Bab 3 - Api Yang Tak Pernah Padam

6 2 0
                                    

" Kenapa tiba-tiba kamu ubah konsep pernikahan kita tanpa ngobrol sama aku, Ni?"

Yang ditanya membuang muka, pandangannya dilempar keluar jendela yang menampakkan jalanan sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, tetapi kekasihnya memaksa bertemu di luar. Alih-alih pulang ke rumah setelah meeting di luar, ia malah meyempatkan diri datang kemari. Restoran terdekat dari lokasi meetingnya tadi.

" Agni... tolonglah... sampai kapan kita mau kayak gini terus?" Lelaki berkemeja putih itu bertanya lagi. Kali ini intonasinya merendah, seolah dia memohon dengan sangat agar kekasihnya bisa merubah sikap.

Agni menyesap teh hijau tanpa gula dalam cangkir porselen yang sejak tadi belum ia sentuh sama sekali. " Sampai orangtua kita nyerah, Maurino," jawabnya santai.

Lelaki yang dipanggil Maurino itu mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan. Tangannya mengepal kuat, seolah menahan diri untuk tidak emosi. Diaturnya napas perlahan-lahan hingga perasaannya tenang, namun tidak bisa. Mengingat Agni yang selalu meremehkannya dan keluarganya secara tak langsung, membuat ia tidak bisa terima jika harus selalu mengalah apalagi diam saja.

" Ada lagi yang mau dibahas? udah hampir jam sebelas malam, saya harus sampai rumah sebelum tengah malam. Ciderella bisa jadi upik abu setelah lewat jam dua belas malam." Agni menghabiskan sisa teh hijaunya, lantas berdiri untuk bersiap pergi, tanpa menunggu Maurino merespons pertanyaannya. " Oh ya, besok kamu ada perlu di Bali, kan? Have a nice trip, ya," lanjutnya seraya berjalan pergi, tanpa menoleh lagi ke belakang. Mengabaikan sepasang mata yang mengamatinya dengan sayu.

Agnia Svastika. Wanita muda yang digadang-gadang akan digandeng Bakal Calon Gubernur Tangerang Selatan sebagai wakil. Sebagian besar orang menganggapnya cantik, tegas, berwibawa, mandiri dan sukses. Tapi siapa sangka jika dia tidak pernah terlahir dari orang tua yang kaya. Pengasuh anak tetangga dan penjaja kopi keliling. Hanya itu yang perlu diketahui media dalam setiap liputan wawancara. Sisanya, hanya dirinya, keluarganya dan tetangga di lingkungan rumah lamanya saja yang tahu. Karena bagi Agni, semua itu tidak penting. Masa lalu memang menentukan masa depan seseorang. Hanya untuk pelajaran. Sisanya, tak perlu ditengok lagi. Meski menyimpan kenangan indah, percuma. Tak bisa dirinya kembali lagi ke masa itu. Ujung-ujungnya malah jadi membanding-bandingkan kenyataan dan tidak bersyukur kepada Tuhan.

Agni mengluas senyum saat mendapati taksi online yang ia pesan sudah tiba. Bukan karena sopir taksinya, tapi karena apa yang baru saja ia pikirkan.

"... ujung-ujungnya malah jadi membanding-bandingkan dan tidak bersyukur kepada Tuhan."

Kalimat yang pernah Eros katakan pada saat sesi konsultasi kedua mereka. Lagi, Agni mengulas senyum. Meskipun dalam keseharian Eros selalu bermain dengan tarot, tapi dia tidak pernah melupakan Tuhan. Sedangkan dirinya? Andai tidak pernah bertemu Eros, mungkin saja ia sudah melupakan Tuhannya.

Mengingat Eros, Agni jadi ingat dua member Agen Cinta Cupid Picks lainnya. Dov dan Swani. Pada akhirnya, ia kirimi keduanya pesan singkat untuk bertemu besok malam di kafe tempat mereka biasa bertemu.

***

Coffe and Talk tampak ramai di malam minggu ini. Agni memasuki gedung dua lantai dengan tema delapan puluhan yang mencolok. Sebuah tembang yang dipopulerkan Titi DJ berjudul tak ada cinta yang lain mengalun merdu dari piringan hitam di dekat meja kasir. Ia memesan teh hijau tanpa gula dengan tambahan daun mint dan beberapa camilan sebelum menaiki tangga, dimana tim agen cinta sudah berkumpul.

" Siakan ditunggu ya, kak. Nanti kami antar," ucap kasir perempuan yang sedang berjaga dengan ramah.

Agni mengangguk, lantas berjalan menuju lantai dua. Ruangan terbuka hijau yang memanjakan mata. Rumput-rumput dan tanaman di area ini semuanya sintetis, tapi lumayan untuk memanjakan mata yang hampir setiap hari menatap layar komputer.

Seorang lelaki dan perempuan di meja nomor dua puluh melambai. Agni mengulas senyum dan berjalan cepat menuju meja itu.

" Kok telat? macet?" tanya lelaki itu, mengamati Agni duduk. Sungguh, cara Agni duduk bisa menarik perhatian lawan jenis.

" Biasa. Kepergok wartawan."

Si perempuan tertawa, " susah emang ya jadi calon pejabat."

Agni mengernyit heran, " kalian kemakan gosip murahan juga ternyata. Aku udah pernah klarifikasi kalau nggak akan ikut nyalon. Lebih baik bantu-bantu jadi tim sukses."

" Oh, ya? Tapi, Eros bilang kamu itu Gaia, Ibu bumi."

Agni tertawa, " itu cuma kartu tarot yang nggak sengaja aku dapet di pertemuan terakhirku sama Eros loh, Dov. Kamu nggak usah mengada-ada."

" Agni, lo yakin mau ganti konsep lagi?"

Agni menoleh ke arah perempuan yang duduk tepat di sebelahnya. " Yakin banget, Swani. Kamu keberatan?"

Swani segera menggeleng, " ah, enggak. Cuma... gue ngerasa konsep indoor kemarin udah bagus banget."

" Tapi aku kurang sreg. Kayak ada sesuatu yang nggak pas gitu."

" Apa yang nggak pas?" Dov langsung menyerobot. Mengabaikan Swani yang sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. " Bilang aja. Kita bisa bantu revisi sesuai yang klien kita butuhin."

" Indoornya itu. Fairytale, lebih cocok untuk outdoor menurutku." Agni mengeluarkan dagunya dengan jempol dan telunjuknya.

Terdengar helaan napas lega dari Swani dan Dov.

" Gue kira bakal dirombak total. Udah deg-degan loh," ujar Swani. Mengambil cireng yang ia celupkan di sambal rujak.

Agni terdiam beberapa saat. Saling tatap dengan Dov yang juga ikut diam. Dialihkannya pandangan pada Swani saat cireng itu masuk mulut perempuan itu. Ia menghitung dalam hati.

" Tujuh, telen. Tujuh, telen. Tujuh, telen."

Dov tertawa, terbahak-bahak mendengar kalimat Agni. " Sumpah, harus banget gitu tujuh kali kunyahan baru ditelen?" tanyanya, menghapus air mata yang keluar karena kelebihan tertawa.

Yang merasa ditanya menjawab tak acuh, sembari mengelap jemarinya menggunakan tisu, " angka keberuntungan."

Agni geleng-geleng kepala, masih mengamati Swani yang kini mengelap bibirnya menggunakan tisu, " Gimana kalau kamu resign aja dari agen cinta dan gabung jadi marketing di perusahaanku?"

Mata Swani berbinar. Dia tersenyum lebar mendengar penawaran Agni. Tidak menyangka jika Agni, pemilik bisnis start up penyedia akomodasi nomor satu di Indonesia mengajaknya bergabung. Namun, senyum Swani pudar saat melihat sesuatu di belakang Agni. " Enggak deh. Kerja di Agen Cinta aja."

Agni yang menyadari perubahan raut wajah Swani, langsung menoleh ke belakang. Mendapati Eros berdiri, berjarak dua langkah dari tempatnya duduk. Lelaki itu tersenyum ramah, lantas mengambil tempat di sebelah Dov. Pantas saja Swani langsung mati kutu.

"Maaf saya telat karena banyak yang minta diramal. Jadi, sampai mana pembahasan soal perubahan konsepnya?" tanya Eros sembari menepuk punggung Dov, seolah ia bertanya pada Dov.

***

The Cupid Picks Love Agency : Panah Salah SasaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang