19

144 5 0
                                    

19

Ruangannya jadi semakin gelap. Hanya cahaya yang bisa memasuki celah dari dinding kayu ruang yang mengurung perempuan itu. Mebubuhi kemalangannya dengan sinar temaram, buram.

Alesia dan Diandra terpaku sebentar, mereka berdiri di sana. Tepat di depan perempuan yang sudah tak kentara lagi bentuk wajahnya.

Bibirnya sudah sobek, dan gumpalan berwarna kecokelatan dan kering menutup lukanya sehingga darah lain tak bisa lagi mengalir. Matanya bengkak, lebam berwarna biru dengan gradasi yang asing membuat Diandra merasa tak yakin, apakah siksaan yang membuatnya tak bisa membuka—atau perempuan ini telah menangis terlalu banyak.

Alesia tidak mau membuka mulutnya, atau bersuara. Ia haus. Lapar, kedinginan. Sebentar lagi ia akan mati dan ia tak ingin menggunakan tenaganya yang masih tersisa untuk merengek minta air. Mungkin pada saat seperti ini, air tidak akan membuatnya lebih tabah akan kematian—malah akan semakin menyulitkannya.

Adriana menyodorkan sebotol air mineral pada Diandra. Ia telah menjelaskan semuanya, Diandra sudah berjanji untuk tidak bersikap gegabah. Ia tidak mau ada pembunuhan lagi di depan wajahnya. Ia merasa sudah cukup.

Dengan tangan yang gemetar, Diandra menerimanya botol air itu.

"Aku akan menunggu di luar. Kamu jangan membuang-buang waktu," kata Adriana. Diandra mengangguk sekali. Kemudian menunggu hingga Adriana menghilang di balik pintu.

Ia mendekati Alesia yang entah—sedang tidur atau sudah sekarat. Mendekatinya dan menuang air pelan-pelan ke mulut perempuan itu. Tapi Alesia—ia tak bergerak sama sekali. Dan air yang diminumkan Diandra meleleh turun dari dagunya tanpa sempat terminum.

Diandra menyibak rambut Alesia yang bergumpalan dan lengket. Setelah berlutut di depannya, ia mengambil secarik kain dari dalam jaketnya, membasahi kain itu dan melap wajah perempuan di depannya.

Setetes air jatuh dari kedua matanya yang berwarna janggal. Sebelum sampai di sini, ia telah menyiapkan beberapa permintaan maaf. Tapi ketika melihat sendiri keadaan Alesia—ia melupakan itu semua.

Alesia masih terbaca nafasnya meski begitu dalam. Denyut nadinya konstan tapi kesadaran mungkin belum sampai di sana. Beberapa kali Diandra membelai rambut Alesia. Lalu wajahnya. Diandra memerhatikan setiap detai dari luka yang terlihat. Ia tak menyangka jika hal semacam ini akan terjadi pada perempuan itu. Terlebih, saat Karma adalah orang yang menyebabkannya.

Hidung Alesia nampak bengkok, dan bekas darah membuat bunyi-bunyi aneh ketika nafas keluar masuk di lubang hidungnya.

Saat Diandra melihat tenggorokan Alesia naik turun seperti menelan sesuatu, ia segera menuang air ke dalam mulutnya lalu memindahkannya ke mulut Alesia.

Bbbir yang telah rusak itu masih begitu lembut namun rapuh. Sensasi dingin yang menggigilkan menghantam tengkuknya dan sensasi aneh menjalari tulang belakangnya. Sehingga siksaan itu seolah berpindah ke belakang rusuknya dan menusuk-nusuk dadanya.

Lalu Alesia terbatuk. Diandra segera mengangkat kepala perempuan itu. Matanya terbuka sedikit, hanya supaya dapat memastikan siapa orang yang begitu baik—memberi kelegaan dalam tenggorokannya yang hampir menempel karena kering.

"Akhirnya, kamu di sini." Alesia menarik bibirnya, bersamaan dengan rasa sakit yang ia tahan. Luka itu menyobek lagi dan darah mengalir kembali.

Diandra membalas senyum itu. Ia menciumi wajah perempuan malang itu penuh kasih.

"Diamlah, Alesia. Jangan banyak bicara."

"Aku hanya..." keluhnya. Kemudian tangis itu lagi. Yang mewakili kelegaan. "Aku merindukanmu."

"Aku tahu Alesia, aku tahu. Aku akan memikirkan cara yang baik, sehingga siksaanmu akan selesai lebih cepat." Diandra berjanji. Di tengah-tengah semua kata yang bisa ia bahasakan, ada kecupan yang tak terhitung jumlahnya. Untuk itu Diandra berterimakasih pada Tuhan karena diberi kesempatan merasakan perasaan semacam ini. Meski masih, ia tak yakin ada hubungan antara dirinya dan Tuhan sampai saat ini.

"Kalau kamu yang akan menyelesaikanku, aku akan menerimanya."

"Ssshh..."

"Kamu datang pada kami waktu itu..."

"Aku akan menjelaskannya nanti. Dan penjelasanku tidak akan membuatmu menyesal mempertahankan nafasmu."

Alesia menatapi mata itu, begitu pun Diandra. Kali ini ada yang lebih khusuk dari seorang pendoa pada Tuhannya. Adalah belas kasihan antara dua perempuan itu.

Adriana yang menunggu di luar, berjinjit agar dapat melihat kejadian itu dari lubang jendela.

Jika semua penjelasan yang ia dengar tak dapat membuat pendapatnya berubah soal mana yang lebih baik untuk apa dan siapa, maka kini yang ia lihat sudah dapat menjelaskan semuanya. Ia tak lagi butuh alasan, mengapa Karma begitu mengasihani Alesia. Ia dapat melihatnya.

Ia mengerti sekarang. Betapa semua hal di dunia bisa dipaksakan. Pembunuhan, perampokan, penindasan, pemerasan dan pemerkosaan. Perkawinan dan perceraian, penghargaan dan kemenangan. Kecuali apa yang kini disajikan semesta di depannya.

Begitu perasaannya hanyut ketika melihat Alesia, si perempuan dalam tawanan menangis. Lalu Diandra dengan sabar menenangkannya, mengusap air matanya. Membantunya minum—mengecup semua bekas luka perempuan itu bahkan tanpa satu kata dan syarat.

Adriana menunggu semenit lagi sebelum ia memaksa dirinya sendiri untuk tunduk pada waktu yang masih ada. Membuka pintu ruang gelap, dan menarik Diandra keluar dari sana.

"Beri aku beberapa menit lagi." Diandra memohon pada temannya itu. Ia merangkak ke hadapan perempuan bernama Alesia. Mencium keningnya, kemudian meyakinkannya, "Aku akan pergi, kamu tunggulah di sini," kata Diandra sambil menahan tangisnya.

Alesia tak bersuara. Juga tidak mengangguk. Ia memandangi mata Diandra tanpa berkedip, seolah itulah satu-satunya hal yang ingin ia pandangi sebelum nyawanya pergi.

Lalu Adriana—ia menarik tangan sahabatnya, membuatnya berdiri dengan tegak.

"Kamu harus pergi," ujarnya dengan tegas. Diandra ingin protes, tapi ia memilih setuju. Dalam situasi semacam ini, cara kasar pasti bisa mengakhiri semuanya dengan cepat. Namun, ia tak akan tega jika Karika harus kehilangan nyawa di tangannya sendiri.

***

Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang ketika tak ada satu pun yang bisa ia angkat dan jadikan bahan bicara. Karma sudah menceritakan semuanya. Dan Karika sudah memilih untuk dirinya.

Mobil mereka berbelok dua kali ke arah tenggara, memasuki sebuah pelataran parkir yang sesak. Ketika mobil benar-benar berhenti, Karika hendak membuka pintu mobilnya. Karma menahan tangannya dari sisi kemudi.

"Berjanjilah untuk tidak membuat kegaduhan. Bersikaplah tenang."

"Aku mengerti. Aku seorang dokter."

"Bagus. Bertindaklah seperti satu di antaranya." Karma menegaskan sekali lagi. Karika mengangguk. Mereka berdua berjalan menuju unit bersalin. Tempat Maya menjalani operasi.


8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang