Kalau bukan penduduk asli sana, pastilah mereka menganggap sinar yang bergerak-gerak bias di wajah Octava adalah salah satu dari sosok hantu yang berkeliaran pada jam segini. Octava tentu masih hidup. Ia bukannya mahluk astral atau partikel hologram dari dimensi lain. Ia hanya sedang terburu-buru. Octava berjalan menjauh dari rumah seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun bernama Ursula.
Di jalanan yang kurang penerangan, Octava sibuk mengutak-atik ponselnya. Paham tak akan tersesat untuk yang kedua kalinya. Perempuan itu lebih khawatir pingsan karena jantungnya yang gemerutuk atau paru-parunya yang kembang kempis terlalu cepat. Banyaknya oksigen yang dihirup Octava membuat keseimbangannya terganggu. Secara teori mungkin Octava sedang berebut udara dengan pohon-pohon yang tumbuh lebat di sekitar jalan sepi itu.
"Tony. Tony." Octava mencari. Sesekali matanya awas pada jalan tempat dia melangkah. Kemudian ia kembali pada layar ponsel. Jarinya menekan tombol menu menuju tampilan awal. Ia merasa ragu.
Kalau Octava menelepon pacarnya sekarang, Tony akan banyak bertanya. Terlalu banyak. Lelaki itu begitu menyukai Octava sejak awal. Sehingga apabila Tony mampu, ia tak akan keberatan menemani Octava melompat dari sebuah jurang tinggi. Asal bisa berdua saja.
Meski belum bicara soal masa depan, Octava sering kali dengan sengaja mengulur waktu, atau mengalihkan topik. Apabila obrolan ngalur ngidul mereka mulai menuju pembicaraan soal rumah, orang tua, pertunangan dan sebagainya.
Tidak mudah mengakui bahwa hubungan ranjang kadang bisa jadi sebuah tembok besar yang memisahkan antara kebersamaan dua insan dan masa depan.
Di tengah pikiran itu, sebuah nomor yang tak dikenali Octava menelepon. Bunyi dering membuat perempuan itu terlonjak di tengah kegelapan yang semakin ngeri.
"Ha-lo," jawab Octava ragu.
"Di mana kamu?" tanya si penelepon.
"Helena?" Octava yakin mengenali suara itu.
"Oh, kamu tidak menyimpan nomorku? Ah, kejamnya," sahut Helena.
Octava kurang pandai mendeteksi ekspresi kalau tidak melihat langsung bagaimana Helena memainkan bibirnya. Ah, bibirnya!
"Maaf... Aku tidak berani menanyakan nomormu kemarin." Octava tidak melanjutkan. Ia tak mungkin mengatakan pada calon kakak tirinya kalau alasannya adalah karena sifat Helena yang tiba-tiba galak dan tiba-tiba baik.
"Aku hanya bercanda. Kamu di mana, Octava? Aku butuh bantuanmu. Akan kujemput di mana pun kamu sekarang." Helena mengucapkan setiap kata semakin cepat.
"Helena, tak usah. Aku akan segera sampai rumah. Sebentar lagi," kata Octava ketika sudah melihat bias lampu jalan raya dari tempatnya.
Lalu pembicaraan mereka berakhir di sana. Octava akhirnya menyewa taksi untuk mengantarnya pulang. Dan membayar dua puluh kali lipat dari biaya bus hanya untuk sampai lebih cepat.
Sempat ia bertanya-tanya mengapa ia terkesan terlalu bersemangat sekarang? Ketika sudah menginjakkan kaki di depan gerbang rumah keluarga Gourse. Octava menarik nafas sekali lagi. Tersadar, kalau mungkin tindakannya terlalu berlebihan. Atau, ia hanya merasa cocok dengan Helena. Bukan hal yang mustahil, siapa yang tidak?
Di ruang makan semua penghuni rumah sedang duduk sambil mengobrol. Bau makanan, suara sendok dan piring terdengar sampai ruang tamu.
"Sore semuanya..." Octava mendekat. Menaruh tasnya di bawah kursi dan duduk dekat ibunya. Di seberang Helena.
"Dari mana saja?" tanya Amanda mulai sok perduli. Sebab calon suaminya sedang di sana. Ia ingin terlihat sebagai seorang ibu yang penuh perhatian. Biasanya juga ia bersikap tak acuh kalau Octava menginap di rumah teman.
![](https://img.wattpad.com/cover/356487263-288-k839067.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Microscopic Lust GXG (END)
Romantizm18+ "Cinta segitiga itu tidak ada, Santi. Yang ada hanya rasa angkuh untuk membagi!" -Octava Gourse- Octava adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Pernikahan kedua sang ibu dengan seorang miliader bernama Gourse membuat gadis itu harus tinggal serum...