10

256 21 0
                                        

Octava bersyukur karena dosen mata kuliahnya datang berbarengan dengannya. Octava mengangguk penuh hormat agar terlihat lebih sopan saat mendahului dosen berambut tipis tersebut. Ia menyelipkan diri di pintu dan memilih tempat duduk secara acak. Yang mana saja, yang penting dekat pintu keluar atau jendela. Ketika sampai, Octava berusaha memusatkan pikirannya. Ia taruh tas selempangnya, ia keluarkan materi mata kuliah serta tugas-tugasnya. Ia mempersiapkan diri agar tidak melamun lagi.

Karena jangan sampai ia tidak lulus di mata kuliah ini. Mata kuliah seminar adalah jalan terang menuju skripsi. Apabila Octava dapat melewati mata kuliah ini dengan mulus, maka skripsi seharusnya sudah menyambutnya semester depan. Tentu saja, bila mata kuliah Apresiasi Sastra bisa ia taklukkan juga.

Satu jam kuliah pertama Octava dapat menyerap semua ilmu yang sedang disajikan di depan kelas. Ia menghela nafas panjang, sambil menghibur diri Octava menoleh ke luar.

Di sana, di teras depan gedung fakultas, Ursula melangkah memasuki gedung. Dengan pakaiannya yang selalu modis dan sepatu bertumit tingginya yang berbunyi nyaring dan tampak mahal. Rambut palsunya berkibaran karena angin yang membawa hasil fotosintesis, dari pohon beringin besar yang menaungi pelataran depan gedung. Octava tidak bisa menoleh arah lain, Octava tidak bisa memalingkan matanya, atau menutup telinganya dari keberadaan Ursula.

Kemudian, seorang mahasiswa mendatanginya. Ursula berhenti dan dengan naluriah membuat pose yang segar dipandang mata. Ia menyapa mahasiswa tersebut dan mengobrolkan sesuatu.

Octava semakin tidak bisa beranjak dari sosoknya. Sebentarnya, Ursula yang merasa sedang diawasi menatap balik pada Octava. Mata Ursula menyipit, bibirnya mengumbar senyum yang tajam, yang sinis, yang membuat jantung Octava merasa gugup.

Octava menegakkan badannya, tanpa ia tahu telapak tangannya meremat ujung-ujung kemeja merahnya. Gadis itu tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Kekuatan apa yang sedang menyelimutinya. Octava melihat Ursula membuka kancing pakaiannya satu per satu. Ia melepaskan wig kriting itu dari kepalanya sehingga rambut gimbalnya yang selalu wangi vanila itu bergelayutan bebas.

Octava melihat pakaian dalam Ursula yang berwarna hitam, menopang dua gundukan berbentuk mangkok yang kenyal dan bersih. Ranum. Octava membayangkan bagaimana rasanya ada di sana, ketika jari-jarinya menyentuh puding kenyal itu. Bagaimana rasanya, kalau wajahnya bersandar pada bantalan empuk itu? Octava membuka mulutnya seolah dia adalah seekor hiena yang sedang menunggu kesempatan mengulik mangsa.

"Octava!" teriakan itu membuat Octava langsung berdiri. Kursinya terlempar ke belakang, juga buku-bukunya jadi tercecer ke bawah. Sesaat Octava belum bisa menakar apa yang terjadi di sekitarnya.

Yang ia tahu, nafasnya nampak tergesa-gesa. Yang ia tahu semua mata teman sekelasnya sedang menelanjanginya. Yang Octava tahu, ia sedang dalam masalah besar.

"Apa yang Saudara lakukan di sana?" tanya dosen berambut tipis itu pada Octava.

"Saya, Pak?" tanya Octava balik.

"Iya. Saudara sedang apa? Kenapa saudara panik begitu?" tanya dosen itu bingung.

"Miss Ursula, Pak," jawab Octava.

"Kenapa dengan Miss Ursula?"

Octava menoleh lagi ke luar jendela. Ursula masih mengobrol dengan mahasiswanya. Tidak ada yang membuka kemeja. Semuanya normal. Kerusakan itu terjadi di dalam otaknya sendiri.

"Tidak ada, Pak. Miss Ursula baik-baik saja," jawab Octava. Kemudian ia duduk kembali. Ia punguti kursi dan buku-bukunya.

"Baik. Kalau begitu, Saudara jawab soal yang tadi saya tanyakan." Dosen tersebut mengulurkan spidol pada mahasiswinya itu. Ternyata masalah besarnya belum selesai.

2. Microscopic Lust GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang