"Tidak bisa, Pah. Saya dan Samira sudah punya jadwal lain di hari itu." Jan Lakis menghela napasnya. Suaranya terdengar lelah.
Sudah lebih dari 25 menit Jan Lakis bertelepon dengan Yan Jati—sang papa—yang tampaknya tidak akan mudah diakhiri dengan cepat. Seraya mengapit ponsel di antara telinga dan bahu, kedua tangan Jan Lakis sibuk mengancingkan kemeja yang sejak lima menit lalu tidak kunjung terkait. Entah mengapa mengancingkan kemeja menjadi sangat sulit ketika dilakukan bersamaan dengan mendengarkan betapa keras kepalanya seorang Yan Jati.
Jan Lakis mengerang frustrasi. Persoalan kancing-mengancing membuatnya agak kesal karena di seberang sana Yan Jati tak kunjung mudah diajak kompromi.
Semula topik mereka tidak lepas dari persoalan bisnis, lalu tahu-tahu Yan Jati kembali seenak jidat menyetir obrolan ke arah sebuah charity party yang tidak bisa didatangi oleh Jan Lakis minggu depan. Tapi tentu saja, bernegosiasi dengan Yan Jati adalah hal sulit untuk dilakukan. Pria tua itu tetap bersikukuh dengan keinginannya yang tak dapat dibantah, seperti biasanya.
"Aku mengerti kalau kamu sudah punya jadwal lain, Son," Jan Lakis memutar bola matanya malas mendengar penuturan sang papa yang tentu saja hanya bualan semata. "Tapi untuk kali ini, kamu tetap tidak bisa menghindari acara ini. Semua urusanmu tidak lebih penting daripada menghadiri undangan charity party yang diadakan Wibisana."
"Keluarga Wibisana 'kan dekat dengan Papa. Kenapa tidak Papa saja yang datang? Kenapa harus saya yang jelas-jelas tidak bisa datang ke sana?" Nada suara Jan Lakis terdengar emosi. Melelahkan sekali berhadapan dengan Yan Jati.
Bersamaan dengan itu, Samira terdengar memanggil Jan Lakis dari arah luar kamar. Tak lama, ia menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Mas, mau aku bantu?" tanyanya hanya menggerakkan mulut tanpa suara.
Jan Lakis tampak mengerjap, kemudian amenatapnya lamat meneliti setiap inci wajah sang istri dengan begitu intens tanpa mengedip. Namun, karena Samira Noa terlihat menunggu jawabannya, pria itu kemudian mengangguk.
Saat itu juga untuk seperkian detik, pria berumur 30 tahun itu lupa bagaimana caranya bernapas dan berpijak pada bumi saat melihat istrinya masuk dalam balutan spaghetti strap dress berwarna red wine silk body-con satin yang melekuk membentuk tubuhnya dengan sempurna dan anggun.
Rasario tampak begitu magis dan penuh sihir dipakai oleh sang istri.
Jan Lakis tidak mengedip sama sekali. Dia kian terpana saat kedua tungkai kaki istrinya semakin melangkah masuk mendekat ke arahnya. High side slit dari pertengahan paha kanan hingga ujung dress yang dipakai wanita itu juga berhasil menyihir Jan Lakis karena potongan seperti itu membuat Samira kian terlihat mempesona. Kaki jenjangnya terkespos tiap langkah demi langkah yang wanita itu ambil untuk mendekati sang suami.
Hingga detik di mana Samira telah berdiri di hadapannya dengan tangan terulur untuk mengancingkan satu per satu kancing di kemeja Jan Lakis, pria itu lupa bahwa telepon masih tersambung dengan sang papa.
Benar-benar terkena sihir, Jan Lakis tidak mengingat apa pun kecuali menaruh perhatiannya dengan penuh kepada Samira Noa. Kedua mata pria itu bergerak mengerjap dengan lambat, begitu berbanding terbalik dengan suara degup jantungnya yang kian bertalu-talu gila hingga terasa hampir meledak.
Sementara di sisi lain, dalam pandangan lambat seorang Jan Lakis, istrinya justru tampak sebaliknya.
Dengan bibir membentuk garis lurus, Samira dengan tenang menyingkirkan tangan suaminya. Wanita itu menurunkannya—yang beberapa saat lalu seperti anak kecil kesulitan mengancing kemeja sendiri—sebelum kemudian ia benar-benar mengambil alih peran untuk mengancingkan kemeja pria itu. Gerakannya terlihat begitu telaten, terlatih dan penuh kelembutan yang menyiratkan seperti kasih sayang seorang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️
RomanceKehidupan pernikahan persis seperti yang dibayangkan oleh Jan Lakis; sulit, pahit dan menyakitkan. Dengan penggambaran yang melekat seperti itu di kepalanya membuat Lakis sukar menerima perjodohan yang ia jalani. Pria itu begitu skeptis dan dingin t...