"Are you okay?" tanya Jasper di ruang pantri, dia berdiri di sampingku sedang membuat kopi hitam. Sudah seminggu aku menghindari semua orang di kantor termasuk Jasper, kecuali Alia, aku tidak bisa membuat dia terus-menerus memikirkanku dan khawatir dan membuat hubunganku renggang kembali. Tidak mau.
"I'm okay, Jaz." Aku mengulum senyum agar Jasper berhenti mengkhawatirkanku.
Berita tentang aku pingsan di perpustakaan menjadi rahasia umum dan nyaris jadi bahan gosip seisi kantor. Terutama, karena aku dan Alia adalah para pemeran utamanya. Mereka lebih suka membicarakan cerita hidup kami karena cerita hidup mereka sangat membosankan, menyedihkan atau tidak berguna. Berharap cerita hidup kami dapat menghibur mereka atau lebih menderita atau menyedihkan dari mereka.
Sejak kematian Pradia, aku menjadi makhluk transparan di kantor. Mereka tahu aku ada namun tidak merasa aku hadir. Akan tetapi ketidakpedulian mereka terhadap eksistensiku justru menjadi anugerah untukku.
"Gosipnya kalian bertengkar sampai kamu pingsan gara-gara aku?" tanya Jasper, retoris, lalu tertawa hambar dan menggeleng tidak percaya. Seraya mengaduk kopi hitamnya. Satu tangan dimasukannya ke dalam saku celana.
Aku tergelak dan berjalan menuju meja dekat jendela besar, Jasper mengikuti dari belakang. "Kadang-kadang, aku takjub dengan omongan orang dari mulut ke mulut di kantor ini."
Kami duduk saling memandang keluar jendela, ke awan-awan putih dan burung terbang, ke kendaraan-kendaraan yang saling klakson bersahutan atau para pejalan kaki di siang hari ini.
"Apa perlu aku hubungi Dokter Norma?" tanya Jasper tiba-tiba.
Refleks melihat Jasper dengan kening berkerut. Sorot mata khawatirnya sudah sampai membuatku tidak nyaman. Aku tahu dia bermaksud baik tapi perhatian berlebihan justru membuatku tidak enak hati.
"Aku dengar dari Alia. Aku nggak tahu persisnya tapi menurutku kembalilah konsultasi dengan Dokter Norma, Audi." Hanya Jasper yang tahu apa yang terjadi padaku di hari Pradia meninggal.
"Aku cuma--"
"Anjing!" David membuka pintu pantri dan mengumpat keras. Enam orang yang berada di ruangan pantri melihatnya kaget.
"Dav," panggilku, save by the bell. David yang terlihat gusar agak terkejut melihatku lalu menghampiri kami dan duduk dengan wajah lesu.
"Ada apa?" tanyaku.
David bergeming. Tampak bingung dan gelisah. Air mukanya tidak tenang, ada seraut kekesalan yang memuncak tapi seakan menahannya untuk tidak dilampiaskan kepadaku atau kepada orang lain.
"David!" panggilku tidak sabar.
"Projek Nursery di Distrik Birawa terancam gagal, Mba."
Kebingungan menerpa wajahku, David seakan bisa membacanya lalu menjelaskannya dengan detail dan runut meski wajahnya kemerahan menahan kesal. Satu per satu, dari hal kecil sampai besar, dan dari yang tidak penting sampai sangat penting. Dengan kesimpulan yang kuambil; divisi audit menuduh David ada main curang dalam proses tender yang melibatkan Esty, karena hubungan keduanya. Aku menghidu aroma politik kantor yang berbau busuk. Sial!
Pukul dua setelah jam istirahat selesai, seperti yang David duga, divisi audit meneleponku. Aku dan David berada di ruangan Divisi Audit dalam suasana interogasi, cenderung intimidasi. David lebih banyak tertunduk, lalu aku mencondongkan tubuhku ke sampingnya.
"Apa kamu melakukan kesalahan yang aku nggak tahu, Dav?" bisikku. David menggeleng, sepintas melihatku lalu kembali menunduk.
"Apa kamu memberitahu Esty tentang semua RAB-nya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Dalam Tiga Detik [END]
General FictionHanya dalam waktu tiga detik saja Audrey mengklaim dirinya jatuh cinta pada Allisandra. Hal pertama yang dilakukan Audrey adalah menghindarinya sekuat tenaga. Namun semakin hari pikirannya semakin penuh dengan sosok perempuan cantik itu. Audrey tida...