12

120 5 0
                                    

12

Pertengkaran itu sudah lama sekali terjadi. Di antara mereka berdua.

"Seharusnya sejak awal aku tidak datang menjemputmu di rumah dokter Karika."

"Seharusnya sejak awal, Ale... Kamu tidak muncul di hidupku." Maya menjawab semua tuduhan yang dilontarkan istrinya dengan tenang. Ia tahu, kini sudah tidak ada yang bisa dipertahankan dari hubungan mereka.

Alesia bukan seorang perempuan yang terbiasa dengan komitmen. Sedang Maya, ia bahkan tak yakin mengerti tentang dirinya sendiri. Apalagi untuk mengerti orang lain. Mereka—dua perempuan dengan hidup yang berantakan. Masing-masing merasa bisa memperbaiki satu sama lain.

Tapi di dalam hati mereka sudah menyadarinya, bahwa cinta bukan sebuah bengkel. Dan hati manusia bukanlah mesin. Seharusnya, mereka berdua menyadari itu sejak awal.

Ketika Maya akhirnya tahu bahwa Alesia tidak pernah benar-benar menunggunya keluar dari panti rehabilitasi. Pasca insiden itu.

Maya Summer adalah seorang gadis yang sial. Ia diperkosa ayahnya. Ibunya menitipkannya di sebuah balai rehabilitasi kejiwaan. Dan Alesia, ia hanya seorang mahasiswi yang kerja paruh waktu sebagai seorang pelacur—

Ketika Alesia tahu bahwa Maya jatuh hati pada dokter Karika—satu-satunya orang dalam balai rehabilitasi yang menganggapnya tidak gila dan memperlakukannya sebagai manusia yang tidak butuh dikasihani, Alesia merasa tak rela. Ia memupuk rasa serakahnya dan menumbuhkan keinginan untuk merebut Maya dan menyambung cinta mereka yang telah kandas.

Tapi mengapa Alesia menjemputnya? Mengapa ia muncul dan mengambilnya dari sisi Karika kalau sudah tak benar-benar menginginkannya?

Dan mengapa Maya tidak membalas cinta Karika dan memilih hidup bersama perempuan yang tidak mencintainya lagi? Benarkah semua soal perasaan, atau harga diri?

Mereka berdiri di sebuah jembatan yang sebentar lagi putus ketika Yovanes muncul di sana. Lelaki polos itu menawarkan ikatan bagi mereka. Barangkali seorang anak adalah jawaban dari kerisauan mereka.

Namun Maya, ia tak menginginkannya namun ia tak tahu harus ke mana. Ia ingin mencari Karika, tapi terlalu takut bertanya pada Yovanes.

Karika seorang dokter. Ia perempuan yang terhormat. Ia pasti tak membutuhkan seorang pesakitan macam Maya. Di masa depan, rasa kasihan akan menjadi fondasi hubungan mereka—Maya khawatir.

Suatu malam ketika ia tidak tahan lagi pada Alesia, ia memutuskan mencari perempuan itu. Ia mencari Karika.

Karika, ia sudah tidak di sana. Ia tidak tinggal di rumah itu, tidak bertugas di panti rehabilitasi yang sama. Maya pulang dengan tangan hampa. Di sanalah semuanya bermula. Ia menyetujui kehadiran anak itu.

Alesia menerima bantuan Yovanes akhirnya. Karena hubungannya dengan Maya jauh dari kata diperbaiki apalagi dibangun kembali. Dan Maya, ia sudah tidak perduli.

Atas nama cinta Alesia menitipkan bayi itu dalam perut Maya. Alesia tak bisa jadi ibu, rahimnya terlalu lemah untuk membawa kehidupan lain. Atas nama masa lalu Maya setuju. Hingga bayi itu lahir, ia akan terbebas. Lagi pula, apa yang perlu ia lakukan dalam hidupnya? Bisa dibilang ia sedang tak punya tujuan. Ia masih muda, tapi ia putus asa. Seorang ibu tidak bisa mengajarinya, seorang ayah tak bisa menjaganya. Ia merasa sendiri, meski ia punya rumah untuknya sendiri. Kalau ia butuh privasi. Sayang, Maya tak suka merasa kesepian.

Lalu, Yovanes mati terbunuh. Sebuah peluru menembus kepalanya malam itu. Tak ada polisi yang bisa menemukan pelakunya—mungkin terkesan menyembunyikannya. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengurus kematiannya itu.

Yovanes orang kaya, ia bisa membuat geger dunia, juga membungkam media. Begitu pemakaman selesai, maka namanya tak pernah ada. Ia dikuburkan di pemakaman pribadi karena ia memiliki nama belakang dari keluarga Draw. Alesia yang masih bersetatus istri orang, tak bisa berziarah ke sana. Dan Maya yang selalu jadi sasaran kemarahannya.

Kini Alesia, Maya dan anak lelaki dalam perutnya. Mereka harus lebih sabar menunggu. Hingga bayi itu keluar, Alesia berencana segera meninggalkan kota. Begitu bayi itu lahir, Maya ingin membawanya kabur segera.

***

"Semula kami berpikir cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu." Alesia memijat keningnya. Sejak kematian Yovanes, rasanya semua hal jadi semakin sulit untuknya. Meski ia berusaha menyabarkan dirinya, tinggal bersama Maya dilakukan demi bayi yang mereka titipkan dalam tubuh Maya.

Diandra duduk di sebelahnya. Ia datang saat pertengkaran itu terjadi. Saat Maya akan melempar sekoper penuh baju pada Alesia dan saat Alesia sudah mengangkat tangannya untuk menampar mantan kekasihnya itu.

Diandra dengan sigap menahan koper itu. Menaruhnya di lantai dan dengan cepat membekap leher Maya. Meski mungkin agak riskan dilakukan untuk perempuan yang sedang hamil, Diandra tahu tak ada cara lain membuat perempuan-perempuan yang sedang mengamuk ini untuk diam. Kecuali membuatnya pingsan. Maya dibuatnya segera tidur, sementara Alesia ia ajak duduk di ruang tamu.

"Aku tidak akan mengerti soal itu meski kamu jelaskan. Aku tidak bisa membantu, itu bukan urusanku." Diandra serius mengenai ini. Masalahnya sendiri sudah cukup memusingkan. Ia tidak ingin merasa kasihan.

"Sesekali, aku hanya butuh pendengar." Alesia menangkal. Meneguk semua minuman yang tersisa di gelas pendek itu. Awalnya hanya untuk membuatnya rileks. Tapi sampai saat ini ia sudah menuang empat kali.

"Baiklah," kata Diandra. Ia memutuskan menuang minuman itu untuk dirinya sendiri. Sejak tadi ia berusaha tidak ikut-ikutan, kini rasanya ia membutuhkan beberapa teguk.

"Lalu bagaimana denganmu?" Alesia memutuskan untuk menyingkirkan masalahnya sebentar. Toh, masalah itu tak akan ke mana-mana.

Diandra menoleh cepat, memastikan pertanyaan itu benar-benar ditujukan untuknya.

"Ceritakan soal hidupmu!"

"Hidupku tidak seseru milikmu. Kamu akan tertidur sejak paragraf pertama."

Alesia tersenyum, ia membenarkan posisi duduknya, melipat tangannya di dada dan mencondongkan badannya ke depan, dalam posisi menantang. Di sana, Alesia menatap langsung ke dalam dua buah mata yang tak sama warnanya itu. Yang selalu membuat orang seperti Alesia merasa kagum sekaligus penasaran. "Coba buktikan. Apa ceritamu bisa meninabobokan aku."

Mata mereka bertemu, sesuatu yang ajaib mendobrak masuk ke dalam tubuh Diandra. Ia menelan ludahnya sendiri, kadar oksigen dalam udara menurun seketika. Nafasnya kacau. Akhirnya ia membuka mulut, "Kita mulai dari perempuan itu."

***

Karika, ia terduduk sendiri di kamar lama Alesia dan Diandra. Sedang Adriana sudah meninggalkannya sejak lima menit yang lalu.

Kotak dari kayu jati kering itu ia letakkan di lantai. Di dalamnya belasan pisau lipat yang berjajar rapi. Tentu tidak membuat Karika kaget, ia mengenal semua pisau itu. Satu-satunya orang yang membuat Diandra boleh menyimpan senjata di kamarnya—adalah karena Karika yang memberikannya.

Meski tidak secara langsung. Setiap kali Karika mengingat Diandra, ia akan mengirimkan pisau ke San Carla. Pisau-pisau itu ia pesankan khusus untuk Diandra, ia juga menulis inisial D di setiap bilahnya dengan grafir bertinta emas. Tapi yang selalu ada di tangan Diandra, adalah pisau lipat biasa—pisau pertama yang ia berikan saat Diandra berusia delapan tahun.

Ia tentu sudah tak mengirimi Diandra pisau lagi—sejak Margot mengembalikan setiap pisau yang ia kirimkan dan ketika pikiran Karika sudah dijejali dengan kehadiran Maya. Untuk saat ini, perasaan bersalah menderanya.

Semua pisau diletakkan sesuai dengan urutannya, setelah itu foto-foto dirinya terselip juga di sana. Karika yang sedang berdiri di resepsionis balai rehabilitasi. Saat ia duduk di taman balai rehabilitasi dengan seorang perempuan—Maya.

Ternyata Diandra mengetahuinya.

"Adriana! Adriana!" Karika berteriak ketakutan. Wajahnya merah seketika, air mata menetes segera. Karika cepat-cepat bangun dari duduknya, ia berlari ke lorong, menuruni tangga.


8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang