Bagian VII part 2 - Sejak Awal Kita Tak Satu

179 7 0
                                    

Disclaimer: FIKTIF. Rekaan, imajinasi doang.

"Semua hasil cek menunjukkan hasil normal, namun hanya satu. Keseimbangan nutrisi pasien New ... sangat perlu diperhatikan."

"Lalu kenapa suami saya belum sadar, dok," potong Tay kelewat cepat.

Segenap orang di sana agaknya kaget bukan karena perkataan Tay yang cepat, namun panggilan yang ia lontarkan untuk New. Rupanya waktu cepat berlalu dan banyak yang mereka lewatkan. Ayah New memegang lengan Tay berusaha menenangkan.

"Pasien New sedang mengalami syok. Sebagai respons tubuhnya ia jadi tidak sadarkan diri. Kami akan pantau untuk ke depannya." Tidak ada satu pun perkataan sang dokter yang terlewat oleh Tay.

Setelah sang dokter undur diri, ia hanya duduk termenung di samping ranjang New. Bukankah ia berada di posisi seperti ini tidak jauh hari yang lalu. Mengapa ia harus melihat New terbaring lagi di ranjang rumah sakit. Tay tidak memedulikan sekitarnya, tidak dengan perkataan papanya, mamanya, bahkan kata-kata penenang dari ayah New. Kali ini Tay sungguh merasa telah mengecewakan sosok pria yang telah menitipkan anak satu-satunya pada dirinya.

"Kak ... aku bawakan baju dan sedikit makan." Gemini yang terakhir berada di sana. "Tolong dimakan, kak. Kakak jangan sampai jatuh sakit. Kak New butuh kakak."

Bukan niat Gemini menceramahi kakaknya. Namun, ia melihat penampilan Tay yang jauh dari kata baik membuat ia tidak tega meninggalkan dua kakaknya seorang diri. Mereka sudah menawarkan diri untuk menemani Tay, namun lelaki itu bersikeras untuk ditinggal berdua dengan New.

"Aku pulang dulu kalau begitu. Hubungi aku kalau butuh sesuatu, kak."

"... Terima kasih, Jame." Meski lirih, namun Gemini dapat menangkap nada sendu tersebut.

Tay tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Seseorang yang telah mengikat janji sehidup semati dengannya saat ini terbaring lemah di ranjang rumah untuk ke sekian kalinya. Kulit putih New terlihat lebih pucat dari biasanya dan Tay berusaha menolak fakta akan adanya bercak-bercak merah yang kontras di kulit New.

"New ..." Bibirnya kelu hanya untuk mengucapkan nama tersebut. "Maaf ... maaf ... maafkan aku." Tay tertunduk dalam duka.

Perasaan nyeri di dadanya tak kunjung enyah sejak ia menemukan New beberapa jam yang lalu. Sesak, nyeri, dan tubuh yang lemas. Tay tidak akan bisa bertahan untuk berdiri dalam waktu yang lama. Ini kedua kalinya ia merasakan dunianya seakan hancur. Perkataan maafnya pun terasa menjijikkan di mulutnya. Tay merasa dirinya tak pantas untuk mengatakan itu pada New. New? Kenapa Newnya harus melalui ini semua. Di saat ia mulai bergerak mendekat, namun seakan semesta tidak menyetujui dan terus menjauhkan dirinya.

"New, setelah ini kau tidak perlu merasa sakit lagi."

Selama New di rumah sakit, Tay tidak pernah pergi dari sisinya. Semua ia kerjakan di ruangan New. Tidak peduli panggilan-panggilan sekretarisnya yang memohon dirinya untuk masuk kantor. Tay yakin papanya akan turun tangan dan Tay tidak peduli lagi bagaimana pria itu akan mengata-katainya setelah ini. Ketika ayah New berkunjung, Tay tidak bisa banyak berkata-kata. Diksi-diksinya yang terpangkas sudah hampir habis menghadapi situasi saat ini. Pria itu juga tidak banyak bicara hanya duduk di tempat yang selalu Tay duduki sambil memandang anaknya. Raut muka itu tidak berani Tay artikan. Ia pengecut, ia takut. Dari tempatnya, Tay tidak banyak bertingkah hanya terlarut dengan pemandangan di depannya.

"Nak Tay, ada yang ingin kau katakan?"

Banyak.

Bagaikan bisa membaca pikiran Tay, ayah New beranjak mendekat. Namun, lagi, lidah Tay terlalu kelu. Banyak yang ingin ia ungkapkan. Hanya satu yang terpenting. Untuk New.

Bagaimana Takdir Diputuskan (TayNew) endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang