3

309 15 0
                                    

3

Diandra bergerak-gerak gelisah. Tubuhnya mengisyaratkan rasa gugup yang kentara. Ia tak berhenti memerhatikan jarum abbocath dari infus yang masih mengalir—menancap di punggung tangannya. Kini ingatannya telah kembali. Ada banyak hal yang harus ia lakukan (meski rencananya belum punya kejelasan). Tapi, ia tahu kalau dirinya harus pergi dari sini.

"Apa kamu baik-baik? Apa ada yang sakit?" Seorang dari dua perempuan yang menabraknya bertanya. Ia berparas menawan. Diandra belum pernah melihat perempuan secantik ini di kota Purasabha sebelumnya. Tapi ia mengabaikan kekagumannya. Ia tak boleh membuang-buang waktu.

"Aku..." Diandra menggigit bibirnya. "Aku butuh bantuan." Ia berfikir sebentar sebelum melanjutkan, "Aku ada keperluan penting—sejak kalian adalah orang yang menabrakku..."

"Katakan, apa yang bisa kami lakukan untukmu?" Kini yang sedang hamil angkat bicara. Matanya kuyu. Kulitnya berwarna pucat. Meski ia terlihat layu, matanya masih menatap dengan tajam. Auranya misterius, namun Diandra tak tahu di mana letak misteriusnya. Yang ia tahu, adalah bahwa kehamilan tak membuat kecantikannya memudar. Atau mungkin sebelum hamil dia lebih cantik? Diandra tak ambil pusing.

***

"Kamu terlihat berbeda dari gadis lain," ucap perempuan itu saat menyadari bahwa gadis yang ditabraknya kini sudah berjalan tanpa limbung sama sekali. Seolah tabrakan tadi tidak pernah terjadi. Sementara ia yakin kalau mobil miliknya menabrak begitu keras sehingga tubuh si korban seperti terlipat dua di bagian depan dan membuat sedannya penyok.

Diandra hanya menoleh.

Tentu, katanya dalam hati.

Ingatan tentang bagaimana Dokter Karika menyuntikkan biovitamin dengan dosis besar ke dalam pembuluh darahnya ketika ia tertembak demi menyelamatkan nyawa sahabatnya masih berpendar jelas di dalam kepalanya. Meski setelahnya Karika meninggalkan Diandra untuk dibuang ke sungai.

Satu-satunya yang mungkin membuatnya tetap hidup sampai Rufus menemukannya dalam keadaan hilang memori—adalah biovitamin yang ternyata bekerja dengan baik dalam DNA-nya.

"Namaku Alesia," kata perempuan itu. Alisnya berdecak ketika ia mengulurkan tangan tanpa perasaan ragu pada Diandra. Mereka berjalan lebih lambat saat sampai depan lobi rumah sakit. Saat itu Alesia merasa lebih lega karena usaha menyelundupkan Diandra yang sebenarnya belum diijinkan pulang demi prosedur sudah berhasil.

"Dan, ini Maya," katanya ketika perempuan berperut buncit muncul dari pintu yang sama dua menit setelah mereka.

Diandra mengernyit, mungkin merasa ngeri pada bentuk perut Maya yang menggelembung dan nampak keras. Ia sempat membayangkan kalau kecelakaan tadi menimpa Maya, mungkin ia akan mental seperti bola karet. Atau—Diandra menahan tawa. Ia merasa geli.

"Hai..."

"Hai." Diandra menyapa seperti yang dilakukan perempuan itu.

Mereka sama-sama menoleh ke sekitar karena canggung. Sampai Alesia memutuskan untuk angkat bicara.

"Sampai di sini, apa kamu tidak keberatan jika..." Alesia kebingungan menentukan salam perpisahan.

"Ya, tentu. Pulanglah, kalian." Diandra membuang pandangannya ke arah lain. Lagi-lagi ia tak habis pikir pada kecantikan Alesia. Tidak ada yang menodongnya dengan senjata, tapi Diandra merasa diintimidasi.

"Kamu akan ke mana setelah ini, Diandra?" tanya Maya. Kekhawatiran terbaca jelas pada ekspresi wajahnya.

Diandra sudah membuka mulutnya, tapi ia tak punya jawaban yang lebih spesifik dari, "Aku akan menghubungi seorang teman." Ia ingat pada tas penuh uang yang dibawanya sebelum tabrakan terjadi. Ia tak enak jika harus bertanya soal tas tersebut. Ia bisa saja dituduh perampok. Diandra mungkin akan menyusuri jalan diam-diam dan memastikan kalau mayat Rufus sudah tidak ada di sana saja.

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang