1

1.6K 27 2
                                    

1

"Aku mohon Rufus, tidak sekarang! Bertahanlah!" Gadis itu berlutut tepat di sisi sebelah kanan Rufus. Tangannya gemetar dan bergerak tanpa tujuan. Ia hendak mengangkat kepala lelaki malang itu ke atas pangkuan. Tapi ia khawatir keadaan akan semakin gawat jika dia memaksa. Ia tidak tahu apa-apa soal pertolongan pertama.

Sebuah lubang kecil membentuk lingkaran dengan sisi yang tak beraturan betengger tepat di dada lelaki itu. Dalam hitungan detik sudah membentuk sebuah pulau berwarna gelap dan lembab. Gadis itu ingin berdoa demi keselamatan kekasihnya, tapi tak tahu caranya.

Setelah mengumpulkan tenaga di antara rasa sakit yang tidak wajar, lelaki itu membuka mata. Mulutnya terbuka sedikit, kulit bibirnya yang pucat dan mengering sobek.

"Cepat bawa tas itu dan enyah..." Rufus bicara yang penting saja. Ia tak melagukan cinta. Ia tidak melafalkan syair romantis atau janji untuk masa depan mereka. Sudah tak ada waktu lagi. Ia tahu sudah tak ada waktu untuk menyelamatkan diri. Hanya satu yang bisa lari. Atau mereka akan tertangkap dan akhirnya mati berdua.

"Isi tas ini tak ada gunanya kalau kamu tidak ada!" Perempuan itu mulai menangisi kekasihnya. Kini bukan hanya bulir air mata. Ia sesenggukan. Punggungnya naik turun karena debar ngeri dan sakit hati. Raa takut terpisah lagi, rasa takut jika hidup seorang diri. Ia tak kenal siapa-siapa. Ia tak punya keluarga. Hanya Rufus harapannya. Dan semesta akan segera mengambilnya.

Dengan inisiatif, gadis itu mencium bibir sang lelaki. Kemudian keningnya yang berkeringat dan dingin. Tapi bukan menanggapi ciuman itu, Rufus malah menutup mata.

Ada setidaknya enam orang lain yang mulai mendekati tempat persembunyian mereka. Tidak ada hal baik yang dapat dibayangkan dari masing-masing wajah itu, apalagi belas kasih. Mereka jelas sama-sama penjahat. Sedang Rufus sudah habis nafasnya. Gadis itu segera menarik tas yang diributkannya tadi kemudian lari secepat yang ia mampu.

****Flashback ****

"Kamu sudah sadar?" Ada suara yang menyambutnya. Tapi ia tak mengenalinya.

Gadis itu memandang langit-langit di atasnya dan membayangkan bagaimana bisa ia ada di sini. Pikirannya buntu. Melompong.

"Apa kamu bisa mendengarku?"

Gadis itu diam saja. Ia takut bicara. Ia merasa bingung. Lalu ia merasa seseorang menyelipkan lengan ke belakang tengkuknya. Tubuhnya bergerak naik membentuk sudut, dalam gerak yang pelan seperti dipan hidrolik.

"Siapa namamu?" Lelaki itu muncul di depannya. Ia tersenyum. Bertanya dengan nada yang ramah. Ia tahu, mungkin bekas luka di lehernya akan membuat perempuan ini takut. Jadi ia akan bersikap lebih hangat.

"Aku menemukanmu di bawa arus sungai. Kupikir kamu tidak akan hidup. Karena terbentur batu kali, atau luka di dadamu." Lelaki itu belum akan berhenti bicara, dan si gadis sedang berusaha mengingat.

"Siapa yang menembakmu?" Matanya menyipit. Tapi bukan karena curiga. Ia merasa iba.

Diingatkan soal luka, gadis itu menyentuhkan tangannya di sana. Tepat di mana rasa ngilu itu berasal. Kemudian ia diam lagi. Alisnya mengerut, tapi tak ada jawaban. Ia tak mengingatnya.

"Siapa namamu?" tanya lelaki itu semakin lancang.

Ia menggigit bibirnya. Siapa namanya?

****

Lalu Rufus memberinya nama Dinar. Seperti bagaimana mereka menyebut kata 'uang' di masa lampau. Rufus adalah lelaki yang menyelamatkannya. Yang menjadi kekasihnya. Yang baru semenit lalu ia tinggalkan dalam keadaan mati mengenaskan di ujung gang.

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang