Gika berjalan tak tentu arah, ia kesal pada daddy-nya yang selalu menganggap kalau perkataannya itu sebuah candaan. Perasaannya bukanlah sebuah candaan yang bisa ditertawakan, ia mencintai Raguna dengan tulus, tetapi mengapa pria itu tak mau mengerti? Gika tidak habis pikir, ia bukanlah anak kandung daddy-nya, tetapi mengapa daddy-nya selalu menyangkal dan pura-pura tidak tahu tentang perasaannya? Mungkinkah Raguna tidak menyukainya sehingga sikap pria itu seperti itu? Kalau dilihat-lihat, ia terlihat cukup menarik dengan wajah cantik dan manis. Ia bahkan menjadi idola kampus dengan banyaknya orang yang ingin menjadi kekasihnya, lantas apa yang kurang dari dirinya sehingga Raguna terus menolaknya?
"Gika, sedang apa kau di sini?" Suara seseorang membuat Gika yang sedari tadi menunduk pun mendongak, hingga tatapannya dengan orang itu pun bertemu.
"Apa kau tidak lihat kalau sedang jalan kaki?" tanya balik Gika dengan ketus, gadis itu berniat meninggalkan lelaki yang mengganggunya, tetapi lelaki itu malah berdiri tepat di hadapan Gika.
"Kau mau pergi ke mana?" tanyanya.
"Bukan urusanmu, Kaviar, biarkan aku pergi." Gika pergi meninggalkan lelaki itu, tetapi lelaki bernama Kaviar itu justru mengekori Gika dari belakang.
Dilihat dari wajahnya, Gika saat ini sedang bete, itu berarti ia memiliki kesempatan menghibur Gika. Biasanya seorang perempuan akan mudah luluh jika ditemani saat dia sedang sedih, ini kesempatan besar bagi Kaviar untuk mengambil hati Gika. Penolakan Gika beberapa hari yang lalu sama sekali tidak membuat Kaviar gentar untuk meluluhkan hati Gika, ia akan berusaha mendapatkan hati Gika.
"Kenapa sih kau terus mengikuti? Sudah kukatakan, jangan ganggu aku!" tukas Gika ketus.
"Kau terlihat butuh hiburan, bagi seorang teman, tidak ada salahnya 'kan mencoba menghibur temannya yang lain?" Kata-kata Kaviar membuat Gika menghentikan langkahnya, gadis itu menatap Kaviar dengan tajam.
"Kita tidak sedekat itu sampai kau mengaku-ngaku menjadi temanku! Apa kau lupa kalau beberapa hari yang lalu aku menolakmu?"
"Apa kau juga lupa dengan apa yang kau katakan sendiri di hari itu, Gika? Kau mengatakan kalau kau tak bisa menerimaku, jadi kita boleh berteman saja. Kau sendiri yang mengatakan itu, masa kau lupa dengan ucapanmu sendiri?" Gika terdiam ketika Kaviar berhasil membalikkan semua kata-katanya, tanpa kata Gika langsung pergi meninggalkan Kaviar.
"Hei, tunggu! Kenapa aku ditinggal lagi!?" Kaviar bergegas mensejajarkan langkahnya dengan Gika.
"Karena kau temanku, sekarang bawa aku ke suatu tempat yang bisa membuatku bahagia," ujar Gika membuat Kaviar kegirangan.
"Serius? Apa itu artinya ini adalah kencan pertama kita?" Kaviar sudah sangat kegeeran membuat Gika berbalik kemudian mencubit lengan Kaviar.
"Sakit, Gika, mengapa kau malah mencubitku?"
"Supaya kau bisa sadar diri, tak ada teman yang berkencan, Kaviar." Kaviar hanya menyengir.
"Barangkali kau berubah pikiran ingin menerimaku, Gika, maka aku dengan senang hati menjadi kekasihmu." Gika memutar kedua bola matanya malas mendengar perkataan Kaviar.
"Ucapanmu kepadaku sama sekali tidak mempan, aku bukan mereka yang dengan mudahnya tertipu oleh perkataan penuh rayu dari mulut buaya sepertimu," tukas Gika sinis. Kaviar menyengir, ia sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan Gika karena apa yang Gika katakan itu benar adanya.
"Iya, aku sadar kalau aku memang brengsek. Tapi itu 'kan dulu, saat ini aku sudah berubah. Jika ingin mendapatkan hatimu, maka aku harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bukan begitu, Queen?"
"Jangan memanggilku seperti itu, aku tak suka mendengarnya!" Gika tak suka ada orang lain yang memanggilnya demikian karena hanya Raguna saja lah yang boleh memanggilnya begitu, mengingat kembali daddy-nya membuat Gika kesal.
"Kenapa kau cemberut lagi? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Kaviar penasaran.
"Tidak ada, ayo bawa aku ke taman bermain."
"Taman bermain? Kau serius?"
"Iya, memangnya kenapa? Kalau kau tak mau, ya sudah, aku bisa sendiri."
"Hei, tunggu! Jangan langsung menyimpulkan begitu, Gika. Ayo kita ke mobilku, aku akan mengantarmu ke sana." Kaviar menarik tangan Gika dan mengajaknya pergi menuju mobilnya berada.
Saat tiba di mobil, Gika tanpa pikir panjang langsung masuk begitu pun juga dengan Kaviar. Kaviar menjalankan mobilnya menuju tempat yang Gika inginkan, kapan lagi ia bisa menjadi lelaki yang berguna bagi Gika? Ini merupakan kesempatan langka, karena biasanya ke manapun Gika pergi, pasti diantar oleh daddy-nya.
"Oh ya, Gika, tadi sebenarnya kau sedang apa di sana? Mengapa kau sendirian? Ke mana daddy-mu yang sangat posesif itu?" tanya Kaviar.
"Tidak usah banyak bertanya, fokus saja mengemudi. Aku tak ingin mati bersamamu di sini," ucap Gika.
"Apakah kau begitu membenciku sehingga mati pun tak mau denganku?"
"Berhenti bertanya dan bicara yang aneh-aneh, Kav! Aku masih mau hidup, aku belum menikah dan aku ingin menghabiskan hidupku dengan orang yang kucintai dulu sebelum aku mati."
"Kalau begitu kau tak perlu repot-repot, Gika, kalau kita berdua mati 'kan kita bisa menikmati waktu itu. Bukankah aku itu jodohmu?" Gika langsung memasang ekspresi mualnya saat Kaviar mengatakan hal itu.
Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah taman bermain. Gika langsung keluar dari mobil Kaviar, tanpa menunggu Kaviar terlebih dahulu, Gika langsung pergi menuju taman bermain yang hari ini dipenuhi oleh anak-anak. Gika duduk di sebuah bangku taman sambil memperhatikan anak-anak yang bermain ayunan, perosotan dan juga sepak bola.
"Gika, teganya kau meninggalkanku. Bukannya menungguku dulu tadi," ujar Kaviar sambil duduk di samping Gika.
"Tidak usah berlebihan, kau bahkan hanya kutinggal satu menit saja." Gika membalas dengan sinis.
"Gika, mengapa kau ingin pergi ke sini?"
"Aku hanya ingin melihat anak-anak itu bermain, mereka terlihat senang. Itu dilihat dari tawa mereka," jawab Gika.
"Hanya itu saja?" Gika mengangguk.
"Iya, kenapa ekspresimu seperti itu? Apa kau berpikir kalau aku akan ikut bermain bersama anak-anak itu?" Dengan polos Kaviar mengangguk.
"Ya, aku memang berpikir begitu tadi."
"Aku tidak seperti itu, masa kecilku selalu bahagia. Kau pikir aku orang yang kekurangan kebahagiaan di masa kecil?"
"Baguslah kalau kau tak merasakannya, Gika, karena menghabiskan waktu di masa kecil dengan keadaan yang memaksakan kalau kita harus dewasa itu tidaklah menyenangkan." Kaviar mengatakan itu seakan tengah menceritakan kehidupannya sendiri pada Gika.
"Mengapa ekspresimu seperti itu? Apa kau mengalaminya?"
"Tidak, mana mungkin aku mengalaminya! Aku hanya bercanda saja." Kaviar menyangkal karena tidak mau ada orang lain tahu sisi kelemahannya, apalagi orang itu adalah Gika, gadis yang ia sukai.
"Kakak, ayo main bersama!" teriak seorang gadis kecil sambil melambaikan tangan ke arah Gika.
"Kau mau pergi ke mana?" tanya Kaviar ketika Gika beranjak dari duduknya.
"Kau tidak dengar tadi kalau anak kecil itu memanggilku? Aku ingin main bersamanya," ujar Gika kemudian benar-benar meninggalkan Kaviar sendiri.
"Katanya tadi tak ingin ikut bermain, rupa-rupanya ...." Kaviar menggelengkan kepalanya, merasa lucu dengan tingkah Gika.
***
Apakah masih ada yg menunggu cerita ini update?
KAMU SEDANG MEMBACA
Faster, Daddy!
Romance*** "Daddy! Aku mencintaimu!" teriak Gika bersungguh-sungguh. Pria yang dipanggil 'daddy' itu pun menoleh ke arah Gika dan menatap gadis itu tidak percaya. "Kamu mencintaiku? Apakah kamu tidak salah? Aku ini sahabat ayahmu! Tidak seharusnya kamu me...