CALL - 22 | SEPERTI INI RASANYA

6.7K 766 244
                                    

Ketika Jan Lakis berkata bahwa ia akan pulang ke rumah di mana istrinya sedang menunggu, itu bukanlah sebuah kiasan semata sebab Samira Noa memang benar-benar menunggunya. Itu tercium dari aroma masakan yang tercium samar dan suasana rumah yang menyambut hangat kedatangan Jan Lakis.

Namun, seraya mengikuti suara samar-samar televisi yang menyala, Jan Lakis yang baru saja memasuki kondominium langsung mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan. Televisi memang menyala, tetapi eksistensi Samira Noa justru tidak terlihat sama sekali.

Jan Lakis menghela napasnya. Apa yang telah ia lewati hari ini seharusnya sudah ia tinggalkan setelah berdiam diri selama hampir dua puluh lima menit diam di luar kondominium—untuk menetralkan perasaannya agar emosinya yang berkecamuk itu tidak ia bawa pulang ke dalam rumah—apalagi ke hadapan istrinya. Namun, sayangnya itu tidak berhasil sampai Jan Lakis akhirnya menyerah dan tetap memasuki kondominium dengan perasaan yang campur aduk.

"Mas?"

Sebuah panggilan dan sentuhan hangat di lengannya terasa tiba-tiba hingga Jan Lakis berjenggit dan baru menyadari bahwa ia tengah melamun di depan pintu. Ketika pria itu menoleh, didapati sosok istrinya yang ia cari.

Wanita itu terlihat jelita seperti biasanya—sebuah hal yang sejak awal tidak dapat Jan Lakis tampik bila istrinya memang secantik itu. Samira berdiri dalam balutan gaun malam dan celemek. Meski begitu, wanita itu terlihat cukup segar. Berbanding terbalik dengan kemeja kusut dan raut wajah marut yang ditunjukkan oleh Jan Lakis.

"Kenapa melamun, Mas?" tanya Samira. "Lagi ada masalah di kantor?" Kini, tidak ada lagi nada keraguan bagi wanita itu untuk langsung bertanya tanpa perlu khawatir bahwa ia akan dianggap ikut campur persoalan suaminya.

Jan Lakis bungkam. Tidak menjawabnya sama sekali. Bersaman dengan itu, Samira Noa dapat melihat gurat-gurat lelah di wajah suaminya yang tercetak jelas. Matanya kuyu, kantung mata terlihat, rambutnya ack-acakan dan setengah lepek. Kemejanya yang tidak lagi terbalut jas rapi terlihat kusut dengan dasi yang tergantung asal.

Seraya menghela napas, Samira mencoba mengerti bahwa dia tidak perlu bertanya lagi, apalagi mendesak Jan Lakis untuk menjelaskan arti dari kusut raut wajahnya itu. Sehingga, yang dilakukan olehnya kini adalah menyunggingkan sedikit senyuman—untuk membuat Jan Lakis merasa nyaman dan paham bahwa Samira tidak akan bertanya apapun lagi bila Jan Lakis memang tidak ingin mengatakan apa pun kepadanya.

"Tadi pagi, sebelum kamu berangkat, kamu bilang mau makan malam buatanku 'kan, Mas," kata Samira dengan nada lembut seperti membujuk.

Benar saja, ditanya seperti itu, tatapan Jan Lakis langsung mengarah kepadanya. "Kamu belum makan 'kan? Yuk, kita makan. Aku sudah buatkan makan malam—"

"Bu."

Samira langsung terdiam. Merapatkan kedua belah bibirnya seraya mengerjapkan mata berkali-kali mencoba menerka apakah panggilan itu benar ditujukan untuknya atau tidak. Namun, akan aneh sekali bila panggilan itu ditujukan untuk orang lain, sementara di dalam apartemen itu hanya ada dirinya dan juga Jan Lakis.

Jadi, bukankah sebutan 'Bu' itu lagi-lagi terarah kepada Samira Noa seperti ketika pagi hari tadi?

"I—iya, Mas," jawab Samira canggung karena cukup asing dan malu di saat yang bersamaan ketika mendapatkan panggilan seperti itu.

Jan Lakis tampak menyunggingkan senyumnya lesu sebelum dia menunjuk-nunjuk pelan bahu kecil Samira menggunakan telunjuknya. Persis sekali seperti seorang anak kecil, bibir Jan Lakis juga kini tampak agak melengkung ke bawah.

Samira mengedip memastikan bahwa penglihatannya tidak salah lihat. Wanita itu tidak mengerti dengan maksud sikap—sisi—Jan Lakis yang seperti ini. Itu sebabnya. Samira hanya menoleh dengan raut bingung menatap telunjuk suaminya yang tampak terus-menerus mengetuk-ngetuk pelan bahunya seperti anak kecil yang sedang membujuk temannya yang merajuk.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang