Bab 1 | when we met for the first time

65 19 87
                                    

"Kecil, wajahmu meraut sedih."
- Langit Samudra Brahmana -

***

Suara derap langkah terdengar begitu jelas dari kejauhan. Sepertinya itu adalah suara derap langkah monster yang begitu mengerikan.

Lelaki yang mendengar suara derap langkah itu pun bergetar hebat di atas ranjangnya. Ia yakin pasti itu adalah suara derap langkah sang Papa.

"Lebih baik memang kamu tidak dilahirkan ke dunia, Langit!"

Kata demi kata yang menyakitkan itu pun terputar jelas di otak Lelaki itu bak radio rusak. Hatinya tergores, bahkan dirinya masih ingat jelas saat Papanya memukuli tubuhnya dengan gesper. Suara-suara itu terdengar sangat menyakitkan baginya.

Sebut saja ia Langit Samudra Brahmana. Panggil saja lelaki itu dengan sebutan 'Langit'. Ia adalah putra sulung dari pasangan Brahmana dan Dara. Ia dibesarkan dengan penuh luka, Langit dipaksa untuk survive sendirian. Langit yang baik itu  dipaksa untuk menjadi yang terbaik.

"Langit juga bisa jadi yang terbaik versi diri Langit sendiri Pah, jangan paksa Langit buat jadi yang terbaik dalam bidang yang Papa mau. Mungkin Bidang yang papa mau belum tentu aku mau, dan mungkin juga di Bidang yang Papa ahli, Langit belum tentu ahli." 

Itulah potongan ucapan Langit saat sedang meringkuk di bawah lantai kamarnya yang begitu dingin. Langit terlihat sangat lelah, Langit lelah dengan keadaan, Langit lelah dengan takdir, Langit hanya ingin dirinya bebas, Langit hanya menuntut bahagia.

"LANGIT! BUKA PINTU KAMARNYA!" Teriak seorang lelaki paruh baya itu menggedor-gedor pintu kamar Langit. Dengan tubuh bergetar, Langit berdiri dari tepi ranjangnya dan membukakan pintu untuk sang Papa.

CTAS! CTAS!

Suara pukulan gesper itu terdengar nyaring dan menyakitkan ditelinga Langit. Ia hanya bisa memejamkan matanya sembari menahan sakit dan luka fisik yang baru. Memar dan luka yang lalu saja masih basah, haruskah luka itu terbuka kembali?

Bulir-bulir air mata jatuh dari kelopak mata Langit. Ia sudah menebak-nebak karena apa sang Papa menghukumnya seperti ini. Lagi-lagi karena nilai? Entahlah, Langit hanya bisa menebak-nebak.

BRAK!

Langit terhuyung ke belakang, ia meraih ujung meja dan sedikit bersandar. Entah karena apa tiba-tiba papa menghukumnya seperti ini. Langit selalu tenggelam didalam rasa penasarannya.

"Papa kenapa selalu hukum Langit sekasar ini sih pah? Terserah Papah kau hukum Langit berdiri di pojok 5 jam, ga dikasih uang jajan. Tapi langit mohon jangan hukum kaya gini lagi, Pah." Ucap Langit dengan suara bergetar, ia memohon ke papanya agar tidak menghukumnya seperti ini lagi.

"SEKARANG KAMU BERANI SAMA SAYA?! IYA?!" Teriak papa Langit, bahkan bisa didengar hingga luar rumah. Langit hanya dapat kembali bungkam setelah papa mengatakan itu. Ia tak mau mengambil hukuman yang lebih menyakitkan lagi dibanding ini.

"Langit rindu sama mama, Langit nggak papa kok harus diperlakukan kaya gini sama Papa, asal Mama di sana bahagia terus. Mama nggak perlu takut atau khawatir sama langit disini. Langit pasti nyusul sama mama kalau emang udah waktunya. Yang tenang ya, Ma. Langit doain dari sini.."  Batin Langit. Dirinya sudah mengatakan itu beribu-ribu kali bahwasanya 'langit rindu Mama'. Tetapi, kalimat itu hanya bisa langit ucapkan dalam hati.

Langit : the sky returns to the sky Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang