21

401 15 11
                                    

21

Karika terduduk di lantai. Lututnya lemas, namun hatinya merasa lega. Diandra sudah keluar dari kamar pulih sadar dengan hati yang merana. Artinya, ia telah berpapasan dengan kematian. Ironis memang.

Sementara Alesia... Karika sudah lupa soal itu. Adriana mungkin sedang membakar bangkainya di tungku mayat balai pelatihan. Yang terpenting, sekarang tak ada lagi yang bisa mengganggu hubungannya dengan Maya.

Begitu air matanya tumpah, Karika tak bisa menahannya suara rintihannya. Ia mungkin tak akan bisa menyembunyikan perasaan bersalah ini seumur hidupnya di hadapan Karma dan Alesia. Namun ada harga yang harus ia bayar jika sungguh-sungguh ingin memperjuangkan Maya demi kebahagiaannya sendiri.

Ia sudah kehilangan Diandra, ia kehilangan anak dari Yohanes. Semuanya demi Maya. Ia akan kehilangan Karma dan Adriana. Pantaskah ia sebut itu kebahagiaan? Atau impas? Ia tahu, manusia tak bisa selalu mendapatkan semua hal yang mereka harapkan sekaligus.

Karika menunduk menghadapi lantai. Kedua tangannya bertumpu pula di sana. Bahunya naik turun, kadang tangisan itu tak terkontrol sehingga ratapannya dapat terdengar sampai alam bawah sadar Maya.

"Uh..." Maya bersuara. Ia sempat membuka mata, tapi rasa mual menghantuinya. Ia memilih untuk tidak bergerak.

Cepat-cepat Karika berdiri. Ia mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Perempuan itu menyampaikan senyum, tapi Maya tak melihatnya, gadis itu sedang bertengkar dengan rasa mualnya.

Karika menyentuh tangan perempuan di depannya. Tangan yang begitu dingin dan pucat. Segera ia mencium telapak tangan Maya, menempelkan di lehernya untuk menularkan panas akibat rasa rindunya yang sangat.

"Buka matamu Maya, lihat aku," katanya.

Pelan-pelan Maya berusaha. Ia membuka satu persatu kelopak matanya. Begitu pelan dan hati-hati. Kemudian rasa dingin muncul dan membuat tubuhnya menggigil.

"Dingin sekali di sini..." Maya mengeluh.

Dengan sigap Karika segera membenarkan posisi selimut yang sudah terbentang di sana. Ia memastikan tidak satu celah pun tersisa untuk dingin.

"Oh, kamu bukan Alesia." Maya mengintip dari celah kecil di matanya.

"Bukan, aku bukannya Alesia." Karika tersenyum, tapi pipinya basah. Sebab bukan namanya yang dirapalkan Maya sebagai yang pertama.

Maya ingin lebih cepat bisa menguasai rasa sakit yang pelan-pelan muncul. Ia meringis, ia masih berusaha membuka mata. Perempuan ini butuh tahu siapa pemilik suara itu.

"Dokter?" Maya berbisik, "Karika?"

"Iya, aku di sini." Karika merasa bahagia hinggap lagi di hatinya. Kupu-kupu itu, sejak kapan binatang menjijikkan itu beterbangan dalam perutnya? Kapan terakhir kali ia merasakannya? Kenapa ia menyukainya?

"Setahun lalu, aku sibuk mencarimu," kata Maya. Suaranya sama gemetar dengan tubuhnya.

"Aku tidak akan ke mana-mana lagi, Maya. Sekarang hanya ada aku dan kamu." Karika mencium kening perempuan itu.

"Bagaimana dengan Alesia?" Maya teringat sesuatu. "Apa dia tahu kalau aku sudah menemukanmu?"

"Ya," Karika tidak berbohong.

"Dia pasti lega. Sekarang dia tidak merasa terbebani lagi."

"Apa maksudmu, Maya?" Karika nampak bingung. Di mana letak celah kosong yang tak ia ketahui itu?

"Kami memutuskan untuk tidak bersama lagi kalau bayiku sudah lahir."

Dua ton batu jatuh di pundak Karika. Rasa berdosa mencakar-cakar punggungnya. Karika menggigil seolah dingin dari tubuh Maya sudah bertransmigrasi ke dalam pembuluh darahnya sendiri.

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang