9

163 8 0
                                    

9

Awal musim hujan selalu nampak sama dari tahun ke tahun. Angin panas menelisik masuk ke dalam jendela kamar gadis itu. Rambutnya gelap, lurus sebahu. Wajahnya menempel di kaca jendela. Sehingga kaca itu kini nampak buram karena karbon dioksida yang ia lepaskan bersama isakan dan air dari matanya yang berwarna aneh. Bahunya sesekali bergerak naik turun ketika ia harus menelan semua rasa sedih dan sakit hatinya.

Ia dibuang. Ia tidak ingin berpisah dengan ibunya. Ia tak seharusnya berada di sini. Ia tidak pernah bersikap nakal, kenapa mereka membawanya ke sini? Meski masih kecil, ia tahu mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Ia menurut pada setiap ucapan Ibunya. Mana ia menyangka kalau kepatuhanlah yang membuatnya ada di sini.

Umurnya delapan tahun ketika ibunya mengantar ke balai pelatihan khusus perempuan ini. Tapi, kenapa?

Sementara semua orang yang tinggal di sini berusia 19 tahun atau lebih—Diandra menjadi yang termuda di antara semuanya.

"Mama, kapan aku bisa pulang?" Gadis itu ingin tahu, seminggu setelah ia dipaksa tidur di kamar asrama dan makan dalam porsi yang sungguh sedikit. Balai pelatihan ini memang tidak punya seorang ahli gizi untuk menakar nutrisi.

Ibunya tidak langsung menjawab. Kulit mereka terlihat sama pucatnya. Rambut mereka sama hitamnya. Perempuan itu mendekati Diandra, berlutut di depannya.

"Ada yang tidak bisa dijelaskan manusia, Diandra. Kamu ada di sini karena Tuhan yang punya kehendak."

Diandra kebingungan dengan jawaban macam begitu, ia mencari-cari mata ibunya. Namun sang ibu menunduk, ia tak berani melihat mata anaknya sendiri.

"Tuhan?" Anak itu semakin penasaran.

"Iya, Tuhan." Kemudian ibunya berdiri. Meninggalkan si gadis masih dalam lubang gelap yang sama. Kesesatan yang sama. Tapi ia tahu, ibunya tak akan kembali lagi untuk mencarinya. Meski sesekali ia berharap.

Diandra berlari ke ruang petugas, minta bertemu Ibu Margot sang pemilik balai pelatihan. Sebelum mengetuk pintu seseorang telah memegang tangannya, Diandra mendongakkan kepalanya.

"Apa yang kamu cari ke sini?" tanya perempuan itu. Ia bertubuh kurus dan tinggi. Kulitnya bersih dan memiliki alis yang bagus. Dibandingkan dengan semua gadis di balai pelatihan ini, dialah yang paling terurus.

"Ibu Margot," kata Diandra dengan nada yang lugu.

Gadis di depannya tertawa. "Mamaku tidak punya waktu untukku, apalagi untukmu," gumam gadis yang usianya terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan dengan Diandra. Mungkin delapan atau sepuluh tahun jaraknya.

Diandra tidak bisa menanggapi kalimat itu. Ia mengamati perempuan di depannya. Ia senang karena selama seminggu ini tak seorang pun mengajaknya bicara kecuali kali ini. Sekarang diajak bicara malah menjadi aneh rasanya.

"Mau es krim?" tanya perempuan itu. Ada ragu dalam pertanyaannya, segera ia tepis segala ketakutannya.

Diandra mengangguk. "Vanila."

"Oke, pergilah ke belakang aula. Tunggu aku di sana," katanya, "O iya, namaku Karika."

Diandra mengangguk, tanpa banyak bertanya lagi ia berjalan cepat menuju belakang aula. Semua orang—peserta balai pelatihan yang ia lewati menatapnya penuh selidik. Seorang anak kecil dalam balai pelatihan. Ia tidak tahu mengapa yang lain nampak begitu membencinya. Diandra tidak pernah menangis keras-keras. Ia tak pernah membuat yang lain jengkel. Ia bahkan tak pernah bicara pada siapa pun. Ia tak merengek. Ia tidak minta dimanja.

8. Strangers GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang