4

271 13 0
                                    

4

Rumah itu punya halaman yang cukup asri dan bersih. Tidak luas. Tapi berlantai dua.

Usai memarkir mobil di halaman yang beralas paving, tiga perempuan itu turun. Diandra tampak canggung. Ia sengaja berlama-lama. Kedua tangannya ia sangkutkan di kantong belakang celana cargonya.

Maya—perempuan berkulit pucat dengan perut yang besar itu mendekati Diandra dan mempersilahkannya masuk. Sikapnya lebih ramah dari sebelumnya. Diandra menangkap gelagat penuh kebanggaan dari sang tuan rumah yang berbaik hati ingin memberikan tur singkat tentang rumah mereka.

"Maklumi rumah kami yang sederhana. Mari, masuklah!" Ia mengajak Diandra.

Sementara, Alesia punya kebiasaan membersihkan mobil setiap kali mereka kembali dari mana pun. Ia menyemprotkan cairan sanitizer beraroma sereh ke seluruh interior mobil, nampak sangat terkonsentrasi pada bakteri atau virus yang mungkin terbawa dan akan berkembang biak di dalam mobil—mengingat Maya sedang hamil.

Maya benar-benar mengajak Diandra berkeliling. Menunjukkan tiga buah kamar mandi masing-masing di letakkan pada dua kamar tidur, satu lagi sebelah ruang tamu. Dapur disekat dengan kayu-kayu balok. Tidak banyak perabot mencolok. Semuanya diletakkan di tempat yang tepat. Minimalis, dan nampak sangat diperhitungkan dengan baik. Sederhana dan apik.

Maya menjelaskan semua hal seolah tanpa kenal lelah. Dan sikapnya membuat Diandra semakin merasa tak enak. Ia menyentuh lengan Maya agar berhenti bicara.

"Aku hanya bermalam di sini. Esok aku akan segera pergi. Kamu tidak usah menjelaskan terlalu detail. Aku tidak mungkin tersesat di sini," ujar Diandra dengan lembut. Penuh rasa hormat dan santun.

Maya menggeleng. "Kamu tamu di sini. Dan aku tidak kenal kamu. Jadi... Kupikir kamu harus tahu kalau kami hidup sederhana dan tidak punya terlalu banyak barang berharga."

Diandra mengerutkan kening dan berusaha mengerti apa maksud perkataan Maya. Alesia yang ternyata mendengar percakapan mereka menginterupsi kebingungan Diandra.

"Maya tidak bermaksud menuduhmu yang aneh-aneh. Dia memang jarang memikirkan perasaan orang lain sebelum bicara, Diandra. Dia hanya mencari alasan untuk membanggakan rumah ini."

"Oh..." Diandra bernafas lega ketika Alesia menenangkannya. "Aku pikir kalian curiga padaku."

"Oh! Tidak. Maya memang senang membanggakan rumah kami. Di rumah ini tidak ada perabotan yang menumpuk seperti rumah lain. Aku seorang seniman. Dan Maya sangat bangga soal itu." Alesia menggigit bibirnya. "Aku mendisain semuanya. Dan Maya senang dengan itu. Dia selalu berusaha membuat tamu-tamu kami ikut bangga pada kerja kerasku. Uh... Kami melewati banyak hal sampai rumah ini ada. Banyak sekali."

"Aku bisa melihatnya." Diandra melihat wajah Maya yang kini menunjukkan senyum lebar. "Kalian pandai merawat rumah," tambahnya.

Lalu Maya menunjukkan kamar yang diperuntukan bagi Diandra.

Senja segera datang di rumah itu. Diandra sudah berdiri di balik jendela kamar tamu—yang Alesia dan Maya iklaskan untuk menaunginya, sampai ia punya tujuan. Secepatnya.

Sebagian kecil dari dirinya masih ingin kembali ke balai pelatihan Santa Carla. Bukan untuk apa-apa, ia rindu sahabatnya—Karma, juga Adriana. Diandra menahan nafasnya karena ngilu di dadanya berpendar seperti seekor kunang-kunang yang terjebak dalam toples. Begitu lembut tapi cukup menyiksa. Ia tahu, sangat jelas bahwa dirinya sudah dilupakan. Ia begitu lancang mengingat masa lalu. Ia belum memutuskan harus membenci siapa sekarang ini.

Sebentarnya pintu diketuk, Diandra menoleh tapi tak beranjak dari sisi jendela ketika Alesia menengokkan kepala dari ceruk pintu.

"Apa aku mengganggu lamunanmu?" tanya Alesia.

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang