8

158 8 0
                                    

8

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menyudahi obrolan dan pergi tidur saat Maya menguap dalam kurun waktu dua kali setiap lima menit. Diandra dengan inisiatifnya sendiri, bangun dari tempatnya duduk, kemudian membungkuk untuk mengumpulkan cangkir kopi mereka yang telah kering ampasnya kembali ke atas nampan.

"Biarkan saja." Alesia mengulurkan tangan untuk menunda kegiatan Diandra. Keduanya nampak tersentak ketika kulit mereka bersentuhan. Namun, belum sedetik mereka bersikap wajar kembali.

"Uh, tak apa. Antarkan Maya ke kamar dan tidurlah." Diandra menanggapi dengan tulus. "Aku akan mencuci gelas-gelas ini dan langsung tidur."

"Biarkan ia menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri. Kalau dia menganggap dirinya tamu, dia akan membikin repot," ujar Maya.

Diandra sudah mulai memahami tabiat Maya. Dia tersenyum.

"Maya tidak bermaksud..."

"Aku paham. Santai saja..."

Tanpa bermaksud menjadikan Diandra tamu kehormatan, Alesia akhirnya menahan dirinya sendiri untuk tidak berdebat mengenai hal remeh semacam itu. Ia segera pamit bersama Maya setelah mengucapkan salam.

Setelah selesai mencuci gelas, Diandra pergi ke kamar tamu—kamar yang memang ditujukan untuknya sedari awal kalau saja ia tidak pergi untuk mencampuri urusan Karma dan Adriana malam itu.

Dari jendela kamar, ia dapat melihat cahaya lampu dari ruang tamu yang bias di atas daun-daun meredup di kebun bawah. Beberapa saat kemudian, ia tahu kalau Alesia sudah berdiri di belakangnya.

"Kukira kamu sudah tidur."

"Aku tidak tidur secepat itu."

Alesia mendekat, ia duduk di tepi tempat tidur.

Diandra menghadapi si tuan rumah. Tak memiliki ekspektasi terhadap kunjungan Alesia.

"Aku menghargai niatmu untuk mentraktir kami makan." Sebagai pembukaan Alesia mengutarakan rasa terimakasihnya.

Sesegera mungkin Diandra menjawab, "Terimakasih sudah memberiku tumpangan."

Diandra mengangguk dua kali, ia ingin mendahului Alesia sebelum sesuatu yang ia pikirkan dan tidak ia harapkan menjadi isu dalam percakapan mereka selanjutnya.

Sayangnya, Alesia nampak lebih pandai mengobservasi kejanggalan ini. "Apa yang membuatmu kembali ke sini?"

"Aku—hanya ingin membalas budi kalian. Karena kalian sudah menolongku tempo hari."

"Tapi kami yang menabrakmu."

"Tapi aku yang bersikap lalai dan membiarkan diriku tertabrak mobil kalian. Mobil itu penyok bagian depannya. Apa kamu ingin aku mengklaim asuransinya?"

"Perempuan sepertimu, mengapa?"

"Aku... Tidak begitu nyaman di tempatku sendiri. Dan aku tidak punya banyak teman di kota ini. Aku hanya kebetulan lewat dan bermaksud membalas budi. Sungguh, aku tidak punya keinginan lain."

Alesia tidak menjawab. Ia seolah terhisap ke dalam warna iris mata Diandra yang tak lazim.

"Keluargaku sudah menganggapku mati. Aku tidak mungkin kembali. Tapi, akhirnya aku kembali." Diandra melirik ke jendela, dan menemukan bahwa Karma sudah di sana. Menunggu di dalam mobil. Bagaimana mungkin ia tak mendengar suara mobilnya?

Tubuh Alesia akhirnya mengendur, kedua tangannya saling bersentuhan di atas pahanya. Ia menatap Diandra penuh dengan rasa pengertian.

"Baiklah. Sebenarnya kalau kamu mau, kamu boleh tinggal sementara, tapi—" Ia mengambil nafas dan memberanikan diri untuk menyelesaikan kalimatnya. "Yakinkan aku kalau kamu bukan orang jahat."

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang