15

134 4 0
                                    

15

Di tempat lain, di dalam kamar asrama Balai Pelatihan Khusus Perempuan Santa Carla, Diandra masih berbaring miring. Wajahnya menatap langsung pada Karika. Jaraknya tak lebih dari tiga puluh centimeter.

Ia awas pada tubuh mereka yang telanjang. Selimut membungkus mereka dari cuaca pagi yang gigil.

Di sebelahnya, Karika nampak masih berada dalam kuasa mimpi. Sejak empat menit lalu ia belum juga bangun. Kelopak matanya bergerak, ke kanan dan ke kiri, seolah sedang berada dalam petualangan luar biasa. Atau sedang bermimpi tentang sebuah pemandangan yang ia eksplorasi bersama pikiran bawah sadarnya.

Saat Diandra merasa sudah cukup memandangi wajah Karika, ia hendak bangun dan memakai bajunya. Cuaca pagi ini cukup baik untuk berjalan-jalan di sekitar balai pelatihan. Atau mungkin ikut pelatihan bersama Adriana atau Karma.

Tapi, Karika memegang tangannya tiba-tiba. Sangat erat dan membuat Diandra tak jadi bergeser. Ia bernafas pelan agar tidak membangunkan Karika.

"Aku ingin kamu bersamaku saja," gumam Karika masih dalam posisi rebah dan terpejam. Suaranya lembut dan terdengar murni, membuat Diandra tersenyum sendiri.

Semula Diandra masih belum percaya, kalau Karika benar-benar datang untuk menjemputnya semalam. Kini, Karika menariknya bahkan ketika ia masih dalam pengaruh mimpi.

"Aku tidak ke mana-mana, Karika." Diandra berbisik. Ia tak tahu apa Karika akan mendengarnya. Ia hanya merasa akan sangat berdosa jika tidak menjawabnya.

Di hadapannya, Karika tersenyum sedikit. Bola matanya tak bergerak lagi, tangan Diandra ia lepaskan. Karika berbalik ke arah yang lain sambil memeluk bantal dan menggaruk pipi.

"Terimakasih, Maya."

Diandra meragukan telinganya. Di ujung bibirnya senyum itu larut bersama udara. Tapi, ia paksakan senyum itu lagi. Ia tidak merasa marah atau kecewa. Diandra merasa malu. Atau mungkin sedih—ia tak yakin.

Di balai pelatihan Santa Carla, semua perasaan baur namanya. Semua dibedakan hanya jadi dua. Marah dan senang. Jika ia tak sedang marah, jadi senang namanya. Ia ingin berhenti berpikir.

Ia putuskan untuk benar-benar memakai baju kali ini dan keluar untuk mencari udara segar.

Karma menyusul langkahnya ketika Diandra hendak membuka pintu belakang aula. Saat itu Diandra baru saja menyalakan rokoknya. Ia bisa mendengar suara langkah kaki yang begitu cepat di belakangnya. Spontan ia menunggu, mengambil pisau lipatnya dan mencengkram tangan Karma.

"Tidak boleh merokok di aula." Karma bicara, matanya mengawasi ujung pisau lipat itu. Ia tahu Diandra akan melakukan respon semacam ini. Ia mulai terbiasa.

"Selamat pagi juga, Karma. Bagaimana tidurmu?" tanya Diandra dengan nada malas. Diandra melepas tawanannya. Sebatang rokok masih tersangkut di bibirnya. Ia menghirup dalam-dalam, kemudian melepaskannya ketika kakinya menginjak halaman belakang aula.

Diandra tahu benar ke mana ia akan berjalan, setelah menemukan sebongkah batu kali besar, ia mendudukkan diri di sana. Sementara Karma—pandangannya mengitari pohon-pohonan di sana.

"Aku tidak pernah tahu kalau tempat ini adalah salah satu dari tempat favoritmu." Karma berkomentar. Ia tahu banyak, ia hanya sedang mencari bahan pembicaraan.

Diandra tetap pada asap rokoknya. Ia tak menjawab komentar itu. Tak ada nada tanya di sana.

Melihat itu, Karma merasa harus membuang jauh-jauh basa-basinya. Ia duduk di sebelah Diandra. Kini mereka memandang ke arah yang sama.

Akhirnya, Karma memberanikan diri. "Karika tidak pernah keluar dari tempat ini. Bukankah tindakannya kemarin sangat manis? Sepertinya yang semalam itu tidak membuatmu merasa senang sama sekali, Diandra. Jelas terbaca di wajahmu."

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang