Bagian VII part 2

174 10 0
                                    

Semua pernyataan tersebut bisa saja dibenarkan karena sejauh ini dirinya pun terus mengikuti perkembangan perusahaan omnya. Sebenarnya ia ingin bertanya-tanya pada yang bersangkutan secara langsung, tapi sosoknya masih abai dengan sekitar kecuali saat jam makan dan minum obat barulah ia akan memulai tampak seperti makhluk hidup. Ggigie berakhir tukar cerita dengan ayah New, maklum sudah lama tidak bisa berjumpa.

"Kerjaanmu memang begitu, Gie. Om maklum aja." Begitu kira-kira kata ayah New.

Ia baru akan pamit tepat ketika seorang laki-laki datang ke ruangan. Baru pertama kali ini Ggigie melihatnya. Keduanya sama-sama terdiam untuk mengamati satu sama lain.

"Te." Sebuah senyuman di bibir lelaki yang baru datang itu mengembang seketika.

"Hai, New. Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Tay penuh kehangatan.

Sang ayah dan sepupu otomatis mundur dengan penuh keterkejutan untuk memberi ruang bagi dua insan tersebut. Tuan Techa terkejut akan respons New dan tentu perubahan dari Tay. Sedangkan Ggigie terkejut karena adegan yang tidak kuat ditonton hati singlenya. Ia jadi teringat sesuatu. Ia kembali mendekat untuk memperkenalkan diri. Tay pun akhirnya berkenalan langsung dengan seseorang yang membuatnya penasaran.

"Aku pamit dulu. Jangan bosan karena kita akan sering bertemu." Sorot matanya sekilas tertuju pada Tay juga. "Cepat sembuh, New!" Kemudian disusul dengan sang ayah pun turut undur diri.

Keheningan mulai terbangun di antara mereka berdua atau hanya Tay yang mulai parno karena New tampak biasa-biasa saja membaca buku yang entah datang sejak kapan. Sementara rasa takut mendekap Tay karena sunyi yang tercipta. Ia takut akan kehilangan karena itu sesuatu harus dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak ia inginkan.

"New, boleh aku bicara sesuatu?"

"Hm?"

Andai Tay tahu jika hanya pada dirinya saja New akan merespons, apakah ia akan melanjutkan kalimatnya. Beban di pundak yang selama ini ia emban tidak ada bandingannya dengan suasana sekarang ini. Semua syarafnya seperti tidak mau berkoordinasi.

"Aku ingin yang terbaik untukmu. Lebih baik kita sudahi ini—" kalimatnya terhenti seraya New mematung ketika membalikkan lembar halaman.

Dengan lebih hati-hati Tay mulai melanjutkan apa yang ia mulai, "Aku ... aku tidak ingin melihatmu seperti ini lagi. Semua terjadi karena kita bersama. Karena aku."

New tidak segera memberikan tanggapannya. Tiba-tiba buku yang ia baca menjadi tidak menarik. Ia berpikir jika apa yang terjadi pada dirinya saat ini lebih menarik daripada kalimat-kalimat membosankan di buku.

"Jadi ini keinginanmu, Tay?"

"Untuk kebaikanmu, New."

"Ha-ha kebaikan. Tolong tinggalkan aku sendiri sekarang, Tay."

"New ..."

"Aku mohon!" ucapnya dingin.

"Baiklah." Meski dirinya yang memulai, tapi dirinya juga yang merasakan sakit.

Tay sudah memantapkan hati jika ini adalah yang terbaik untuk New. Ia juga akan mengejar orang-orang yang telah menyakiti Newnya. Tay akan membuat New bahagia dan dalam pikirannya dengan memilih jalan ini ia akan membuat mencapai keinginannya.

Tay yang baru saja diusir dari hadapannya New hanya bisa termangu pada lantai rumah sakit. Ia dengan sabar duduk di bangku luar ruangan New. Ruangan yang langsung menghadap taman itu cukup sunyi. Ia melihat hanya ada beberapa kamar saja selain kamar yang ditempati New. Kesunyian itu seperti mewakili pikirannya. Kosong tak dapat ia deskripsikan.

Tay tidak cukup berani untuk kembali ke ruangan New, namun ia juga tidak berniat untuk meninggalkannya. Beberapa perawat yang melewati dirinya tak pernah absen untuk menyapa atau sekadar basa-basi. Ia coba untuk memantau New dengan bantuan para perawat.

Bagaimana Takdir Diputuskan (TayNew) endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang