku mengangguk setuju. Dia membaca blurb di belakang buku.

"Oke, aku coba baca sampai selesai," ujarnya lagi.

"Buku itu jarang sekali dipinjam, jadi lebih baik kamu pinjam aja sekaligus 6 buku."

Aku terdiam sejenak. Terasa ada yang mengganjal. Ada yang menekan dadaku dengan tidak nyaman, membuatku resah yang dilapisi ketakutan yang tidak beralasan.

Akhir-akhir ini sepertinya aku kehabisan akal dan cara untuk mengendapkan perasaan ini ke tempat paling dalam dan menguncinya rapat-rapat. Ia memiliki seribu satu cara untuk bisa keluar dari celah rapuh pertahanan mentalku; Pradia.

Dia akan selalu muncul, yang seakan-akan menghantuiku karena dia tahu aku semestinya tidak boleh bahagia. Aku tahu Pradia hanya produk pikiranku yang termanifestasi dalam ruang dan waktu. Dia tidak benar-benar ada tapi rasanya sulit untuk bersikap tenang saat Pradia muncul di hadapanku, berdiri di seberang rak, di antara buku-buku, menatapku getir dan menghakimi.

Dia pernah muncul, kemudian hilang, lalu sekarang dia muncul kembali setelah sekian lama menghilang.

"Jadi sekarang kamu membagikan buku favorit kita sama dia, Audrey? Mudah sekali ya kamu lupain aku. Kamu tahu di mana aku sekarang berada?"

Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang