"Haksa pulang," Ucapnya keras saat memasuki rumah.
Baru menginjakkan kakinya di dalam rumah. Haksa sudah bisa mencium aroma masakan dari arah dapur, dengan semangat kakinya berlari menuju dapur.
Di sana, seorang perempuan yang tengah memakai pakaian berwarna abu tua dengan rambut yang di ikat tinggi tengah mencoba masakannya.
"Mah!" Sorak Haksa, hari ini ibunya pulang ke rumah, biasanya jika kemarin lembur maka hari esoknya ibunya akan pulang terlambat pada malam hari.
Namun hari ini ibunya pulang lebih awal, Haksa mendekatinya dan memeluknya erat.
"Udah pulang?" Tanya sang ibu, Haksa mengangguk sesekali menduselkan hidungnya pada pundak sang ibu untuk me menghilangkan rasa rindu sejak kemarin malam.
"Cuman ditinggal satu hari doang," senyum sang ibu mencubit pipi putranya gemas.
Haksa tertawa kecil kemudian menatap sekitarnya, mencari sosok yang belum dirinya lihat sejak memasuki rumah.
"Ayah lagi di kamar, panggil aja," bisik ibunya seakan tau apa yang di cari Haksa."Ayah!" Panggil Haksa cukup keras, membuat sang ibu sedikit terkejut karena suara putranya.
Tak ada jawaban tapi tak berlangsung lama muncullah seseorang di balik pintu, membuka kedua lengannya menyambut putranya agar memeluknya.
Haksa tersenyum lebar, dengan cepat ia berlari lalu memeluk erat ayahnya.
"Aduh!" Nyeri ayah Haksa saat putranya begitu erat memeluknya."Kamu udah gede," protesnya.
"Lah, ayah sendiri yang nyuruh," Jutek Haksa.
Keduanya tertawa, melepas pelukan dan berjalan mendekati meja makan yang sudah tersedia makanan.
Sebelum itu, Haksa menaruh terlebih dahulu tas nya dan meletakkan di sofa.
Haksa duduk di sebelah ibunya, sedangkan ayahnya duduk di depan keduanya."Gimana nilainya?" Tanya ayahnya, mendengar hal tersebut Haksa menundukkan kepalanya, bibirnya terasa kelu.
Sang ibu yang tahu akan hal terjadi segera menepuk pelan pundak putranya, "Gapapa, kan masih ada semester depan,"
"Tapi kalo ga dapet gimana?" Lirih Haksa, "Gapapa, lagian ayah sama mamah nggak nuntut kamu buat dapet nilai yang besar, mau jumlahnya kecil ayah nggak peduli," jeda sang ayah.
"Yang terpenting buat ayah kamu tetep sehat," Lanjutnya dengan senyuman hangat.
Sang ibu ikut mengangguk, "Bener, yang penting kamu selalu sehat, kuat buat lawan rasa sakit," ucapnya diakhir dengan senyuman.
Makanan hangat dengan sup sangat cocok untuk keadaan diluar yang tengah hujan, ditambah kehangatan sebuah keluarga yang selalu ada untuknya, Haksa bersyukur. Walau dirinya memiliki banyak kekurangan tapi keluarganya selalu ada ntah untuk sekedar menyemangatinya atau bahkan menghiburnya.
Kedua orang tuanya memang tidak memperdulikan nilainya yang rendah, atau bahkan menuntutnya untuk mendapatkan peringkat. tetapi, Haksa ingin membanggakan mereka setidaknya satu kali dalam hidupnya, karena itulah dirinya berjuang keras sampai saat ini.
"Gelo, terus lu terima aja?" Kaget Angga.
Jeriel mengangguk, matanya fokus pada layar handphone, "Terus?"
"Terus ya gitu," singkat Jeriel.
Angga dan Toni, keduanya tidak habis pikir dengan yang dilakukan Jeriel, setuju mengajari orang lain, memangnya hal apa yang di tawarkan orang lain tersebut hingga Jeriel mau menerima kesepakatannya.
Toni menatap curiga, apa kesepakatan tersebut sangat menguntungkan bagi Jeriel, "Wah Je, jangan-jangan,"
"Jangan-jangan lu manfaatin tubu-"
"Dia cowok, gila lu," Tatap Jeriel sinis, Toni terkekeh malu, menampar mulutnya yang sembarang bicara.
"Oh, yang iniin es batu ke pipi lu?" Tebak Angga yang di angguki Jeriel.
Jeriel menghela nafas, "Terus, lu sekarang mau nginep disini?" Tanya Angga.
"Iyalah, emang kudu kemana lagi? Balik? Ngapain?" Cuek jeriel.
Ketiganya sedang merebahkan mereka diatas lantai yang berbalut karpet hangat berwarna abu tua dengan pemanas ruangan yang menyala sejak hujan tadi.
Sesekali menatap langit-langit putih yang redup ditambah obrolan yang tidak ada arah sejak tadi.
Ketiganya sibuk dengan layar handphone hingga tak sadar pemilik kamar kesulitan membuka pintu karena tangannya yang penuh.
"Bantuin, nggak tau diri banget," marah Raden dari luar.
Ketiganya mendadak tuli, tak mendengar ucapan Raden hingga sebuah teriakan terdengar kembali, "Buka!"
Angga menatap pintu kemudian menyenggol lengan Toni agar membuka pintu, "Bukain sana,"
"Idih, yang mau susu anget siapa?" Balas Toni menyenggol lengan Jeriel, "Gua abis di tampar, gaada kasian nya lu pada?"
"Gaada," jawab mereka serentak, Jeriel berdecak melempar bantal pada wajah keduanya dengan keras hingga mengeluarkan bunyi.
Toni bangun begitupun Angga, mereka balik melemparkan Bantal pada wajah Jeriel secara bersamaan.
"Curang lo berdua," marah Jeriel ia balik melemparkan bantal pada keduanya.
Mereka saling melemparkan bantal satu sama lain, membuat kamar yang tadinya rapi kini hancur berantakan, ketiganya berlarian ke sana kemari.
Menghiraukan Raden yang kini bersusah payah membuka pintu hingga harus meletakkan susu yang di bawanya untuk membuka pintu.
"Susu anget date-" belum selesai berucap, susu hangat yang baru saja Raden buat kini jatuh di atas lantai akibat ulah Angga yang tidak sengaja melempar bantal ke arah Raden.
Keadaan langsung berubah hening, ketiganya terdiam melihat Raden yang mulai menghampiri mereka.
"Sialan lu pada!" Marahnya mengangkat bantal setinggi-tingginya dan memukul mereka satu persatu.
"Udah berapa kali kalian bikin kamar gua berantakan!" Kesalnya, "Susu anget nya juga, beresin, gua gamau tau,"
"Harus beres sebel- aduh!" Nyeri Raden saat sebuah bantal mendarat tepat di depan wajahnya.
"SIALAN!" Marah Raden, ia kembali memukuli ketiganya, namun kali ini mereka balik membalas.
Pada akhirnya, mereka berempat saling mengejar satu sama lainnya dengan diiringi tawa dan teriakan nyeri yang memenuhi kamar.
Tidak peduli dengan kamar yang berantakan, bahkan susu hangat yang tumpah tadi kini menjadi dingin, diabaikan begitu saja diatas lantai.
Mereka menghindari dinginnya hujan dengan canda tawa di sebuah kamar kecil yang berantakan.
Quote Abal-abal :
'Kehangatan tak selalu berasal dari mereka yang berada dalam keluarga, kehangatan selalu ada di mana saja, hanya saja terkadang kita tidak menyadarinya,'
.
.
Emang boleh?T_T
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Chance || Hajeongwoo
Short Story."Gua pengen mati," _ . "Gua takut mati," _ .Jeriel lebih memilih berjalan menuju kematian daripada menghargai setiap detik dalam hidupnya seperti Haksa .Sebelum Haksa datang meminta Jeriel untuk mengajarinya tentang beberapa pelajaran. Mereka hanya...