5

279 22 2
                                        

Sayangnya, lampu yang disediakan untuk penerangan jalan di sekitar rumah Ursula tak mampu memberikan ingatan yang cukup jelas untuk Octava. Gadis itu berjalan cepat, berbelok di setiap tikungan sambil berdoa dalam hati. Agar ia tak sampai tersesat, agar tak ada orang jahat. Dan supaya apa yang barusan dilihatnya di rumah Ursula, bisa segera ia lupakan.

Rumah Miss Ursula memang kelihatan bersahabat dari luar. Penerangannya menarik, kayu-kayu yang kokoh memberikan suasana yang aman. Semua yang bisa dilihat oleh mata, membuat betah. Namun, Octava mungkin sudah salah menduga tentang dosennya itu.

Pada saat Octava beranjak dari balkon, dengan lancang ia mengitari ruang dan mencari keberadaan Ursula. Sudah sejam lebih ia ditelantarkan sendiri tanpa pesan yang jelas. Akhirnya, Octava tak sengaja mengintip ke dalam satu-satunya kamar di lantai atas. Memang, waktu itu pintunya tak sepenuhnya tertutup. Rasa penasaran langsung menguasai Octava, seperti dirasuki hantu Nancy Drew, Octava mengintip ke dalamnya.

Manekin. Kamar itu penuh manekin! Tak semuanya telanjang, namun yang berpakaian malah membuat gadis itu merinding. Sempat terpikir, barangkali Ursula memiliki bisnis lain di luar pekerjaan utamanya sebagai dosen. Menjual pakaian misalnya. Kostum mungkin lebih tepatnya. Atau, entah-

Satu manekin memakai kostum petugas keamanan. Satunya mengenakan lingerie. Yang lain mengenakan baju renang. Malah ada yang seperti seorang perawat. Semua lengkap dengan wig menutupi kepala. Warnanya beraneka dan modelnya luar biasa banyak. Ada wig yang lurus sebahu, ada yang keriting benang kusut, ada yang ikal sepinggang. Ada yang mirip model rambut Beyonde, penyanyi terkenal itu. Yang aneh pula, topeng-topeng beraneka wajah berjajar rapi di salah satu sisi dinding. Semuanya diletakkan dengan sangat rapi, di sana.

Di tengah-tengah kamar ada sebuah tempat tidur ukuran besar. Seprainya warna merah darah. Apa iya, dosennya tidur dengan pemandangan menakutkan begitu?

Octava sempat menampari dirinya sendiri agar rasa ingin tahu tidak membiusnya lebih lama lagi. Namun kaki-kakinya yang lancang tak bisa ia hentikan. Kurang dari dua detik Octava menemukan dirinya sudah berdiri di dalam ruangan itu. Dan sedang membuka-buka laci dan lemari.

Lalu benda-benda aneh itu! Baru pertama kali dalam hidupnya gadis itu melihat koleksi 'mainan dewasa' selengkap dan sebanyak itu. Ada yang panjang, pendek, besar dan kecil. Ada yang kecil panjang, besar panjang. Ada yang pendek besar, pendek kecil. Ada yang sejengkal, yang lebih panjang ada, juga yang lebih pendek. Ada yang bergerigi, ada yang polos, ada yang hiper realis, dikhitan dan tidak. Pokoknya banyak, luar biasa banyak.

Bukan cuma itu, dalam laci yang lain, Octava menemukan perlengkapan tambahan. Ada borgol, ada pecut kuda, ada yang dari kulit, ada yang dari tali berujung bulu ayam. Ada bola-bola, ada ikat leher.

Dari mana juga aku yakin yang mana berfungsi untuk apa? Octava menegur dirinya sendiri. Ini koleksi atau toko?

Tahu bahwa dosennya mungkin punya kelainan atau penyimpangan, Octava segera keluar dari kamar itu.

Dan di sinilah ia sekarang. Kabur juga bukan ide bagus. Karena dia membutuhkan nilai dari Ursula. Dan esok lusa ia harus kembali ke rumah itu lagi! Apa bisa Octava berpura-pura bodoh dan tak tahu apa-apa? Apa bisa ia pasang wajah datar seperti pemain kartu poker?

Octava merasa terancam, meski Ursula tidak mengganggunya atau merayunya. Ursula tidak mencoba mengambil kesempatan dari Octava. Mungkin Ursula tahu apa yang ia lakukan. Tentu saja, Ursula sudah dewasa.

Dan yang paling penting, Octava harus berhenti perduli pada kehidupan pribadi orang lain.

Sekarang, gadis itu harus fokus pada kegelapan malam yang sedang menerornya. Di depannya. Keringat membuat baju kemeja Octava rekat di kulit punggung. Perasaan yang aneh menjalar ke tengkuknya buru-buru. Di depannya sebuah pertigaan yang tak ia kenali menghadang. Oh, Tuhan! Ia tersesat sekarang.

Octava memaki dirinya sendiri. Seharusnya ia tak masuk ke sana. Ke ruangan itu. Lagi pula Ursula tak menyakitinya sama sekali. Hanya mungkin telepon tadi sangat penting. Sehingga dosennya itu tak sadar sudah meninggalkan seorang mahasiswi di balkon rumahnya selama sejam tanpa pemberitahuan. Lain kali, Octava tak akan menolak tawaran Ursula untuk mengantarnya pulang. Karena bukan hanya hantu yang ia takutkan, tapi kadang manusia bisa lebih mengerikan dari setan mana pun.

Suasana di sekitarnya semakin lama semakin pekat. Dari jauh Octava melihat dua bulatan lampu yang meliuk pendek dari ujung jalan di sebelah kirinya. Ia berdoa, semoga ini bukan sebuah adegan dalam film Riverdale. Atau serial thriller yang lain.

Jantung Octava berdetak semakin kencang ketika mobil itu mendekat-melambat. Lalu berhenti tepat di hadapan gadis itu. Pelan dan pasti kaca pintunya terbuka mulus.

"Octava," panggil seorang gadis dari dalam lubang gelap mobil.

Octava merasa bingung sekaligus lega. Ia menundukkan kepalanya. Ia menyipitkan mata agar bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan di dalam sana.

Pada saat yang sama, Helena menyalakan lampu interior. "Apa yang kamu lakukan di sini semalam ini? Masuklah!"

Octava meraba-raba pintu mobil itu, kemudian masuk ke dalamnya setelah pintu terbuka.

"Mau ke mana kamu?" tanya Helena pada calon saudara tirinya itu.

"Aku mau pulang. Ke rumah ayahmu." Octava menjawab malu-malu. Kejadian tadi siang terulang lagi dalam kepalanya. Ia merasa takut pada Helena. Helena yang tadi siang. Karena Helena yang sekarang sedang berusaha menyelamatkannya dari rasa takut.

Tanpa menjawab lagi, Helena memutar kemudinya ke kanan. Ia mundur, kemudian dengan sudut yang tepat mobilnya sudah berada di sisi lain jalan. Mereka menyusuri jalan, kembali ke rumah keluarga Gourse.

Keringat yang tadinya membuat basah kulit sudah menguap. Meninggalkan sensasi dingin yang nyaman di seluruh tubuh Octava.

"Terimakasih," kata Octava sambil menggosok lehernya yang dingin dengan telapak tangannya.

"Lain kali, kamu boleh pinjam mobil ayahku. Ia tak akan keberatan. Tersesat sementara kamu ada di dalam mobil lebih aman dari pada berjalan kaki. Sepertinya kamu tidak begitu hapal pada daerah sini." Helena tak menoleh sama sekali. Matanya begitu awas pada keadaan sekitar. Satu belokan lagi, Octava melihat halte bus yang sama ketika Ursula menjemputnya.

Helena menoleh sebentar pada halte bus itu. "Bus terakhir jam delapan malam. Kalau pun tadi kamu sampai di sana, kamu tidak akan ketemu bus yang mangkal. Kamu akan tidur semalaman di sana."

Octava mengangguk. Masih sempat bertanya dalam hati, bagaimana mungkin Helena berada di jalan yang sama dengan Octava semalam ini? Tapi tentu, itu bukan urusannya.

"Apa aku mengganggu urusanmu?" tanya Octava polos. Setelah bermenit-menit lewat, ia baru berani bicara.

Helena mendengar penyesalan dalam pertanyaan Octava. "Tidak terduga memang. Tapi bukan masalah besar. Aku bisa kembali lagi sekarang. Nah, kita sudah sampai di rumah," katanya. Helena menarik rem tangan. Ia menoleh pada Octava.

"Terimakasih." Octava merasa tidak enak. Ia juga tak ingin berbasa-basi terlalu lama, ia segera membuka pintu mobil dan keluar.

"Hei..." Helena memanggil. Membuat Octava kembali ke posisi duduknya yang semula. "Ingat pesanku tadi. Jangan sampai Ayahku tahu kamu tersesat. Dia akan bersikap gawat dan mengawalmu ke mana-mana."

"Kamu tak ikut masuk?" Octava sempat mengira kalau Helena akan ikut pulang dengannya.

Helena menggeleng. "Sampaikan saja salamku pada ibumu dan Pak Tua Gourse itu."

Memang agak aneh mendengar lelucon macam itu diucapkan dengan nada suara yang datar seperti milik Helena. Namun, Octava tersenyum simpul.

Helena mencium pipi kanan calon adik tirinya sebelum mereka berpisah. Bau permen karet memenuhi kepala Octava lagi.

"Oke. Keluarlah sekarang." Helena melempar senyum.

Dan Octava keluar dari mobil dengan wajah merah.

2. Microscopic Lust GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang