19. Rumah Hikari

28 14 0
                                    

Rumah nggak selalu dalam bentuk bangunan. Tapi, dalam bentuk manusia juga bisa dinamakan rumah.

-Caper Dikit Nggak Ngaruh-

"Dengan siapa, ya? Namanya siapa?" tanya Yuliani.

Alli kontan berdiri dari tempat. "Perkenalkan nama saya Allium Sativum. Biasa dipanggil Alli. Saya calon sua-"

"Awh ...." Alli sedikit meringis kesakitan karena kakinya diinjak oleh Hikari. Sedangkan Hikari tampak melirik sinis ke arah pria itu.

"Dia Alli, Ma. Teman kerjanya Hikari," sangga Hikari.

Yuliani tersenyum. "Ya udah, sini masuk dulu."

Hikari membulatkan mata. "EH, NGGAK USAH, MA. BIARIN DIA PULANG," sergahnya.

Sang Mama mengernyitan dahi. "Loh, kenapa? Kan bagus kalau ada tamu harus dipersilakan dengan baik."

Hikari menggaruk belakang kepala yang tak gatal. "Nanti kalau dia dicariin emaknya gimana, Ma?" Pertanyaan konyol dari Hikari membuat Yuliani tertawa kecil.

"Jangan ngaco! Kalian itu udah besar," tukas Hikari.

Hikari menekuk wajah. "Mama juga gitu, kan, kalau Hikari pergi dari rumah dan nggak pulang-pulang? Pasti khawatir."

"Nggak, sih," celetuk Yuliani.

Mendengar itu, Hikari membelalak. "Apa?! Mama nggak khawatir kalau Hikari pergi dari rumah dan nggak pulang-pulang!?"

Di saat Hikari sedang mengalami rasa sewot, Alli justru terkikik geli. "Malu banget kalau kata gue," sela Alli.

Hikari menoleh dengan tatapan tajam. "Aku bukan orang yang pemalu. Jangan sok tau."

Alli menopang dagu. "Nggak punya malu berarti?"

"APA MAKSUDMU??"

Melihat Hikari yang kesal, pemandangan itu justru menjadi sebuah hiburan untuk Alli dan Yuliani.

"Udah-udah. Ayo, masuk dulu," ajak Yuliani.

"Ma, Mama kenapa nggak usir dia aja? Nggak usah lembut-lembut ke musang kayak dia," kata Hikari sembari duduk di sofa.

Alli pun menampilkan wajah cemberut. Ia duduk di hadapan Hikari dan Yuliani. Matanya menatap sudut demi sudut rumah Hikari. Semua yang ada di dalam rumah itu sangat berbeda dengan apa yang Alli miliki, barang-barang yang tampak usang.

Pria itu refleks mengibaskan tangan ke area leher karena efek udara yang sedikit panas. Jangankan AC, kipas angin pun tidak ada.

Melihat reaksi Alli yang tampak tak nyaman dengan keadaan membuat Yuliani tersenyum tipis.

"Kenapa, Nak Alli? Gerah banget, ya? Maaf, ya. Rumah kami seperti ini adanya. Nggak sebagus dan senyaman rumah di luar sana," ujar paruh baya itu.

Alli menggeleng merasa tak enak. "Nggak pa-pa, Tante."

Hikari berdecak sambil memutar bola matanya malas. "Pergi aja dari sini kalau kamu ngerasa nggak nyaman dan bikin pengap," selanya.

"Siapa yang bilang nggak nyaman?" Alli mengernyitkan dahi. "Lo aja yang sensi ke gue," sambung Alli.

"Dari gelagatmu jelas banget."

"Hikari." Mamanya menjeda. "Jangan gitu, Sayang. Nggak baik. "

Hikari hanya bisa terdiam saat kepalanya terasa diusap oleh Yuliani. Alli kontan termenung melihat seorang ibu dan anak yang dekat. Mata Yuliani yang teduh ke arah Hikari, usapan lembut yang menyertai terlihat sangat tulus.

Alli menginginkan itu semua. Namun, semuanya percuma. Hanya kemustahilan yang ia dapatkan. Hanya sebuah kesepian yang Alli rasakan.

"Kakak, mana makanan punyaku?"

Suara yang terdengar sontak mengalihkan semua perhatian orang-orang yang ada di ruang tamu. Sosok remaja yang berjalan mendekati Hikari dan Yuliani tampak memelankan derap langkah karena melihat keberadaan orang asing di sana. Tak lain, Alli.

"Ini makanannya. Kakak beliin kamu roti rasa keju, mau?" sahut Hikari sambil menyodorkan kantong plastik putih yang berisi banyak makanan.

Kara selaku adiknya Hikari kontan tersenyum semringah. Pasalnya, semua makanan yang ada di dalam kantong itu mayoritas adalah makanan yang ia inginkan.

Kara mengulum senyum. "Makasih, Kak! Makasih juga, Mama!" Gadis itu memeluk keduanya secara tiba-tiba. Hikari dan Yuliani pun tak segan membalas pelukan si bontot itu.

Lagi dan lagi, Alli dibuat terenyuh oleh keadaan. Rasa panas karena tidak ada udara masuk itu perlahan tergantikan dengan rasa iri tersendiri.

Alli merenung. Kapan, ya, gue bisa kayak mereka? batin dia.

Usai berpelukan, Kara berlalu dari sana untuk pergi ke kamar.

"Alli, mau dibikinin minuman nggak? Sebentar, ya. Jangan pulang dulu," ucap Yuliani yang kemudian pergi ke dapur.

Alli hendak menghentikan, tetapi tak sempat. Mamanya Hikari telah beranjak pergi, tersisa Alli dan Hikari. Mereka berdua terdiam satu sama lain.

"Li, abis ini kamu bakal pulang ke rumah, kan?" tanya Hikari.

Tanpa memandang lawan bicara, Alli membalas, "pulang ke rumah? Untuk apa?"

Hikari mengembuskan napas. "Biar bagaimanapun, mereka tetap orang tua kamu. Pasti mereka udah nunggu kedatanganmu. Jadi, jangan ragu, ya," timpalnya.

Alli tertawa kecil. "Gue aja bingung pulang ke mana. Gue nggak punya rumah. "

"Hah?" Hikari menganga. "Terus kamu tinggal di mana sekarang? " tanya Hikari.

"Di rumah."

"Itu punya rumah namanya!" sahut Hikari dongkol.

Alli tersenyum tipis. "Rumah nggak selalu bentuk bangunan. Tapi, dalam bentuk manusia juga bisa dinamakan rumah," ucapnya.

Hikari menautkan alis. "Bukannya kamu udah punya?"

"Siapa?" tanya Alli antusias sambil menautkan alis.

"Aku."

"Tapi bohong," lanjut Hikari yang menjulurkan lidah setelahnya.

Alli menekuk wajah. "Nggak asik."

-Caper Dikit Nggak Ngaruh-

Salam hangat,
Hanna Shimi. Penulis amatir yang sayang kalian tanpa akhir.

Caper Dikit Nggak NgaruhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang