Mawar untuknya

8 4 0
                                    

Seakan tau kalau Ia tidak akan kembali lagi ke rumah, bunda bilang kalau Aden bahkan sudah merapikan kamarnya. Memasukan buku-buku, pakaian, dan benda-benda pribadinya ke dalam kotak-kotak berbeda yang tersimpan rapi di salah satu sisi kamar.

Semalam setelah kembali ke rumah sakit Aden begitu banyak tersenyum dan meminta bunda untuk berada di dekatnya, menemaninya sampai jatuh tertidur.

"Malam ini sampai pagi, waktuku milik bunda. Apa bunda keberatan kalau mengaji sambil memegang tanganku?" Ujar Aden yang berbaring di kasur rawat, bunda yang awalnya mengaji di sofa agak jauh darinya melangkah mendekat lalu duduk di kursi yang menghadap kasur rawat.

"Tidurlah yang nyenyak, bunda akan menemani." Bunda mengusap lembut rambut putranya, Aden tersenyum seraya menganggukan kepala. Aden mengulurkan tangannya yang kurus dan bunda menggenggamnya, lalu kembali meneruskan membaca Al-Qur'an.

Tidak menyadari Aden yang balas menatap lekat, sudut matanya basah dalam diam. Mendengarkan lantunan ayat suci yang menenangkan hatinya, menelusuk jauh kedalam jiwanya, saat ini Zeita juga pasti tengah mengaji di serambi mesjid. Memikirkannya hati Aden semakin tenang, kegelisahannya memuai.

Tangan bunda yang menggenggam jemarinya terasa hangat, seakan memberikan perlindungan. Kasih sayang yang tidak pernah berubah sekalipun Aden sudah bukan anak-anak, kasih sayang yang tidak pernah berujung.

"Aku mengantuk bunda," ucapnya. Bunda mengangguk, mengusap-usap punggung tangan putranya. Di antara lantunan ayat suci yang di baca bunda, Aden jatuh tertidur. Dengan damai, dan senyum di bibirnya.

Ketika pagi hari bunda membangunkannya, Aden tidak pernah lagi membuka mata. Ia pergi dalam tidurnya, menyelesaikan perjalanannya di dunia.

Langit di areal pemakaman menggelap, orang-orang mulai melangkah pergi. Bunda menyelesaikan do'anya, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata lalu menatap gadis yang terduduk di tanah di sampingnya. Termangu menatap gundukan tanah basah bertabur kelopak bunga di hadapannya.

"Zeita, bunda pulang ya," Bunda menepuk halus pundak Zeita, gadis itu seperti tersadar mengerjapkan mata, lalu menoleh menatap Bunda. Kedua matanya tampak sembab, lelah, dan hampa.

Bunda mengusap lembut sisa-sisa air mata di pipi Zeita, tersenyum sayang.

"Jangan terlalu lama di sini ya, sebentar lagi hujan. Jangan ragu untuk temui bunda kapanpun, mengerti?" Bunda menatap lekat, satu bulir air mata kembali bergulir di pipi Zeita namun begitu gadis itu menganggukan kepala.

"Zeita mau bersama Aden sebentar lagi saja," ucap Zeita dengan suara lirih. Bunda tersenyum, mengecup puncak kepala gadis itu lalu beranjak bangkit. Menatap Lala dan Danang yang tampak masih menunggu beberapa jauh di belakang, memberi mereka ruang. Bunda tau, gadis itu tidak akan sendirian.

Zeita termenung menatap nisan kayu di hadapannya, buih-buih air mata kembali mengalir di pipi. Zeita tidak mau terus menangis, tapi air matanya tidak mau berhenti. Ia tidak bisa mengendalikannya.

Gadis itu menunduk, lalu mengulurkan setangkai mawar dengan tiga kelopak bunga yang mekar merekah. Zeita tersenyum, meletakkannya di dekat nisan kayu.

"Aku membawa mawarnya den, kamu pasti menyukainya." Zeita memang akan memetik dan memberikannya pada Aden, tapi sungguh bukan dalam keadaan seperti ini.

Zeita tergugu, tetes-tetes air langit mulai berjatuhan selembut gerimis. Mengiringi hatinya yang tidak juga berhenti menangis. Di bawah naungan langit yang di selimuti awan gelap, Zeita menyadari bahwa Aden sudah tidak lagi ada bersamanya. Pemuda yang tersenyum secerah matahari pagi itu telah meninggalkannya, bahkan langit pun seakan ikut terluka.

Zeita menghela napas panjang, memejamkan mata memanjatkan do'a. Lalu setelahnya membuka mata, tersenyum menatap nama Aden yang tertulis di nisan kayu.

"Aku nggak akan menangis, dan aku akan bahagia." Ucapnya sembari mengusap nisan, lalu tangan Zeita beralih menyentuh selendang hitam yang tersampir di bahunya. Mengangkatnya, memakainya sebagai kerudung menutupi rambut. Tanpa satupun keraguan.

"Aku menepatinya." Bisik Zeita, serta merta hatinya terasa begitu ringan, damai, dan juga haru. Sementara rintik hujan mulai menderas seakan ikut membasuh semua kesedihan dari bahunya, memberi kesejukan sampai kehatinya. Dan menetap selamanya di sana.

🌹

Air mata Lala menyeruak, menyaksikan Zeita yang menutupi rambutnya tanpa sedikitpun keraguan. Ia mengucap syukur dalam hati, Zeita selalu mampu menggapai cahaya dari setiap rasa kehilangannya. Zeita yang tidak memaki Sang Pemilik Langit sekalipun seseorang yang paling berharga baginya di ambil, gadis itu bahkan balas mengulurkan tangan dan memeluk semua lukanya. Menerima segalanya biarpun berkali-kali jatuh.

Lala menoleh pada Danang yang berdiri di sampingnya, Danang yang juga tengah menatap ke arah Zeita dalam diam. Namun tatapannya membuat Lala termenung, dahi gadis itu mengernyit, namun detik itu ia akhirnya menyadari sesuatu. Lala tersenyum tipis, kembali ikut menatap Zeita. Gadis itu menghela napas, lalu bicara.

"Zeita tidak bisa sendirian Kak," Danang mengerjap, berusaha mengenyahkan apapun yang memenuhi matanya. Ia menoleh menatap Lala, gadis yang telah di pinangnya sesuai permintaan sang Ayah yang juga merupakan sahabat mendiang Ayah Lala.

Tenang Lala menoleh, tersenyum kecil kepada Danang.

"Zeita adalah sahabatku, dia sudah menempuh begitu banyak cobaan. Allah sangat menyayangi Zeita." Lanjutnya. Kemudian Lala menunduk, perlahan melepaskan cincin yang tersemat di jari manisnya yang basah oleh tetesan hujan.

Danang menatap terkejut, terlebih ketika Lala menggenggamkan cincin yang di berikan Danang sebagai tanda pertunangan itu kembali ke tangannya.

"Lala, ada apa?" Tanya Danang bingung, Lala menggeleng lalu tersenyum lembut.

"Kita tidak berjodoh Kak Danang."

"La..."

"Aku dan segala yang telah terjadi, adalah perantara dari Allah agar Kakak dan Zeita bertemu." Ucapnya takzim. Danang tertegun di tempatnya, menyadari arah pembicaraan Lala.

"Jodoh yang di pilihkan orang tua, tidak selamanya adalah jodoh yang di pilihkan Allah."

"Apa maksudmu La? Apa aku membuat kesalahan?" Tatap Danang, namun Lala kembali menggeleng. Tersenyum begitu tulus.

"Di hati Kakak, tidak tertulis namaku." Tegasnya. Menyisakan Danang yang berdiri terhenyak.

🌹

Karena Kita Bertemu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang