13. Disuapin

26 15 5
                                    

Untuk apa kalau banyak uang tapi nggak ada kebersamaan?

-Caper Dikit Nggak Ngaruh-

Ada tiga hal yang tidak disukai oleh Alli, yaitu di rumah sendirian, tidak diperhatikan dan bekerja dengan sebuah paksaan. Tak terasa, hari keduanya untuk bekerja telah tiba. Embusan napas tak heran keluar setiap pagi datang. Alli menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Membenarkan posisi rambut dan dasi yang tampak berantakan.

"Gue males banget pergi kerja hari ini. Kenapa harus kerja kalau gue bisa kaya dengan nganggur?" gumamnya sendiri.

Alli mengusap wajahnya secara kasar. Lalu ia menatap arloji yang melingkar pada tangan. Menunjukkan pukul enam pagi. Perjalanan menuju ke tempat kerja membutuhkan waktu yang lumayan lama. Terlebih lagi, Alli menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Cukup berat, tetapi Alli harus melakukannya daripada dimarahi oleh orang tuanya.

Pria itu keluar dari kamar, kemudian menuruni tangga. Pandangannya mengitari ruangan tengah yang tersambung dengan dapur, tak ada orang tuanya di sana, yang ada hanyalah Bi Ijah.

Bi Ijah mengulas senyum. "Pagi, Alli. Sini sarapan dulu. Bibi udah buatin kamu sarapan," ujar Bi Ijah yang tengah membereskan bagian dapur.

Alli menggeleng. "Alli mau berangkat, Bi. Tolong dimasukkin ke bekal aja, Alli tunggu di depan."

Hanya kalimat itu yang Alli ungkapkan. Mendengar intruksi bos muda, Bi Ijah pun melaksanakan perintah.

Sedangkan Alli berjalan kembali menuju ke ruang tamu, tidak ada siapapun juga di sana. Layaknya seperti rumah tanpa penghuni, orang tuanya belum pulang sampai saat ini. Alli memang sudah terbiasa, tapi rasa kesepian dan hampa pun selalu ada.

Tak mau merenung terlalu lama, ia beranjak menuju ke garasi dan mengeluarkan sepeda warna pink-nya bersamaan dengan Bi Ijah yang keluar membawakan bekal untuk Alli.

"Ini bekalnya, Li. Dimakan dan dihabiskan, ya. Bibi capek-capek bikin itu buat Alli," kata Bi Ijah.

Alli hanya mengangguk sebagai jawaban. "Bi, papa sama mama belum pulang dari semalam?" tanyanya mengalihkan topik.

"Tadi subuh balik, Li. Tapi satu jam kemudian langsung berangkat lagi, katanya cabang perusahaan orang tuamu di Bogor harus ada yang diselesaikan."

Alli mendecih pelan. "Gitu aja terus, sampai lebaran rambutan," cercanya.

Bi Ijah tersenyum miris. "Udah nggak pa-pa, Li." Wanita paruh baya itu mengelus pundak Alli. "Ada Bibi di sini," lanjutnya.

"Oh iya." Bi Ijah merogoh sakunya. "Ini ada titipan dari tuan Alim sama non Risma. Katanya buat Alli," ujarnya sambil menyodorkan lembaran-lembaran merah ke hadapan Alli.

Melihat benda itu secara lama-lama membuat Alli muak. "Buat Bibi aja. Alli nggak butuh itu," tolaknya mentah-mentah.

Lawan bicara tampak mengerutkan kening. "Kenapa, Li? Biasanya kamu mata duitan."

Alli tersenyum tipis. "Udah capek diginiin mulu, uang nggak menjamin kebahagiaan Alli. Yang Alli butuhin bukan itu." Pria itu pun memasukkan kotak bekal tadi ke dalam ranselnya.

"Alli berangkat dulu ya, Bi. Makasih buat makanannya. Jaga rumah ya, Bi," kata Alli.

"Alli," panggil Bi Ijah.

Alli pun menoleh. "Hm? Iya, Bi?"

"Ini uangnya." Paruh baya itu tetap membujuk Alli. Tapi, orang yang dituju tetap pada pendiriannya yang tak mau menerima pemberian orang tuanya.

Caper Dikit Nggak NgaruhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang