CALL - 21 | WARN

7.1K 775 123
                                    

Hayoo, siap-siap ya!
.
.

Obrolan yang diinginkan oleh Jan Lakis setelah sarapan ternyata tidak bisa dipenuhi sebab lagi-lagi persoalan pekerjaan tampaknya semakin menggunung—yang dapat diprediksi bahwa ini ada campur tangan dari Yan Jati untuk memastikan bahwa Jan Lakis benar-benar menghentikan segala pekerjaannya sebagai seorang aktor.

Tentu saja hal itu menjadi sebuah masalah dan tekanan baru bagi Jan Lakis. Namun, kali ini dia tidak bisa melakukan apa pun—lebih tepatnya belum, karena sekarang prioritasnya adalah Samira dan komitmennya dalam membangun rumah tangga dengan sang istri.

Jan Lakis harus lebih bersabar dan menelan lebih banyak bahwa dirinya memang tidak lebih dari sekadar obsesi sang papa.

"Setelah ini apa jadwal saya, Jared?"

Dalam perjalanan menuju ruang kerjanya, Jan Lakis beraut wajah serius dan dingin. Beberapa sapaan untuknya bahkan tidak sempat dibalas olehnya. Hari ini benar-benar sibuk. Bahkan rasanya pria itu lupa kapan terkahir kali makanan masuk ke dalam perutnya selain sarapan dengan sang istri tadi pagi.

Sungguh, sejak ia menginjakkan kaki di kantor, semua pekerjaan rasanya seperti mengejar-ngejarnya. Bertumpuk-tumpuk dokumen yang membutuhkan tanda tangannya tidak berhenti mengalir mendatangi ruangannya. Bahkan hingga siang ini, Jan Lakis sudah memimpin rapat besar dengan beberapa direksi. Sunggguh, rasanya pekerjaan sialan ini tidak memberinya jeda sama sekali untuk pria itu agar bisa beristirahat sejenak.

Jan Lakis melepaskan kaca mata yang bertengger di pangkal hidungnya dalam sekali hentak. Dia memijat pelan pangkal hidungnya yang terasa sakit dan pening sekaligus. Kemudian, ia sisipkan kaca mata itu ke dalam saku jas seraya melirik tajam pada sang personal assistant dari ujung mata.

Jared yang berjalan bersisian dengannya terlihat tidak mendengarnya, lelaki itu tidak fokus sama sekali. Namun, kedua matanya menatap pada screen tab yang-entah-sedang menampilkan apa.

"What exactly are you watching off, Jared?" Kali ini suara Jan Lakis terdengar mulai kesal.

Beberapa pasang mata dan beberapa bisikan dari karyawan lain baru berhasil membuat Jared menyadari bahwa sang atasan tengah bertanya kepadanya. Dia agak menunduk seraya menjawab, "Maaf, Pak."

Jan Lakis mengerutkan dahinya. Kedua matanya menyorot tajam. "Saya enggak butuh maaf kamu. Kamu dengar gak tadi saya ngomong apa?" tanyanya yang terdengar menyeramkan dan menusuk.

Melihat keterdiaman Jared, pria itu menghentikan langkahnya lalu menghadap pada PA-nya. Beberapa pasang mata karyawan langsung menatap ke arah mereka.

"Kenapa gak jawab?" Jan Lakis berdiri dengan tegap, membuatnya semakin tampak garang dan mengintimidasi meski wajahnya dihiasi oleh gurat-gurat lelah yang begitu kentara. Tetapi, justru karena gurat lelah itu lah ekspresi Jan Lakis semakin menyeramkan. Dia seperti tirani yang siap membantai siapapun pemberontaknya.

Detik berikutnya, dengan begitu bodoh, Jared malah terang-terangan menghela napas di hadapan Jan Lakis. Tentu saja itu membuat beberapa karyawan yang melihatnya tampak menahan napas dan terkejut tak percaya bahwa lelaki itu bisa melakukan hal tersebut di hadapan dan kepada sang atasan. Selain karena itu adalah sikap yang tidak sopan dan sangat tak tahu situasi, sikap yang Jared tunjukkan pun tampak mengkonfrontasi Jan Lakis.

Sungguh, seharian ini suasana hati dan fisik Jan Lakis tidak baik-baik saja. Selain karena lelah, harus diakui juga bila tidak—jadinya—mengobrol dengan sang istri—sebab ada persoalan penting yang harus segera dibicarakan—menjadi penyebab utama mengapa Jan Lakis tampak uring-uringan dan mudah terpatik emosi seperti ini.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang