Pagi di rumah keluarga Gourse. Helena baru saja pulang setelah dua ronde di pagi hari dengan kekasihnya, Ursula. Anak tunggal miliader Gourse itu memarkir mobilnya sembarangan di garasi. Tungkai kakinya terasa lemas. Badannya seperti akan rontok dalam hitungan menit. Matanya sepat. Helena jelas kelelahan.
Sekian lama ia dan Ursula kehilangan gairah dan kualitas dari hubungan ranjang. Sudah semua cara mereka coba. Dari posisi misionaris hingga merambah ke pose-pose 'disiplin', kostum-kostum dan 'mainan' lainnya. Semuanya hanya untuk bertahan, semuanya agar tetap bisa menjaga komitmen bersama.
Mereka belajar dari Kamasutra. Mereka menonton semua tagar di situs-situs ilegal hingga berbayar. Dan entah bagaimana, yang tadi malam sungguh sebuah keajaiban. Dan, tidak ada hal lain yang dapat ia pikirkan sekarang, selain tempat tidurnya yang berantakan.
Wangi roti yang dipanaskan dan selai mengapung-apung di lobi rumah. Helena sempat lupa kalau sudah bukan hanya dia dan ayahnya saja yang tinggal di rumah ini, ketika melihat profil Octava yang sedang duduk sendirian di meja makan dari belakang.
"Pagi," Helena mendekat. Disentuhnya bahu Octava dengan lembut, supaya si gadis kikuk tidak tersedak dengan kemunculannya. Ia dekatkan wajahnya dekat pipi Octava. "Pak Tua sudah berangkat?"
Octava menoleh, tersenyum ringan. "Aku sedang sarapan kopi dan roti, kamu mau?" Octava berusaha bersikap baik sepagi ini. Pada pemilik rumah yang sesungguhnya.
Saudara tirinya menggeleng. "Yang aku butuhkan sekarang adalah tidur. Dan aku tak terbiasa makan sebelum tidur." Ia bercanda dengan nada suara yang lelah. "Ke mana Pak Tuaku pergi?" Helena bertanya lagi, ia lupa apa sudah bertanya tadi.
"Mengurusi pernikahannya, dengan ibuku." Octava merasa canggung. Ia tentu tak harus mengingatkan Helena soal pernikahan itu. Awalnya Octava berpikir pernikahan ibunya yang kedua tidak akan memberikan kedamaian buatnya. Namun, sampai hari ini sikap keluarga si pengantin pria jauh lebih baik dari apa yang ditayangkan televisi. Keluarga Gourse bahkan lebih ramah dari keluarga pihak ayah kandungnya.
Helena tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk sambil bersandar pada salah satu kursi. Wajahnya pucat. Rambutnya berantakan. Bajunya lecak, dan ada sobekan kecil di ujung lengannya. Namun, kekacauan itu tidak mengurangi kecantikan Helena sama sekali. Matanya yang hijau masih seterang biasanya. Hanya, pinggirannya sedikit merah. Dan kelopak bawahnya menggelap. Helena kelelahan. Helena kurang tidur. Helena dari mana? Pikir Octava.
"Apa kamu baik-baik?" Octava memastikan kalau baik-baik bukan hanya perasaannya saja.
"Tentu, Octava. Aku hanya butuh tidur." Helena menempelkan tangan di keningnya. Ia diam. Kemudian beranjak. "Sampai jumpa nanti, omong-omong." Lalu Helena menjauh, menuju tangga lantai dua. Tempat semua kamar berderet. Kecuali kamar orang tua mereka.
"Hei..." Helena ingat sesuatu. Octava menoleh lagi.
"Apa kamu sudah memilih kamarmu?"
"Ya..." Octava menjawab ragu.
"Yang mana?" suara Helena melemah.
Octava mengangkat bahunya. "Yang memiliki balkon... Kalau kamu tak keberatan."
Helena langsung mengerti. "Oh, aku tak keberatan. Tenang saja." Ia melambai lalu menghilang di tangga.
Octava langsung menyumpal mulutnya dengan gigitan terakhir roti yang masih hangat. Ia legakan nafasnya, juga semua saraf di tubuhnya. Ia masih belum bisa bersikap biasa pada isi rumah ini. Ia bahkan tidak pernah terbiasa bicara dengan ibunya sendiri. Juga mendiang ayahnya. Ia gadis yang canggung. Tertutup. Gadis itu tidak ingin benar-benar merasa nyaman di mana pun. Ia khawatir akan menjadi ceroboh dan menyebabkan masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Microscopic Lust GXG (END)
عاطفية18+ "Cinta segitiga itu tidak ada, Santi. Yang ada hanya rasa angkuh untuk membagi!" -Octava Gourse- Octava adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Pernikahan kedua sang ibu dengan seorang miliader bernama Gourse membuat gadis itu harus tinggal serum...