Bagian 10

617 48 10
                                    


Please give me a pleasure :-)


"MSP Spinn-Off"


















.
.
.

















"Gun.. Gun bangun. Dasar anak pemalas. Bangun Gun" Tidak juga mendapatkan respon dari sang anak, akhirnya telinga yang menjadi sasarannya.

"Aaa Aww aww awww sakit bunda" Gun mengelus kasar telinganya. Rasanya sakit sekali.

"Kamu ini. Lihat jam berapa? Jam sembilan lebih. Cepat bangun dan sarapan. Tin saja sudah siap mau pergi".

Gun yang mendengar nama Tin disebut segera berdiri tegap. "Tin mau kemana bunda? Aduh.. Dia mau beli buku yaa.. Gimana bunda? Tin belum berangkat kan? Aduh.. Gimana ini?" Gun bingung, berjalan mondar mandir sambil mengacak rambutnya asal.

Plakk

"Aduhh kenapa dipukul bunda? Sakit."

"Kamu ini, ibu akan coba tahan Tin sebentar. Kamu cepat beberes". Gun mencium pipi sang ibunda lalu berlari ke kamar mandi. "Terima kasih"

Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya heran melihat kelakuan sang anak. Berjalam keluar kamar lalu turun kebawah menghampiri Tin yang tadi sempat ia tinggalkan untuk membangunkan Gun.

"Tin, sudah ada kabar lagi dari mama dan papamu?" Tin melihat ke arah sang ibunda yang sedang berjalan pelan menuruni tangga. Ia hanya menggeleng pelan saat ditatap. "Bunda tidak perlu khawatir. Ayo lanjutkan makannya".

Terlihat sang ibunda malah mengoleskan roti dengan selai saat sampai di meja makan. Padahal ada nasi goreng yang sudah tersaji sejak tadi. Mungkin bunda ingin makan roti, pikirnya lagi.


"Tin sudah selesai". Ia berdiri terlebih dahulu. Seperti biasa, membawa piring kotornya sekaligus mencucinya dan diletakkan di atas rak piring. Bersamaan dengan itu suara gedebuk langkah kaki terdengar tidak beraturan. Tanpa menolehpun, ia tau bahwa itu adalah Gun.

"Selamat pagi, wah ada nasi goreng". Gun mulai mendudukan tubuhnya disamping sang ibunda. Melirik sebentar ke arah Tin yang sedang mencuci piringnya. Ia bahagia melihat Tin masih didekatnya. Itu artinya kemaren bukan hanya khayalan saat tahu bahwa selama ini orang yang ia cari sebenarnya tidak menghilangkan diri dari jangkauannya.

"Bunda, Tin pergi dulu. Sepertinya Tin akan makan siang diluar nanti". Ia mengambil tasnya dikursi dan mulai berjalan keluar, mengambil sepatu di rak depan lalu memakainya.

"Gun, cepat susul. Ini roti selaimu".


"Terima kasih. Gun pergi dulu". Ia segera berjalan cepat menyusul Tin yang sudah keluar dari pintu utama. Mengambil sepatunya di rak dan memakainya asal.

"Tin- tunggu dulu. Mau kemana? Aku antar ya?"

Tin melihat Gun yang berdiri di sampingnya. Tangannya membawa roti selai tadi. Ah sang ibunda sudah memprediksi hal ini, pikirnya asal.

"Bagaimana? Mau kan? Aku bebas akan mengantarmu pulang pergi kemanapun kamu mau". Gun melihat Tin yang terdiam beberapa saat sambil memandangnya. Sorot matanya susah sekali untuk ditebak. Ia kemudian tersenyum lebar saat melihat Tin berjalan pelan menuju mobilnya. Gun segera mengambil kunci didalan sakunya lalu membuka kunci mobilnya. Ia sangat bersemangat hari ini. Melihat Tin yang membuka pintu bagian depan lalu masuk kedalamnya.

Hari ini semoga berjalan lancar.








Gun berjalan pelan menyusuri jalanan yang cukup ramai. Mungkin efek hari libur. Melirik Tin disebelahnya yang hanya diam sambil melihat keluar jendela.

"Tin, kamu mau ke toko buku mana?" Ia menghentikan mobilnya saat lampu merah menyala. Menghadapkan wajahnya ke arah Tin yang masih belum menatapnya sejak tadi.

Gun melihat Tin mengambil handphonenya, tidak lama setelah itu ponsel Gun berbunyi. Satu pesan dari Tin berisi lokasi tujuan. Ia tersenyum kecut, menyadari Tin belum mau berbicara dengannya. Melihat ke atas pesan-pesan yang dikirim Gun tidak mendapatkan balasan sama sekali. Menghela napasnya perlahan lalu mulai menjalankan mobilnya lagi. Ia ingat sesuatu, hatinya berdenyut sakit. Kapan terakhir kali ia pergi mengantar atau menemani Tin? Ia bahkan tidak ingat lagi.





Gun memakai topi dan juga masker wajah. Mengikuti Tin kemanapun ia melangkah. Sesekali mengambil buku yang menarik perhatiannya lalu ia letakkan kembali. Bukan hobinya membaca buku. Ia menatap Tin di depannya yang sangat serius berpikir. Sangat lucu pikirnya. Tanpa sadar senyum terkembang dibalik maskernya.


Setelah memilih beberapa buku dan memasukkannya ke keranjang, Tin beranjak ke arah kasir. Seperti sebelumnya, Gun akan membayarkan belanjaan terlebih dahulu dan Tin akan diam saja.

Keadaan toko cukup ramai saat ini. Mereka akan keluar namun ada seorang fans yang menyadari keberadaan Gun. Kejadiannya begitu cepat sampai mereka tidak cukup waktu untuk bereaksi apapun. Yang tadinya satu kini menjadi beberapa yang mencoba mendekat. Tin semakin terdorong ke belakang akibat ulah fans Chinzillas yang saling dorong. Gun yang berada di situasi ini mau tidak mau memberikan waktunya untuk membuat mereka paham. Tin yang melihatnya memilih pergi keluar toko. Sebaiknya dia menunggu di luar, pikirnya dalam hati.

Gun segera berlari keluar mencari keberadaan Tin. Hampir tigapuluh menit ia harus memberikan pengertian kepada para penggemarnya agar memberinya ruang untuk sendirian. Matanya mengedar kesekeliling sambil membetulkan tampilannya lebih tertutup. Ia tidak ingin ada fans lain yang menyadari keberadaannya lagi.

Tidak jauh dari pintu keluar toko, Gun melihat Tin. Sedang duduk diam disalah satu bangku pedestrian dibawah pohon ketapang. Ia berjalan mendekati Tin yang menunduk sambil memeluk buku dengan kedua tangannya.

Gun bertanya dalam hati, apakah selama ini Tin selalu seperti ini? Menunggunya dengan diam? Jika iya, Gun ingin menangis sekarang.

Dulu ia sering membuat Tin menunggu sangat lama. Bahkan dengan tidak tau dirinya dia akan menyuruh Tin untuk pulang terlebih dahulu. Ia tidak peduli seberapa lama Tin sudah menunggunya, ia dengan tega hati akan mengusirnya begitu saja. Menyuruh dia untuk pulang sendiri dengan naik taksi atau apapun itu yang bahkan Gun sendiri tidak yakin apakah Tin benar-benar langsung pulang. Ia tidak pernah menanyakannya selama ini.

Dulu saat awal-awal pertama ini terjadi, Tin akan mengomel dan memarahinya. Namun seiring berjalannya waktu, Tin sepertinya sadar bahwa ini akan menjadi kebiasaan yang harus dialaminya mulai saat itu. Memikirkan semua kemungkinan rasa sakit yang ia berikan, membuat Gun tanpa sadar meneteskan air matanya. Rasa sesak dan sakit didadanya pasti tidak seberapa dengan yang dialami Tin selama ini bukan?


Gun mempercepat langkah kakinya, berdiri di samping Tin yang mulai mengangkat wajahnya. Bayangan tubuhnya mungkin membuat Tin sadar dari entah apapun yang sedang di pikirkannya. Gun menatap Tin yang mulai berdiri, menghadap ke arahnya. Isak tangis yang dari tadi ia tahan, perlahan semakin cepat dan kentara.

"Tin ma-maaf, aku minta maaf. Selama ini aku salah. Ma-maaf. Maafkan aku. Aku ma-" Suara Gun sedikit tercekat akibat tangisnya. Ia melihat Tin yang terdiam tanpa suara dan mengalihkan pandangannya ke depan.

"Tin aku min-"


"Gun, gue pengen makan sushi". Napas Gun tercekat, lehernya terasa tercekik. Ia melihat Tin yang memandang ke arah jalanan yang ramai. Ia tahu, Tin tidak ingin membicarakan ini semua.

Gun mengusap air matanya. Menarik napas dalam dan menghembuskannya, ia lakukan beberapa kali untuk mengontrol emosinya. Ia tidak ingin merusak hari Tin dengan semua rasa egonya. Gun menekan perasaannya dalam-dalam. Tersenyum dibalik masker lalu mengangguk semangat.

"Iya, ayo makan sushi. Aku yamg traktir".

Gun sadar ini belum waktunya. Setidaknya sedikit demi sedikit, ia akan memperbaiki semuanya. Ia akan menunggu berapa lamapun itu.











.
.
I hope you like it 🥰





.
.

MSP SPINN-OFF // GEMINIFOURTH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang