9

145 13 0
                                    

Begitu sampai di parkiran, Octava membuka pintu mobil Tony dan turun. Tony yang belum sempat menarik rem tangan berteriak karena panik. Ia khawatir pacarnya akan terpeleset atau keseleo jika turun sebelum mobil berhenti.

"Octava!"

Octava tidak mendengarkan Tony. Ia berjalan cepat menuju gedung fakultasnya. Otaknya penuh sampah. Segala pikiran aneh mengerubunginya seperti lalat. Begitu sumpek sampai ia sendiri tak tahu di mana letak salahnya. Ia merasa suasana hatinya berubah drastis. Ia merasa marah dan sebal. Semua hal nampak tak cocok di matanya. Bahkan pohon beringin besar yang sudah merindangi kampusnya selama lima puluh tahun itu jadi ikut salah.

Tony yang bingung mengejar Octava. Ia sudah melakukan kilas balik sebanyak empat kali selama menyetir ke kampus. Barangkali ia membuat salah pada Octava. Barangkali ia salah bicara. Barangkali Octava tahu kalau ia keluar di dalam saat mereka berhubungan. Barangkali Octava sedang dalam masa subur. Barangkali Octava belum merasa puas. Tak mungkin, siapa yang tak puas dengan pelayanan Tony? Semua yang pernah tidur dengannya memuji ketangkasannya.

Meski kakinya masih lemas, Tony berusaha mengejar pacarnya. Ia tak mau kelihatan terlalu mencolok di depan mahasiswa lain. Tony tak ingin teman-temannya berpikir kalau dia dan Octava sedang ada masalah.

"Octava, berhenti sekarang!" tegas Tony yang jadi emosi sendiri karena tingkah laku Octava.

Octava berhenti mendadak. Ia balik badan. Ia menghadapi Tony. "Ya?" suaranya lemas.

Octava tidak marah padaku, pikir Tony langsung. "Kamu kenapa? Kenapa lari begitu saja? Apa salahku?" Tony dan Octava tidak pernah punya masalah sebelumnya. Mereka pasangan yang luar biasa akur. Mereka tidak pernah berdebat sejak mulai pacaran. Mereka terlalu cocok, seolah badai besar pun tak akan memisahkan keduanya.

Octava diam saja. Ia tidak fokus. Apa yang harus ia katakan pada Tony? Karena sedetik lalu ia merasa kepalanya penuh sampah, dan detik ini ia merasa kepalanya kosong melompong.

"Octava!" panggil Tony. Kini sambil menjentik-jentikkan jari.

Octava langsung berkedip-kedip seperti orang habis kena hipnotis. "Tony, aku telat kuliah. Maaf. Aku tidak bermaksud kelihatan marah. Kamu tidak salah apa-apa. Aku hanya..." Octava menunduk. "Aku hanya butuh terbiasa dengan keadaan rumah yang baru. Yang bukan rumahku. Aku..."

Tony langsung memeluk kekasihnya. "Iya... Aku mengerti. Aku yang minta maaf. Seharusnya aku tak perlu membentakmu." Ia pegang bahu gadis itu. Ia pisahkan dirinya dari pelukan. "Ingat kalau aku selalu ada untuk mendengarkanmu, Octava. Ingat aku dan Luna selalu ada."

Luna, ya... Temanku itu. Ke mana Luna di saat aku membutuhkan seorang teman? Tanya Octava pada dirinya. "Ya, aku akan bicara dengan Luna. Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengannya. Apa kamu melihatnya?" tanya Octava.

Tony menggaruk kepalanya. "Aku tidak melihatnya. Mungkin dia sedang sibuk dengan skripsinya." Tony menjawab. Namun begitu melihat Octava mengerutkan alis, lelaki itu memutuskan untuk menjelaskan lebih detail. "Luna ambil semester cepat. Dan dia skripsi lebih awal."

"Dari mana kamu tahu, Ton? Kenapa dia tak pernah bilang apa-apa padaku?" Octava teralihkan.

Tony terbatuk, ia melihat jam tangannya. "Kamu benar-benar terlambat, Octava."

Octava ingat lagi pada kuliahnya. Ia bergegas. Sebelum pergi, ia mencium pipi Tony. "Aku akan masuk kelas." Ia menatap pada Tony yang melambai sambil kembang senyumnya.

Tidak jauh dari sana, Ursula yang kurang tidur sedang berada di dalam kantornya. Ia berdiri dekat jendela. Tangannya menggenggam gelas kopi yang kedua. Ia berusaha agar tidak tertidur pada jam kerja. Tapi susah. Ada setan yang sedang meniup-niup matanya dan membuatnya pedih. Ingin pejam terus rasanya.

Sebenarnya Ursula punya hak untuk cuti sakit. Atau cuti datang bulan yang bisa ia pakai untuk saat-saat seperti sekarang. Sayangnya, Ursula tidak suka berbohong. Biasanya ia membenci mahasiswa yang banyak alasan saat tidak mengumpulkan tugas. Dan ia tak mau menjadi satu di antara mereka. Ia memaksakan diri ke kampus. Meski pangkal pahanya masih ngilu rasanya.

Yang terjadi padanya dan Helena tadi malam memang luar biasa. Dulu ia dan Helena bercinta setiap hari. Helena gadis yang liar, libidonya tumpah ruah dan kadang membanjir di mana-mana. Helena selalu ingin dipuaskan. Ia suka bereksperimen dengan gaya baru dan benda-benda baru. Helena punya imajenasi yang tidak terbatas. Pokoknya Helena tidak hanya cantik dan menggairahkan secara fisik. Gadis itu seduktif.

Ia perayu ulung. Suaranya saja bisa membuat orang merinding. Dan Ursula beruntung karena dialah orang pertama yang dibawa Helena ke kamarnya. Ursula adalah cinta pertama Helena. Helena adalah gadis yang membuat Ursula mengenal dan menerima dirinya sendiri.

Di umurnya sekarang, kurangnya minat Ursula pada hubungan ranjang adalah wajar. Ursula sedang hobi kerja, hobi menabung, supaya bisa pensiun dini dan foya-foya di hari tua. Di sisi lain, ia juga harus meneruskan usaha Ayahnya. Ia akan memuas-muaskan diri menjadi dosen. Lalu ia akan terjun secara utuh pada bisnis Ayahnya. Ia akan mewarisi bisnis keluarganya. Sudah lama mereka mengejar-ngejar Ursula. Kakak lelakinya sudah gemas dan ingin merantai kaki Ursula yang suka mengembara.

Dan seiring berjalannya waktu, Helena mulai mengerti itu. Helena belajar menahan diri. Ia mempelajari situasi. Ia menjadi sabar. Dan, kesabaran menjadikan darahnya yang panas mendingin. Juga hubungan keduanya. Kalau bukan karena keduanya saling mencintai dan menjaga diri, mereka pasti sudah pisah dari dulu. Helena mungkin sudah menikah dengan CEO kaya seperti dalam novel-novel remaja. Dan Ursula akan jadi perawan tua. Ia akan cepat keriput karena tak punya lawan 'bermain'.

Ia dan Helena sendiri sudah kenal cukup lama, pacaran cukup lama. Ursula tentu ingin memamerkan Helena di depan umum. Ia bosan sembunyi-sembunyi. Ursula ingin menunjukkan dirinya yang sebenarnya di depan orang lain. Ursula ingin semua orang melihat pacarnya yang cantik, tinggi, bermata hijau—putri tunggal Gourse. Ya, kalau bisa sesederhana itu, pasti sudah ia lakukan sejak dulu. Di tengah lamunannya, sang dosen jadi merindukan pacarnya. Ia mengambil ponselnya, kemudian menelepon Helena.

"Oh, Ursula..." Helena mengangkat teleponnya. Suaranya lemas. Baru saja ia akan terlelap dan Ursula meneleponnya.

"Aku sudah merindukanmu," bisik Ursula matanya lurus memandang ke gedung fakultas.

"Sudah rindu? Kita baru saja bertemu, Sayang. Apa kamu tidak mengantuk? Karena aku baru saja bisa tidur." Helena mulai tak jelas ucapannya. Tapi, ia juga tak ingin mengusir Ursula. Jarang-jarang Ursula menggunakan ponselnya ketika ia sedang ada di kampus.

"Apa kamu mau mencoba hal baru?" tanya Ursula dengan nada suara yang merayu. Lembut dan menggoda.

"Kamu sedang di mana?" Helena hilang kantuknya, ini berita baru. Seorang Ursula merayunya—kalau benar sang dosen sedang ada di kampus.

"Aku sedang di ruanganku. Di kampus. Aku ingin kita, aku dengan bantuanmu mencoba hal yang baru," aku Ursula.

"Kamu ingin... menyentuh dirimu sendiri di ruanganmu?"

"Ya, aku ingin bercinta via telepon," bisik Ursula.

"Kamu ingin aku menyalakan video?" tanya Helena karena ia mau melakukannya. Asal Ursula yang meminta.

"Tidak. Tidak usah. Suaramu saja sudah cukup."

"Baiklah. Aku akan melakukannya. Tapi... Ursula..."

"Hm?"

"Apa yang harus aku lakukan? Apa yang kamu ingin aku lakukan?" Helena mengusap wajahnya. Ia menyibak kain yukata yang menutupi kakinya. Ia membasahi jari telunjuknya dan meluncur ke bagian inti.

Sesaat hanya nafas Ursula yang terdengar di telepon. "Aku, ingin menarikmu ke dalam ruanganku. Aku ingin merobek kemeja merahmu. Aku ingin melucuti rok hitam yang kamu pakai." Ursula berusaha berdiri tegak agar tak ada yang curiga kalau satu tangannya sudah terselip dalam celana kainnya. "Tapi, aku akan membiarkan rambutmu terpusung berantakan. Seperti kemarin," bisik Ursula sambil mamandang pada mahasiswi yang sedang berjalan cepat menuju ke dalam fakultasnya. Mahasiswinya yang sudah tidak ia luluskan dua kali itu.

2. Microscopic Lust GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang