Bab 10 | Hampir Khilaf

322 2 0
                                    

Karena Gika sepertinya masih marah padanya, akhirnya Raguna memutuskan untuk pulang sebentar. Tiba-tiba saja ada pekerjaan mendesak yang harus ia lakukan, sebenarnya Raguna hari ini ingin sekali menghabiskan waktunya bersama Gika, tetapi Gika malah mengambek dan akhirnya rencana yang mereka susun untuk hari ini pun batal. Raguna bahkan rela meninggalkan pekerjaannya untuk menemani Gika ke pantai, sayangnya hal itu malah batal. Raguna nanti akan kembali menemui Gika setelah urusannya sudah selesai, ia pantang membiarkan Gika marah padanya karena bagi Raguna, tak mendengar suara manja Gika sebentar saja sudah sangat menyiksanya. Ia terbiasa mendengar rengekan manja Gika dan bila tak mendengarnya itu benar-benar membuatnya tersiksa.

"Daddy pulang dulu ya, ada beberapa pekerjaan yang harus Daddy selesaikan," ucap Raguna pada Gika.

Gika hanya diam saja, sama sekali tidak menanggapi perkataan Raguna. Kalau ia menjawab, itu berarti ia sudah memaafkan Raguna. Nyatanya ia belum memaafkan Raguna, masih terselip rasa kesal di hati Gika karena Raguna pura-pura tidak peka di saat ia sudah berusaha mengatakan hal yang sebenarnya tentang perasaannya.

Raguna menghela napas saat Gika sama sekali tidak meresponnya, pria itu menyerah. Ia mengusap lembut kepala Gika yang tertutup dengan selimut kemudian benar-benar keluar dari kamar Gika. Gika yang mendengar suara pintu kamarnya yang ditutup pun menyingkirkan selimut yang menutupi wajahnya. Gadis itu langsung cemberut, sebenarnya ia tak ingin Raguna pergi. Ia ingin Raguna kembali membujuknya hingga ia luluh, tetapi apa boleh buat jika Raguna sudah terlanjur pergi. Ia juga terlalu gengsi untuk menahan daddy-nya itu.

Gika turun dari tempat tidur, ia berjalan menuju jendela kamarnya, membuka gorden kamar itu untuk mengintip Raguna yang saat ini sudah memasuki mobilnya.

"Daddy sungguh menyebalkan, lebih sayang dengan pekerjaannya daripada aku!" tukas Gika cemberut.

Gika merasa perutnya keroncongan, gadis itu meringis kecil. Ia baru ingat kalau ia tak sempat makan dan saat ini sudah waktunya jam makan siang. Gika memutuskan untuk keluar dari kamarnya, ia tidak tahan menahan lapar selama ini. Lagipula Raguna sudah pergi, tidak ada yang perlu Gika takutkan. Ia bisa makan dengan bebas kemudian pura-pura mogok makan lagi saat daddy-nya datang.

"Ayah, aku lapar," rengek Gika sambil menghampiri Tuan Nelson.

"Kau lapar, Sayang? Mbok Marni sudah menyiapkan makan siang. Kamu makanlah duluan," ujar Tuan Nelson.

"Mau makan bersama Ayah." Gika meminta itu setengah merengek.

"Ayah sedang menyelesaikan pekerjaan Ayah, nanggung sekali kalau ditinggal. Kamu makanlah duluan, nanti Ayah menyusul." Gika menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak setuju dengan apa yang ayahnya katakan.

"Gika ingin makan bersama Ayah, Gika tidak mau makan sendirian. Itu sama sekali tidak seru."

Tuan Nelson menghela napas, "Huft, baiklah." Tuan Nelson mengalah, ia menaruh dokumen-dokumen yang tadi ia pegang dan menyusunnya di atas meja.

"Ayo, kita makan!" Tuan Nelson merangkul bahu Gika dan mengajaknya menuju ruang makan.

"Kau sedang marah pada daddy-mu itu? Sebenarnya ada apa dengan kalian? Apa yang membuatmu marah padanya?" tanya Tuan Nelson.

"Aku tak ingin membahas itu, Ayah, jangan tanya-tanya tentang Daddy. Aku kesal padanya," jawab Gika.

"Seseorang kesal karena ada alasannya, Sayang, jadi apa alasanmu kesal padanya? Apa dia menyakitimu? Beritahu Ayah, biar Ayah kasih pelajaran pada Daddy-mu itu," ucap Tuan Nelson.

"Meskipun aku menceritakannya, Ayah tidak akan pernah mengerti. Jadi, lebih baik aku tak memberitahu Ayah."

"Kau belum mengatakannya bagaimana bisa kau menyimpulkan kalau Ayah tidak akan mengerti? Ayo, coba beritahu Ayah apa yang terjadi." Mereka berdua duduk di kursi meja makan, dengan banyaknya menu makan siang yang dihidangkan.

"Tadi Daddy terlihat genit pada wanita centil, Ayah, Gika sama sekali tidak suka itu." Tuan Nelson yang mendengarnya pun tertawa kecil.

"Lantas, apa yang menjadi masalah, Sayang? Bukankah itu hal yang wajar bagi seorang pria lajang? Biarkan saja Daddy begitu, mungkin saja dia ingin mencari istri," ucap Tuan Nelson.

Mendengar perkataan ayahnya membuat Gika mengernyit tak suka, ia tak suka ayahnya mengatakan hal itu. Raguna tidak boleh mencari wanita lain, sudah ia katakan kalau ia mencintai Raguna maka sudah seharusnya yang akan menjadi istri masa depan ayahnya adalah.

"Gika tidak suka itu, Ayah!" Gika berteriak untuk menumpahkan kekesalannya.

"Hei, ada apa denganmu, Sayang? Mengapa kau berteriak begitu pada Ayah? Ayah hanya bicara faktanya saja. Kau jangan mengekang Daddy-mu untuk mencari pasangan hidup, biar bagaimanapun juga dia butuh pasangan hidup. Seorang pria tidak akan tahan berlama-lama sendiri, dia juga membutuhkan seorang istri." Gika menyipitkan matanya menatap ayahnya.

"Apa Ayah termasuk pria itu? Ayah ingin menikah lagi? Ayah sudah tidak mencintai Ibu lagi?" tanya Gika dengan tatapan menuding.

"Tidak, kalau Ayah pengecualian. Ayah mana mungkin seperti itu, hanya Ibu kamu yang Ayah cintai sampai kapanpun itu. Ayah tidak berniat mencari istri lagi, bersama Gika sudah membuat Ayah senang. Ayah tak butuh istri karena Ibu kamu tak tergantikan, Sayang." Gika lega mendengarnya, dia pikir ayahnya akan menikah lagi. Ia tidak akan pernah setuju, biar saja ia dianggap egois. Toh, ia tidak suka kalau ada orang lain di rumah ini, lagipula ia tidak percaya wanita-wanita di luar sana bisa menjadi istri ayahnya dengan tulus tanpa ada niatan apapun itu.

"Benar begitu, Ayah? Ayah jangan membohongi Gika."

"Mana pernah Ayah berbohong, ayo sekarang makanlah. Kau pasti sangat lapar, tadi daddy-mu bilang kalau kau tak sempat makan di sana." Gika mengangguk, ia yang kelaparan pun langsung makan dengan lahap.

Malam hari di saat Raguna baru saja menyelesaikan pekerjaannya, Raguna langsung pergi ke rumah Gika. Raguna merasa tak tenang sebelum melihat atau mendengar suara putri angkatnya itu, tadi ia sudah berusaha menelepon Gika, tetapi ternyata Gika tidak mengangkat panggilan darinya. Mungkin saat ini Gika masih marah padanya.

"Di mana Gika, Kak?" tanya Raguna pada Tuan Nelson yang sedang menonton siaran berita di televisi.

"Dia ada di kamarnya, kau baru pulang, Guna?" tanya Tuan Nelson sambil melihat penampilan Raguna yang sedikit acak-acakan.

"Iya, aku tak tenang sebelum melihat wajah Gika. Mungkin dia masih marah padaku."

"Aku sudah membujuknya untuk memaafkanmu, coba kau cek saja ke kamarnya." Raguna mengangguk kemudian pergi menuju kamar Gika.

Raguna membuka pintu dengan pelan, Gika ternyata sudah tidur pulas. Pria itu duduk di tepi ranjang Gika, ia tersenyum saat melihat wajah damai Gika. Tangannya terulur untuk mengusap wajah Gika, dimulai dari dahi dan matanya kemudian pipinya.

"Dia sangat imut sekali saat sedang tidur pulas begini," gumam Raguna sambil tersenyum.

Entah mengapa, tiba-tiba saja tatapan Raguna mengarah pada bibir kecil Gika yang berwarna merah alami. Pria itu menatap bibir Gika lama, tangannya bahkan terulur untuk mengusapnya. Tiba-tiba saja Raguna membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Gika, tetapi tiba-tiba saja Gika membuka matanya.

"Daddy mau apa?" tanya Gika membuat Raguna yang terkejut pun langsung berdiri. Pria itu menatap Gika yang kebingungan dengan sikapnya, kemudian lebih memilih memalingkan wajahnya.

Raguna bahkan terkejut dengan apa yang hampir ia lakukan pada Gika, pria itu menggelengkan kepalanya sambil mengusap rambutnya sendiri. Ada apa dengan dirinya? Mengapa bisa ia hampir khilaf melakukan hal itu pada putrinya sendiri?

Faster, Daddy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang