Bab 9 | Marah

138 2 0
                                    

Saat mobil berhenti tepat di depan rumahnya, tanpa melihat ke arah Raguna, Gika langsung turun dari mobil masuk ke rumahnya. Raguna yang melihatnya pun menghela napas, pria itu ikut turun dan bergegas menyusul Gika. Saat melewati ruang keluarga, ada Tuan Nelson yang sedang membaca koran. Gika hanya melihat sekilas ke arah ayahnya itu kemudian segera pergi ke kamarnya, Tuan Nelson yang hendak bertanya pun mengurungkan niatnya saat Gika sudah pergi. Pria berusia empat puluh tiga tahun itu merasa bingung dengan tingkah Gika, ditambah bukankah seharusnya saat ini Gika bersenang-senang dengan bermain bersama Raguna? Mengapa putrinya itu jadi pulang lebih awal?

"Ada apa dengan Gika?" tanya Tuan Nelson pada Raguna yang baru saja masuk kemudian duduk tak jauh darinya.

"Gika marah karena aku mengajaknya pulang lebih awal," jawab Raguna.

"Ya, mengapa kalian pulang lebih awal? Bukankah seharusnya nanti malam kalian baru pulang?"

"Ada masalah sedikit tadi sehingga Gika saat ini kesal," ujar Raguna yang tidak ingin menjelaskan dengan rinci mengapa bisa ia mengantar Gika pulang lebih awal.

"Pasti terjadi sesuatu ya? Apa kau berulah lagi sehingga Gika marah?" Tuan Nelaon langsung menembak tepat sasaran.

"Sebenarnya bukan aku yang berulah, tetapi Gika sendiri. Bisa-bisanya dia meninggalkanku untuk pergi bersama teman lelaki yang seusianya, aku menegurnya kemudian dia marah." Tuan Nelson yang mendengarnya pun menggelengkan kepalanya, Raguna ini terlalu posesif pada putrinya, bahkan melebihi dirinya sendiri yang merupakan ayah kandung Gika.

"Seharusnya kau biarkan saja dia pergi bersama temannya, Guna, jangan terlalu membatasi pertemanan Gika. Aku sama sekali tak melarang Gika ingin berteman dengan siapapun itu," ucap Tuan Nelson.

"Masalahnya aku tahu latar belakang lelaki itu, aku tak ingin Gika salah pergaulan. Aku juga tahu apa motif dia mendekati Gika, makanya aku tak mengizinkan dia bersama lelaki itu. Aku benar-benar ingin menjaga Gika dengan baik sampai nanti dia menemukan seorang lelaki yang tepat yang bisa menjaganya menggantikanku, tetapi tidak untuk sekarang. Gika masih harus fokus dengan kuliahnya," tutur Raguna panjang lebar.

"Kau sungguh sangat peduli pada Gika, aku begitu berterima kasih dengan hal itu, Guna." Tuan Nelson mengatakan itu dengan tulus.

"Karena aku menyayanginya, Gika sudah kuanggap seperti putriku sendiri, Kak."

"Aku akan pergi ke kamar Gika untuk membujuknya, dia tadi tak sempat makan banyak karena marah padaku. Aku ke atas dulu, Kak." Tuan Nelson mengangguk, membiarkan Raguna pergi dari hadapannya untuk menyusul Gika.

Di dalam kamar, Gika duduk di atas ranjangnya sambil memeluk boneka beruang pemberian Raguna. Saat menyadari kalau boneka beruang itu pemberian dari daddy-nya, Gika yang kesal dengan ulah Raguna pun melempar boneka itu hingga jatuh ke lantai.

"Daddy sungguh menyebalkan! Tak menerima cintaku tetapi melarangku menerima cinta salah satu lelaki yang menyukaiku!" maki Gika.

Gika kepikiran menghubungi Pika sahabatnya itu, gadis itu langsung melakukan panggilan video. Tak perlu menunggu waktu lama, Pika mengangkat panggilan video dari Gika.

"Ada apa lo tiba-tiba vc gue, Gi? Ini masih siang, biasanya juga lo kalau ngajak vc itu malam 'kan? Eh, bukannya hari ini katanya lo mau jalan sama daddy lo yang ganteng itu? Kenapa latarnya ada di rumah?" tanya Pika kebingungan saat melihat di belakang Gika itu adalah dinding kamar Gika.

Gika memang semalam menceritakan pada Pika kalau ia akan pergi ke pantai bersama Raguna, setiap kegiatan yang akan ia lakukan bersama Raguna, Gika tidak pernah absen memberitahukan semua itu pada temannya.

"Itu dia yang bikin gue kesal, Ka, gue udah beraniin diri buat bilang perasaan gue. Tapi Daddy malah kayak ngabaikan perasaan gue, terus gue pergi 'kan dari sana. Gue ketemu sama Kaviar, gue ajakin aja tuh Kaviar pergi. Nggak tahu dari mana, Daddy itu tahu tempat gue sama Kaviar pergi. Dia langsung ngajakin gue pergi dan bilang ke Kaviar kalau dia nggak boleh ngedeketin gue. Gue sebal sama Daddy, kalau Daddy memang nggak mau nerima cinta gue. Seharusnya dia biarin gue coba sama lelaki lain yang memang suka sama gue, tapi dia malah ngelarang!" ujar Gika menceritakan semuanya pada Pika.

"Daddy lo ada alasan kali ngelarang lo kayak gitu, Gika."

"Apa coba alasannya?"

"Ya, lo tahu sendiri 'kan kalau daddy lo itu posesif kalau sama lo. Ditambah lo itu pergi sama Kaviar, si playboy cap biawak yang dikenal seantero kampus kita karena sering gonta-ganti pasangan. Gue yakin Daddy lo itu udah nyari tahu tentang dia, makanya dia ngelarang lo. Positif thinking aja sih, Gi, jangan terlalu dibawa ke hati." Pika memberikan saran.

"Tapi gue tetep kesal, Pika, Daddy selalu nganggap perasaan gue itu main-main. Gue tuh sebenarnya malu kalau tiap saat bilang tentang perasaan ini ke Daddy sedangkan Daddy sendiri kayak nggak ada respon apa-apa."

"Sejak kapan lo punya rasa malu, Gi? Biasanya juga nggak pernah." Skakmat, kata-kata Pika berhasil menampar Gika

"Pika! Lo kok nyebelin banget sih? Kenapa bilang gitu coba!" teriak Gika.

"Aduh, apaan sih, Gi? Nggak usah teriak-teriak, kuping gue bisa tuli gara-gara dengar suara lo yang cempreng itu!" Pika menutup telinganya karena Gika berteriak tepat di layar ponsel sehingga saat berteriak, suara Gika sangat nyaring.

Tok ... tok ... tok ....

"Queen, Daddy masuk ya ...." Raguna mengetuk pintu kamar Gika, membuat Gika yang sedang asyik mengobrol dengan Pika pun gelagapan.

"Ada Daddy tuh, gue tutup dulu ya panggilannya. Nanti gue lanjut lagi ceritanya," ujar Gika kemudian benar-benar memutuskan panggilan itu.

Sebelum Raguna masuk ke kamarnya, Gika langsung berbaring di atas tempat tidurnya dengan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimutnya. Saat Raguna masuk, pria itu tersenyum melihat Gika yang marahnya seperti anak kecil. Pria itu duduk di tepi ranjang di mana Gika berbaring.

"Daddy tahu kalau kamu itu belum tidur, Queen, ayo bangun ... kita bicara baik-baik," ujar Raguna penuh kelembutan.

Gika hampir saja luluh saat mendengar suara lembut daddy-nya, tetapi a menguatkan hatinya untuk tidak semudah itu luluh. Murahan sekali hatinya ini, seenaknya saja mau luluh secepat itu.

"Kamu tadi tidak sempat makan banyak, apa mau Daddy pesankan sesuatu atau minta Mbok Marni memasakkan sesuatu untukmu?" tanya Raguna.

Gika hanya diam saja, sama sekali tidak meresponnya, tetapi Raguna sama sekali tidak menyerah. Pria itu menarik pelan selimut yang menutupi wajah Gika, saat selimut itu ditarik, Gika langsung kembali menarik selimut itu agar menutupi wajahnya.

"Kamu tidak merasa kepanasan selimutan di siang hari seperti ini, Queen? Meskipun ada AC, Daddy pun masih merasa panas," ujar Raguna.

"Hati-hati, nanti kehabisan napas lo. Daddy—"

"Daddy bisa diam tidak!? Jangan ganggu aku! Aku mau tidur! Lebih baik Daddy pergi, aku tak ingin melihat wajah Daddy!" Gika membuka selimut yang menutupi wajahnya kemudian berteriak demikian sambil menatap Raguna kesal, benar-benar memperlihatkan kemarahannya pada daddy kesayangannya itu.

Faster, Daddy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang