BAB 3. Musuh?

5.9K 787 1K
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

۞اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahumma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]

***

Setelah selesai urusan Imama di dalam, akhirnya Imama pun kembali keluar menghampiri keempat temannya. Di sana, ia lihat Iqbal dan Zayndra yang masih diobati. Terjongkoklah dirinya di hadapan mereka. "Kalian benar tidak apa?"

"Eh, iya, nggak apa-apa, kok, Gus. Aman." Zayndra menenangkan Imama agar tak terlalu cemas tentang keadaannya yang hanya terluka kecil saja.

Sedangkan Imama, ia masih tak tinggal diam dan ingin mencukil perbuatan siapa yang telah membuat Iqbal dan Zayndra menjadi seperti ini. "Iqbal, katakan sama saya, jaket yang kamu lihat dari diaa… itu mirip sama yang menyerang kalian?"

Imama—mengarahkan telunjuknya ke arah Irama yang baru saja keluar dari pintu. Seketika Irama kini hampir lupa, jika yang terjadi dengan mereka ada kaitannya dengan gengnya.

"Em....." tak ada dari Iqbal dan Zayndra yang mau mengaku kebenerannya. Melihat mereka gak ada yang bersuara, akhirnya Irama pun turun tangan.

"Ribet banget tinggal bilang iya doang? Kalau emang yang nyerang kalian itu temen-temen gue, gue sebagai perwakilan, gue minta maaf." Irama mewakili, entah memang benar atau tidak, yang pasti Irama merasa, bahwa jelas itu perbuatan gengnya.

Melihat mereka hanya diam sembari bertatapan, Irama mengangkat alisnya. "Di maafin, nggak?"

"Iya, kita udah maafin kok, Gus." Zayndra mewakili Iqbal yang hanya diam dengan tersenyum tipis.

Mendapatkan panggilan yang tak ia sukai, Irama berdecak. "Ck, gak usah panggil gue Gus. Nama gue Irama. Salam kenal." Lantas setelah itu Irama ingin pergi dari teras rumah.

"Mau ke mana, Ama?" tanya Imama dengan bangkit berdiri. Membuat Irama menghela napas kasar dan berbalik badan.

"Nasihatin temen Ama lah. Mereka juga perlu minta maaf ke santrimu, kan?" jawab Irama kepada Imama, yang demikian membuat Imama menghela tenang.

"Saya ikut," meski cukup tak mengkhawatirkan, namun entah kenapa Imama ingin ikut ke mana Irama pergi dan apa yang akan dilakukan di luar sana bersama temannya.

Terlihat Irama terdiam sejenak, lantas tanpa bantahan, akhirnya Irama mempersilakan Imama untuk ikut bersamanya. Dibawalah Imama ke suatu tempat—lebih tepatnya warung. Irama turun lebih dulu ketika di sana sunyi dan deretan motor pun tak terpakir. "Buk, mereka join nongkrong di mana?"

"Em... kurang tau. Biasanya selain nongkrong di sini, di mana lagi?" tanya Ibu penjual warung itu, membuat Irama hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Lantas ia tahu di mana teman-temannya itu.

"Beli apa?" tanya Imama yang menunggu di motor. Imama dan Irama berbonceng bersama, dan Irama-lah yang menyetir motornya.

"Ini tempat nongkrong Ama sama temen-temen, tapi mereka kayaknya gak di sini," jawab Irama sembari mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah itu, ia pun naik ke motornya lagi.

HAFIZMA ; UNIVERSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang