4

262 17 0
                                    

Octava dan Ursula turun dari mobil. Mereka berjalan beberapa langkah sampai di teras. Di sana, Ursula mempersilahkan mahasiswinya untuk duduk.

"Kamu ingin minum teh? Atau kopi?" tanya Ursula.

"Tak perlu repot-repot, Miss Ursula," jawab Octava cepat. Ia terbiasa menolak basa-basi dengan basa-basi. Begitulah yang terjadi selama ini. Padahal tenggorokan Octava terasa kering sekali.

Miss Ursula memandang mahasiswinya dari ujung kepala sampai kaki. Kemudian ia berkacak pinggang. "Aku menyuruhmu memilih, bukan menolak. Karena apa pun yang kamu katakan, aku akan tetap bikin kopi. Nah, apa kamu mau kubuatkan sekalian?"

Ursula tak butuh memaksa. Tentu tamunya akan minum apa pun yang ia sajikan. Dan benar, Octava langsung mengangguk. Ursula tersenyum puas dan segera membuka kunci pintu rumahnya dan masuk ke dalam.

Rumah Miss Ursula tidak seberapa luasnya jika dibandingkan dengan rumah keluarga Gourse apalagi rumah keluarga Telaga. Dibanding keduanya, rumah Ursula jadi terkesan mungil. Yang mendominasi adalah kebun bunga. Setengah dari bangunan tersebut terdiri dari sususan batu bata yang dihaluskan dan kayu kelapa. Kesannya lebih hangat dengan pendar lampu kekuningan.

Di sekitarnya, pemandangan tampak lebih gelap. Octava melirik jam tangannya. Sudah pukul tujuh malam. Setidaknya dia dan Miss Ursula punya waktu dua jam untuk berdiskusi. Sebelum Octava pamit pulang dan mengejar bus terakhir. Mungkin lain kali ia akan minta ijin pada Ursula agar tidak mengundangnya diskusi terlalu malam. Octava tidak terlalu nyaman berada di antah berantah pada jam-jam malam begini.

"Hei, Telaga. Kopi sudah menunggu di atas, masuklah!" Kepala Ursula menengok dari celah pintu. Octava menoleh, lalu bangkit dari duduknya. Ia otomatis membungkukkan badan ketika masuk ke dalam rumah dosennya.

"Tak usah sungkan! Ini bukan jam kampus. Dan aku hanya manusia biasa kalau tidak di lingkungan kampus. Naiklah lewat tangga ini. Aku akan mengikuti di belakangmu." Ursula bersikap biasa pada Octava. Nyaris terlalu bersahabat.

Jauh berbeda dengan sikapnya yang kaku ketika mengajar di kampus. Ia bahkan tak berapi-api seperti setiap kali berorasi di depan kelas.

Ursula mempersilahkan Octava untuk duduk di balkoni lantai dua rumahnya. "Kedua kopi ini sama takarannya. Jadi kalau kamu mau meminumnya, silahkan saja," kata Ursula sambil meletakkan kopi buatannya.

Octava mengangguk. Ia duduk dengan kaku. Dua tangan ia taruh di atas pangkuannya. Ia ingin basa-basi. Tapi gadis itu tidak tahu apa yang layak ia bicarakan dengan dosennya yang sudah dua kali tidak meluluskannya itu. Ia juga ingin tanya alasan Ursula tidak meluluskannya. Tapi Octava merasa itu tidak sopan. Octava takut Ursula akan menganggap mahasiswanya meragukan kemampuannya dalam menilai.

Hening lama, Ursula mengangkat cangkir kopinya. Ia memandang jauh ke depan rumah. Dari lantai dua mereka bisa melihat lampu-lampu kuning dan putih dari desa tetangga. Juga sawah-sawah yang berkilau karena gutasi yang terpapar sinar bulan. Satu garis horisontal, lalu titik-titik putih dan awan.

"Jadi, apa kamu penasaran dengan bau rambutku?" tanya Ursula tiba-tiba. Cangkir kopi masih di depan mulutnya. Ursula menyisip cairan hitam pekat itu sekali lagi sebelum menaruhnya kembali di atas meja.

Octava menoleh pada dosennya. Ia tak berani menjawab. Apa ini sebuah tes? Atau Ursula memang ingin pamer soal model rambutnya? Octava tak berani mengambil keputusan. Ia pura-pura minum kopi. "Terimakasih atas kopinya, Miss Ursula." Lalu Octava menyisip kopinya.

"Coba cium aromanya! Kamu tak akan menyesal." Ursula mengambil beberapa juntai rambut gimbalnya yang paling panjang, lalu menyodorkannya ke depan Octava. Dan mau tak mau Octava menaruh cangkirnya. Ia meraih juntai rambut Ursula. Sambil berdoa Octava mendekatkannya pada hidung. Wangi vanila yang lembut namun kental menusuk masuk hidung gadis itu. Tahulah Octava dari mana asal bau vanila yang selama ini selalu menghantui jejak angin Ursula.

2. Microscopic Lust GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang