"Hoki gua seumur idup kepake," racau Haksa sepanjang jalan, gila saja jika dirinya benar-benar berhadapan dengan siswa tadi, bisa-bisa dirinya ditemukan tewas esok hari.
Haksa hanya mengancam mereka, tidak ada niatan berkelahi, siapa saja tau hasil perkelahian tersebut dan Haksa juga sadar diri kalah jauh dengan mereka.
Untungnya tuhan mendatangkan sosok penyelamat, sesosok ibu kantin yang membuat mereka lari, membuatnya terhindar dari masalah yang benar-benar rumit.
Haksa menepi terlebih dahulu di depan kelas 10 IPA 3, rasa lelah menggerogoti dirinya karena telah lari agar tidak berpapasan dengan mereka lagi.
Untungnya Haksa benar-benar terhindar dari mereka, namun kini dirinya kehilangan Jeriel.
"Sialan emang, punya peringkat kagak di gunain baik-baik, kalo gua dapet peringkat 50 besar sih bakalan di pake buat hal-hal baik,"
"Contohnya bolos pas pelajaran Kimia," lanjut Haksa dengan nafas yang tersengal-sengal.
Langkahnya kembali dilanjut mencari keberadaan Jeriel, "Lagian ngapain juga gua segitunya sama si Jeriel,"
"Dia juga gak mungkin mau bantuin gua," monolognya sendiri.
Latsa menyusuri hingga belakang sekolah, namun tak ada seorang pun, bahkan dirinya sudah mengecek ruang BK, tetapi tidak ada siapapun di sana.
Harapannya musnah, "Sumpah, ngapain si gua, kurang kerjaan banget, belajar sendiri apa susahnya,"
"Bisa-bisanya kepikiran minta tolong bocah yang selalu bikin masalah," Haksa selalu berisik dengan dirinya sendiri.
Langkahnya perlahan mendekati anak tangga menuju kelasnya, sebelum menaiki tangga dirinya harus melewati parkiran yang panjang, tentu saja salah dirinya sendiri karena memutari belakang sekolah, jika kembali ke jalan tadi akan memakan waktu banyak.
Maka dari itu Haksa terpaksa melewati parkiran yang panas dengan es cekek yang masih utuh ditangannya.
Nafasnya semakin berat, begitupun langkahnya, cuaca sangat panas hari ini, rasanya matahari berada sejengkal diatas kepalanya.
Di saat langkahnya beratnya terus berjalan, Haksa mendengar omelan seseorang yang menusuk telinganya.
Merasa penasaran, dirinya mencari asal suara tersebut.
"Kamu itu gatau di untung!" Marah seorang perempuan yang sudah cukup berumur tengah berhadapan dengan Jeriel.
Tingginya sama dengan Jeriel karena memakai sepatu hak tinggi yang mencolok berwarna merah menyala, begitupun dengan riasan yang lainnya
Tapi hal tersebut malah membuatnya semakin terlihat cantik, dengan tubuh ramping dan baju yang dia kenakan.
Perempuan tersebut menyilangkan kedua lengannya, menatap tajam kearah Jeriel, "Kamu pikir mamih kerja buat siapa?"
"Kamu pikir bagus, ngebales kerja keras mamih dengan cara kayak gini?"
"Malu-maluin," marahnya, "Kamu pikir sekolah nggak bayar, mamih harus ngeluarin berjuta-juta cuman buat kamu sekolah, tapi apa yang mamih dapetin?"
"Sp, kamu udah dapet sp tiga kali, sekali lagi kamu kena sp, kamu out dari sekolah ini,"
"Mamih pulang jauh-jauh dari luar kota, ninggalin bisnis cuman buat dengerin kelakuan kamu yang gak beres?" Terdengar kekehan kecil dari mulut perempuan tersebut, seakan-akan menghina sosok didepannya.
"Gak guna, kamu udah buang waktu mamih, harusnya mamih gausah ke sini, biarin aja Bang El yang ngurus," Ungkapnya
"Kamu sengaja banget bikin masalah, sampe ketangkap polisi, terus pihak sekolah juga sampe tau, mamih malu punya anak kayak kamu, gaada yang bisa di banggain dari kamu,"
Jeriel mengepal erat lengannya, memberanikan diri untuk berbicara, "Tapi Jeriel dapet peringkat 3 teratas walau sering bikin masalah,"
"Lalu?" Tanya perempuan tersebut, "kamu tinggal hubungin lewat telepon, harus banget bikin masalah kayak gini?"
"Kamu caper sama mamih?" Tanyanya, Jeriel semakin dibuat kesal, memang salah berharap pada ibunya sendiri.
"Iya, caper, kenapa?" Jawabnya, "Tapi caper kamu gausah segininya Jeriel, kamu udah besar, udah dewasa jangan kayak anak kecil lagi,"
"Harusnya kamu contoh bang El," Jeriel tertawa mendengar kalimat tersebut membuat sosok didepannya kebingungan.
"Bang El?" Datarnya menatap sosok yang dirinya anggap ibu dengan tajam, "Perhatiin aja terus Bang El,"
"Jeriel kapan dapet perhatian dari kalian berdua, perhatian kalian berdua cuman buat bang El," kekehnya.
Sosok yang dirinya kini anggap ibu perlahan hilang digantikan dengan sosok orang dewasa yang egois.
"Mamih susah-susah lahirin kamu berharap kamu banggain mamih, tapi nyatanya yang mamih dapetin cuman sampah atas kelakuan kamu," Sarkasnya.
Jeriel tertawa hambar, berdiri tegak dengan tatapan mengancam, pikirannya penuh dengan kemarahan, matanya bukan menahan lain melainkan menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
"Sampah? Mamih yang sampah," lirihnya pelan.
"Jeriel!!" Teriak seorang pria paruh baya dengan setelan jas mendatanginya dengan rasa marah.
Pria tersebut datang, tanpa sapaan hangat seorang ayah namun malah menamparnya keras hingga meninggalkan bekas merah yang menyala.
"Kamu!!" Marahnya menunjuk anaknya sendiri seakan-akan sedang menyumpahinya.
Jeriel muak, dirinya melangkah pergi dari sana meninggalkan dua sosok yang dirinya sebut orang tua.
"Wah," pelan Haksa yang melihat langsung kejadian tersebut, dirinya asik menonton dengan es cekek yang ada di tangannya.
Jeriel berjalan meninggalkan keduanya, pergi kearah Haksa bersembunyi.
Haksa yang takut ketahuan segera bersembunyi dibalik mobil yang ada di sana, menunggu Jeriel pergi jauh melewatinya.
Tetapi, keberuntungannya sudah terpakai saat tadi, kini nasib sial menghampirinya, di saat Jeriel melewatinya tiba-tiba hp berdering memperlihatkan Riri yang tengah menelponnya.
Tanpa sadar tangan Haksa menggeser menerima panggilan, "HAKSA!!" teriak Riri dari sana.
Haksa merutuki dirinya sendiri, "Kemana, lu bolos nggak ngajak gua," marahnya dari sana.
"Diem Ri,"
"Apa diem-diem?!" Kesalnya, "Diem dulu napa," lirih Haksa pelan.
"Apa, Napa si lu?" Teriak Riri dari sana, membuat Haksa meringis, "Diem!"
Riri terdiam di sana, lalu berbisik pelan, "Kenapa, lu lagi sembunyi ya biar nggak ke gep guru piket,"
Haksa berdecak, "Kagak, gua matiin ya, gua langsung ke kelas sekarang," lirihnya menutup panggilan.
Haksa bernafas lega, melihat sekitarnya sudah sepi, dirinya lelah berjongkok, berdiri kemudian meregangkan tubuhnya.
"Tinggal ke kelas," ujarnya seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Udah sembunyi nya?" Ucap seorang dari arah belakang, "Udah," jawab Haksa.
Sebentar, "Eh?" Haksa menoleh kebelakang, didapatinya Jeriel yang sedari tadi ada belakangnya.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Chance || Hajeongwoo
Historia Corta."Gua pengen mati," _ . "Gua takut mati," _ .Jeriel lebih memilih berjalan menuju kematian daripada menghargai setiap detik dalam hidupnya seperti Haksa .Sebelum Haksa datang meminta Jeriel untuk mengajarinya tentang beberapa pelajaran. Mereka hanya...