Ketika Octava akan berangkat, kamar Helena sudah tertutup rapat pintunya. Gadis itu sempat berdiri sebentar di depan kamar calon kakak tirinya. Ia tempelkan kepalanya pada daun pintu dan menyesali apa yang sedang ia lakukan seketika. Octava bahkan tak memiliki alasan kenapa dirinya melakukan itu. Pelan-pelan ia turun tangga, lalu menunggu Tony di luar.
Helena adalah perempuan yang misterius. Sikapnya hangat, dan seenaknya sekaligus. Octava merasa ada yang salah dengan otaknya, sesaat setelah ciuman tak sengaja di antara mereka terjadi. Ciuman itu hanya terjadi sedetik kurang. Namun sudah cukup untuk membuat setiap sensor dalam tubuh Octava mengingat bibir Helena yang lembut, aroma nafasnya yang berbau tembakau dan permen karet. Matanya yang hijau seperti laut. Untuk sesaat Octava lupa kalau ia sedang menahan nafasnya. Kinerja otaknya jadi lambat seperti habis minum obat batuk yang menyebabkan kantuk.
"Octava!" panggil Tony. Lelaki itu duduk di kursi kemudi. Beberapa menit ia bicara, tapi Octava tidak mendengarkan sama sekali.
Octava sadar dari lamunannya. Ia membuang nafasnya. "Oh, maaf... Sepertinya aku kurang tidur."
Tony tidak dengan mudah percaya pada alasan itu. "Sejak tadi kamu diam saja. Apa pernikahan ibumu akan berjalan dengan mulus?" Lelaki di sebelahnya bertanya. Dari matanya kekhawatiran memancar. "Apa kamu baik-baik Octava? Apa saudara tirimu memberi masalah?"
Octava menghela nafas. "Ya, semuanya baik-baik... Helena baik-baik."
Tony menyangka Helena adalah nama putri tunggal Pak Gourse yang kaya raya itu. "Atau kamu sedang sakit?" Tony mengemudikan mobil ke bahu kiri jalan untuk menepi. Agar dapat berbicara dengan leluasa pada kekasihnya itu. Ia mengambil tangan Octava, menaruhnya di atas permukaan kulit pipinya yang berbintik karena lupa bercukur.
Akhirnya, Octava menoleh padanya. Octava melihat mata Tony. Kemudian memutuskan, "Ayo kita ke tempatmu, Ton..." kata Octava.
Tony tidak menyangka bahwa Octava akan minta jatah sepagi ini. Jadi ia bersandiwara. "Kenapa? Aku baru saja dari sana." Tony berusaha menggoda.
Tapi Octava segera menciumi leher pacarnya. Kemudian bibirnya. Ia tahu, Tony akan mengerti dan dirinya tak perlu bicara banyak.
"Baiklah, Octava. Aku mengerti. Sekarang berhenti menciumku. Aku tak ingin kita dalam masalah." Tony was-was. Matanya menyapu jalanan di depannya. Seorang ibu berjalan cepat di sisi trotoar dengan dua orang bocah yang berseragam sekolah dasar.
Octava berhenti. Ia memandang Tony. "Kita bisa lewatkan satu jadwal kuliah, dan kembali ke kampus tepat waktu."
"Kalau itu maumu, Tuan Putri." Tentu, Tony lelaki biasa. Ia tak menolak kesempatan ini. Ia rela membolos.
Sampai di kamar kost Tony, Octava segera menelanjangi dirinya sendiri. Ia kupas pakaiannya satu persatu. Ia gadis yang mandiri, ia tidak perlu dilayani. Ia akan melakukan apa pun yang ia rasa mungkin, asal pikirannya bisa waras kembali. Mungkin pernikahan ibunya membuat alam bawah sadarnya tertekan. Mungkin pindah rumah membuatnya tertekan. Octava tidak tahu. Yang ia tahu, mungkin apa yang ia lakukan sekarang akan membantu sedikit.
Lenguhan demi lenguhan dilaluinya. Octava memijat kepalanya yang pening. Beberapa jurnal menyatakan bahwa orgasme menonaktifkan beberapa saraf pusat rasa takut dan mengendurkan otot-otot yang tegang. Mengaktifkan beberapa yang lain dan melepaskan endorphin dengan intensitas serupa heroin.
Bohong. Apa yang gadis ini rasakan membuat teori itu otomatis invalid. Tony tak bisa membuat Big Bang terjadi dalam kepalanya. Tak ada ledakan. Percikan pun tidak. Hubungan ini seperti kembang api yang 'melempem'.
Sepuluh menit di atas ranjang itu, tenggorokan Octava jadi kering karena sibuk memberi aba-aba. Menyemangati Tony. Meremat otot lengan lelaki itu bahkan memukulnya jika perlu. Tapi nihil. Lelaki itu bersikap seperti pecundang. Gerakannya lambat, terlalu halus. Dan ia terkapar pada menit ketiga. Mungkin bukan teori itu yang salah. Octava yang salah—karena dia tidak sampai di puncak.
Tapi Octava gadis yang baik, ia tak tega. Ia menjaga mulutnya baik-baik agar jangan sampai lelaki itu merasa tersinggung. Octava berpura-pura. Ia mulai pandai melakukannya satu setengah tahun ini. Tony bahkan tak menyadarinya sama sekali. Lelaki itu cepat merasa bangga pada kelelakiannya sendiri.
"Octava? Kamu masih di sana?" Tony memanggil dari atas tempat tidur. Lututnya masih gemetar.
"Ya, aku akan cuci muka. Lalu kita akan kembali ke kampus," jawab Octava sambil memandangi dirinya di cermin kamar mandi kekasihnya itu.
Octava memperhatikan setiap detil wajahnya. Namun, sampai pada bibirnya, ia tetap tak bisa melupakan apa yang sudah terjadi pagi ini bersama Helena. Bagaimana rasanya, bau rokok yang melegakan. Meski terlalu sebentar. Dan maksud perkataan Helena. Ia tak akan minta maaf untuk sesuatu yang seharusnya dianggap sebuah ketidaksengajaan. Tentu itu bukan masalah besar. Dan kenapa juga Octava mengulang penjelasan tentang fisik Helena dalam kepalanya?
Ada apa dengannya? Sekali lagi, tertekan. Ya, ia mungkin hanya sedang gugup menghadapi hari pernikahan ibunya. Sebuah lompatan dalam hidupnya. Selama ini ia hanya menonton film. Kini benar-benar terjadi dalam hidupnya.
Kemudian, ia terbayang wajah Helena lagi. Sial. "Tony, cepat pakai bajumu! Antar aku ke kampus, atau aku akan jalan kaki saja."
***
Sementara Helena yang sudah kering libidonya, tergeletak lemas di dalam bak mandi. Nafasnya tersengal-sengal, ia sandarkan punggungnya di pinggir. Ia tutup matanya dan ia lepaskan nafasnya pelan-pelan. Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak merasa berdosa pada Ursula. Atas semua hal indah yang sudah mereka lakukan semalaman. Karena Helena sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Yang barusan terjadi.
Ini memang bukan yang pertama kalinya Helena melayani dirinya sendiri. Ini bukan yang pertama kalinya Helena orgasme di kamar mandi. Helena sudah dua puluh tujuh umurnya. Ia tahu artinya memuaskan diri sendiri dan kadang ia biarkan Ursula melihatnya begini. Tapi, tak pernah Helena melakukannya setelah malam yang panjang dan menggairahkan bersama kekasihnya. Tak pernah ia memeras libidonya sampai kering begini. Tak pernah ia membayangkan orang lain!
Gadis itu bukan orang lain! Octava memang orang baru di rumah ini tapi dia bukan orang lain! Dia anaknya Amanda. Ya, Amanda yang akan diperistri oleh Pak Tua Gourse, ayahnya Helena. Octava akan jadi saudara tirinya dan kini Helena menjadi semakin merasa berdosa. Ia melakukannya lagi. Ia akan membuat kesalahan lagi jika tidak berhati-hati.
Helena harus menjaga dirinya agar tak jatuh di dalam lubang yang sama. Ia tidak mau menyakiti Ursula yang selalu ada buatnya bertahun-tahun ini. Ia tak mungkin mengkhianati Ursula.
"Kumpulkan kewarasanmu, Helena!" maki Helena pada dirinya sendiri. Octava hanya seorang remaja polos. Ia ceroboh dan kikuk. Ia hanya gadis dengan rambut hitam yang indah. Ia hanya gadis dengan mata yang cantik dan bentuk hidung yang sempurna. Ia hanya gadis pendiam dengan bibir penuh dan empuk. Octava hanya...
Helena... Kamu sedang membayangkannya lagi! Hentikan otak kotormu itu. Sejak kapan kamu menjadi menjijikkan begini?
Helena membelai pangkal pahanya lagi. Ia elus bagian tubuhnya yang paling sensitif. Ia menggigil menahan ngilu dan nikmat yang datang bersamaan. Lalu ia berteriak keras penuh kemarahan. Karena ia tidak bisa menahan dirinya. Karena ia begitu menjijikkan. Helena keluar dari bak mandi, ia dorong semua barang yang ada di hadapannya dengan gusar. Ia tidak boleh begini. Ini salah! Helena, harus menjauh dari Octava. Sebelum dirinya membuat kesalahan yang lebih besar lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/356487263-288-k839067.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Microscopic Lust GXG (END)
Romance18+ "Cinta segitiga itu tidak ada, Santi. Yang ada hanya rasa angkuh untuk membagi!" -Octava Gourse- Octava adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Pernikahan kedua sang ibu dengan seorang miliader bernama Gourse membuat gadis itu harus tinggal serum...