7. Dia Bilang, "Mengalir Saja"

336 44 4
                                    

Note : Cerita ini menggandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca. Tidak untuk diterapkan di dunia nyata!
Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.
.

(Sorry for typo's)

Enjoy and Happy Reading.
.
.
.

Jalan Lain Untuk Kedamaian.”

~

|Merelakan. Mengorbankan beberapa hal. Adalah salah satu jalan untuk menuju rasa ikhlas. Namun, apakah rasa itu benar-benar ada?|

_

Malam menjadi saksi kala Kai dan Mava berdrama di depan para saudaranya.

“Ihhh, Idar ikutt Mas!”

“Biar sama gue aja, lo lanjut makan tuh martabak.” Mava menahan tubuh Haidar yang berusaha maju, ingin ikut pada Kai yang berpamitan keluar membeli sesuatu.

“Sama gue, Va! Lo aja ah yang disini.”

Pertikaian itu hanya dilihat malas oleh yang lain, sedang Kai masih diam menata hatinya yang akan menghadapi sang Ayah.

Mava mengatakan Ayah ada di depan sekarang. Kai, harus bagaimana?

Mempersilahkan beliau masuk? Tidak. Ide buruk. Caka dan Jaka baru saja mendengarkan fakta pernikahan Ayah mereka dengan Ibu Mava tepat seminggu setelah Ibu mereka tiada. Juga fakta bahwa Ayah mereka tidak pernah memberikan sepeser uang pada mereka, pasti sudah menyakiti hati ke dua adiknya itu.

“Ekhm. Dar, dek. Mas minta tolong buatkan teh hangat, selagi menunggu mas ke minimarket depan, boleh?” Kai akhirnya meminta perhatian dan menghentikan pertikaian saudara tiri itu.

“E-um. Tapi kan, Idar temani Mas. Mas malam-malam keluar sama siapa?” Pundak Haidar turun pertanda merasa sedih.

“Kan, sama gue.” Mava menepuk-nepuk pundak Haidar pelan.

“Oke?” Kak sekali lagi memastikan.

“Oke, Mamas jelek.” sahut Haidar.

“Heeeeh, astagfirullah!”

“Jagain Mas gue, lo!” Haidar menunjuk-nunjuk mata Mava, sebagai tanda peringatan.

“Lucu bangettt.” gumam lirih Nathan sembari memotret tingkat Haidar.

•••

“Ayah nunggu dimana, dek?” tanya Kai pada Mava yang ada di sampingnya.

Mereka masih di atas motor, masih di depan rumah Laksamana.

“Hehe, di minimarket depan. Mava bilang kalau Ayah berani kesini, Mas nggak bakal mau ketemu.” jawab Mava ysng ada di kursi depan sembari menoleh pada Kakak tirinya.

“Kamu lucu, yaa.” Kai berucap sembari menepuk-nepuk pelan kepala Mava. Membuat hati anak yang selama ini ‘tunggal’ menjadi menghangat, duh, mata Mava rasanya juga panas.

“Ya udah gih, kasian kalau Ayah nunggu kelamaan. Jalan sekarang, ya? Kamu mau Mas bonceng aja?”

“Aku yang di depan, ya!”

“Tapi-”

“Badan Mas emang tinggi, tapi tenaga aku nggak bakal kalah! Ya kali boncengin Mas aja nggak bisa!” sela Mava menggebu, dengan kaki yang menaikan standar motor. Membuat Kai terkekeh kecil sembari menyiapkan dirinya dibawa oleh sang adik menemui Ayah.

Laksamana - "Di Ambang Karam"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang